Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 17): DPR, Pemulung, dan Gedung KPK

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri ketujuhbelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.


Perempuan paruh baya itu dengan langkah gontai memasuki pekarangan Kantor KPK. Pakaiannya lusuh. Di pundaknya ada karung yang membebaninya, sehingga memengaruhi gerak tubuhnya.

Perempuan itu dikenal sebagai Pemulung. Perempuan tersebut lantas mendekati pegawai KPK yang menjaga Kotak Saweran Masyarakat bagi pembangunan gedung baru KPK. Kedatangan dia pagi ini, menurut tempo.co, karena mau menyumbang untuk biaya pembangunan Gedung KPK.

"Mungkin banyak yang lebih miskin dari saya, tetapi banyak dari mereka yang punya keinginan yang sama dengan saya,” ucapnya.

Beberapa pejabat publik ditangkap KPK akibat atraksi sentimentil yang dilakukan Pemulung di Jakarta, termasuk Perempuan paru baya itu. Demonstrasi Pemulung tersebut memicu dua Komisioner KPK berinisiatif menemui Anggota DPR. Mereka membicarakan anggaran pembangunan gedung baru KPK. Sebab, rencana anggaran pembangunan gedung itu ditolak DPR. Buntutnya, dua Komisioner KPK ini diperiksa Komite Etik karena diduga melanggar Kode Etik KPK.

DPR Menolak Pembangunan Gedung KPK

Sejatinya, kantor KPK di Kav. C1, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, itu sudah tidak layak huni. Sebab, selain ia merupakan gedung lama bekas suatu bank, daya tampungnya hanya 450 orang. Padahal, ada 600 pegawai KPK. Apalagi, dalam rencana Biro SDM KPK (2005), pegawai yang harus dimiliki KPK minimal 1200 orang.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 16): Mengejar Koruptor ke Kolombia

Dampaknya, sebagian pegawai KPK menempati satu lantai di gedung BUMN, Jalan Medan Merdeka Barat. Hal ini memengaruhi kinerja organisasi. Tidak hanya itu. Ada dokumen Deputi Penindakan yang disimpan di lorong lantai 7 karena keterbatasan ruangan. Hal ini sangat rawan bagi keselamatan dokumen KPK. Apalagi, ketika banyak saksi diperiksa pada hari yang sama sementara ruangan terbatas.

Sekjen KPK, tahun 2008, mengajukan anggaran sebesar 150 milyar rupiah untuk pembangunan gedung baru dan penambahan pegawai. Kementerian Keuangan setuju. Syaratnya, anggaran tersebut harus disetujui DPR. Faktanya, DPR tidak setuju. Alasannya, KPK adalah lembaga ad hoc. Jadi, tidak perlu gedung sendiri.

Kubaca undang-undang KPK, berkali-kali. Tidak kutemukan perkataan ad hoc. Namun, ketika KPK pada tahun 2012 memajukan kembali rencana pembangunan gedungnya, DPR masih tetap dengan pendiriannya. Ulah anggota DPR tersebut memicu Koalisi Penegak Citra Parlemen, pada 30 September 2012, menyatakan sikap terhadap DPR sebagai berikut:

  1. Cabut tanda “bintang” di alokasi anggaran gedung KPK;
  2. Penggunaan fungsi anggaran DPR secara rasional dan tanpa subjektifitas politis;
  3. Membatalkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan mengeluarkannya dari daftar Prolegnas, 2010-2014;
  4. Meminta Presiden secara tegas untuk menolak revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 dalam pembahasan dengan DPR; dan
  5. Mengimbau seluruh masyarakat untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap semua upaya “pelemahan” dalam pemberantasan korupsi, khususnya pelumpuhan terhadap KPK secara sistematik, yang dilakukan oleh DPR.

Rupanya, tidak diloloskan anggaran pembangunan gedung KPK merupakan salah satu rekayasa dalam melumpuhkan lembaga anti rasuah ini. Apalagi, banyak anggota DPR, DPRD, dan Pemda yang berasal dari parpol, yang ditangkap KPK.

Beberapa hari kemudian, pasca beredarnya pernyataan Koalisi Penegak Citra Parlemen itu, tepatnya 11 Oktober, Komisi Hukum DPR setuju KPK punya gedung baru. Banyak pengamat menilai, DPR tetiba berubah sikap karena sindiran SBY yang menyinggung perlunya dukungan terhadap proses pemberantasan korupsi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, persetujuan DPR secara mengejutkan itu sebagai hal yang sangat politis. Sebab, tahun 2014 akan berlangsung Pemilu. Sehingga, partai politik perlu mendapat dukungan masyarakat. Apalagi, dukungan masyarakat terhadap pembangunan gedung baru KPK merupakan pelecehan politik tingkat tinggi bagi lembaga legislatif. Sebab, pelbagai kalangan masyarakat membantu KPK untuk membangun gedung baru. Mereka meliputi para pelajar, pedagang, loper koran, aktivis antikorupsi, tokoh masyarakat, sampai Pemulung. Bahkan, hasil saweran masyarakat tersebut mencapai nilai 403 juta rupiah. 

Pemulung Serbu Gedung KPK

Boleh dibilang, tiada hari tanpa unjuk rasa di kantor KPK. Ada yang datang dengan tuntutan, pejabat A harus ditangkap karena terlibat korupsi. Ada pula pengunjuk rasa menuntut agar pejabat B dibebaskan.

Pengunjuk rasa datang mengendarai truk terbuka. Ada pula yang carter bus mini. Para demonstran itu, selesai orasi, ada yang berkumpul di samping gedung KPK. Mereka menerima pembagian nasi kotak. Ada pula yang terima amplop. Sayang, saya tidak tahu, berapa duit yang diterima oleh setiap demonstran.

Tetiba, suatu hari saya dihubungi Direktorat Dumas KPK. Saya diminta menerima delegasi Pemulung. Lazimnya, saya diminta, baik oleh Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas), Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas), maupun Pimpinan, untuk menerima delegasi ormas, mahasiswa, dan LSM. Bahkan, saya pernah diminta Komisioner untuk menerima beberapa Habaib dari Kalimantan Timur sewaktu Bupati Kutai Kartanegara ditangkap KPK.

Kulihat pemandangan yang sentimentil di pekarangan KPK. Ada puluhan orang pengunjuk rasa. Mereka terdiri dari banyak kalangan. Ada remaja, separuh baya, dan dewasa. Pakaian mereka memasygulkan hati bagi yang menyaksikan.

Kalau tidak salah ingat, ada tiga orang yang diperkenankan masuk menemuiku di auditorium KPK. “Kami hanya Pemulung. Penghasilan kami tidak seberapa. Namun, kami ingin bantu KPK agar bisa punya gedung baru,” kata juru bicara mereka. Umurnya sekitar empat puluhan tahun.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 15): Cicak vs Buaya Jilid 2

Dadaku terasa sesak mendengar kata-katanya. Jantungku berdegup keras. Suasana cukup syahdu dan sentimentil. Kukuatkan semangat. Lalu dengan terbata-bata, kuajukan pertanyaan, “Berapa penghasilan bapak sehari?”

“Lima ribu rupiah pak,” jawabnya.

“Tujuh ribu rupiah, pak,” jawab utusan yang kedua.

Kualihkan pandangan ke utusan yang ketiga. Seorang anak gadis. Mungkin masih seusia pelajar SMP.

“Bergantung lokasi operasinya, pak,” jawabannya yang masih kuingat. 

Hatiku bertambah masygul sewaktu beberapa hari kemudian, tepatnya 4 Juli 2012, kubaca berita di tempo.co, Jakarta. Beritanya mengenai seorang wanita paruh baya yang dengan langkah gontai mendatangi kantor KPK. Ternyata, dia adalah seorang Pemulung.

"Mungkin banyak yang lebih miskin dari saya, tetapi banyak dari mereka yang punya keinginan yang sama dengan saya,” katanya seperti dikutip tempo.co.

Menurut tempo.co, pemulung itu mendatangi pegawai yang menjaga tabung uang saweran KPK. "Mbak, saya mau nyumbang lagi,” kata wanita itu.

Kedatangan dia di KPK pagi ini adalah kali ketiga. Hari itu, menurut tempo.co, beliau menyumbang Rp 1.100.

Rakyat kecil, si miskin, dan pemulung, lebih perhatian terhadap pemberantasan korupsi. Mungkin dalam angan-angan mereka, jika KPK berhasil menangkap Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, Kepala Daerah, Anggota legislatif, dan para konglomerat, mereka akan mudah mendapat pekerjaan. Dengan demikian, mereka tidak lagi menjadi Pemulung. Semoga!!!

(Depok 17 September 2023)