Dr. Hanip Pujiati (Sekjen PP Wanita Islam): "Jadikan Pencegahan dan Penanganan HIV Program Utama"
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya seperti suami pekerja seks dan kelompok MSM (man sex with man). Aktivitas itu menyumbang sekitar 30% penularan dari suami ke istri. Dampaknya, kasus HIV baru pada kelompok ibu rumah tangga bertambah sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya.
Data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan tentang penambahan 5.100 kasus baru ibu rumah tangga positif HIV per tahun itu juga mengusik perhatian Pimpinan Pusat Wanita Islam. Wanita Islam adalah organisasi yang lahir pada 29 April 1962 di Yogyakarta. Kelahirannya adalah hasil musyawarah besar antar para tokoh “Badan Kesejahteraan Wanita Islam” yang berasal dari berbagai provinsi. Tujuannya, untuk menyatukan organisasi di bawah satu pimpinan, agar lebih efektif dan teratur.
Menanggapi tingginya angka penularan yang direfleksikan oleh bertambahnya ribuan kasus baru pada cluster ibu rumah tangga itu, Sekjen PP Wanita Islam, Dr. Hanip Pujiati, menyatakan, PP Wanita Islam merasa prihatin dan miris terhadap hal itu. Maka, pihaknya pun mendorong pemerintah untuk serius menanganinya.
“Kami mendorong pemerintah agar Kementerian Kesehatan menjadikan program edukasi, pencegahan, dan penanganan HIV sebagai program utama, sebagaimana pemerintah menyikapi masalah stunting. Persoalan stunting memang adalah hal yang serius untuk ditangani, namun penanganan terhadap masyarakat yang terinfeksi HIV juga hal yang penting,” tegasnya.
Dosen Universitas Negeri Jakarta itu juga menyebut, PP Wanita Islam akan semakin menekankan program penguatan ketahanan keluarga yang telah menjadi garis perjuangan dan komitmen mereka dalam pembinaan keluarga dan masyarakat. Selain itu, Aktivis yang juga mantan Koordinator Program Studi Bahasa Inggris di UNJ itu mengatakan, sebagai anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Wanita Islam akan meminta, mendorong, dan bersama Kowani, untuk menjadikan program bersama dalam mengampanyekan kembali pencegahan HIV.
Hanip Pujiati menyebut, akar persoalan meningkatnya kasus baru ibu rumah tangga positif HIV hingga ribuan per tahun itu ada pada tatanan sistem keluarga yang tidak benar dan lemahnya sistem kontrol sosial di masyarakat. Sebab, cara pandang masyarakat terhadap institusi keluarga bermacam-macam. Pandangan itu pun berbeda antara satu golongan masyarakat dengan yang lainnya.
Pandangan tentang keluarga itu, menurut Hanip, yang pertama, Keluarga sebagai sarana untuk mencapai cita-cita luhur, dengan membina dan menyiapkan keturunan yang berkualitas, untuk mengembangkan masyarakat yang bermartabat. Standar keberhasilan keluarga seperti ini dilihat dari seberapa besar kebermanfaatan pada diri, keluarga, dan masyarakat. Kedua, Keluarga sebagai sarana mengembangkan keturunan dan mengumpulkan materi atau aset. Ukuran keberhasilan keluarga seperti ini dilihat dari seberapa besar aset yang dimiliki. Ketiga, Keluarga sebagai tempat bertemunya dua insan yang berbeda, yang keduanya atau salah satu darinya tidak memiliki komitmen bersama. Tidak ada idealisme bersama yang ingin diwujudkan.
“Biasanya, keluarga yang terpapar HIV adalah mereka yang memiliki cara pandang nomor 3 tersebut. Mereka rentan terpengaruh terhadap gangguan dan penyimpangan-penyimpangan di sosial masyarakat, seperti pergaulan bebas, kriminalitas, dan lain-lain,” katanya.
Menyikapi persoalan terkait keluarga tersebut, PP Wanita Islam akan melakukan pendekatan, penguatan, dan pendidikan. Hanip mengatakan, ada beberapa pola tindakan yang dapat ditempuh. Pertama, pendekatan terhadap para korban HIV, baik ibu rumah tangga maupun anak, melalui aktivitasmenjaga komunikasi dan silaturrahim, sehingga timbul kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat.
Kedua, penguatan mental mereka, agar mereka tidak putus asa atas apa yang mereka alami. Mereka tetap menjadi anggota masyarakat yang berarti dan bisa melakukan aktifitas sosial. Ketiga, pendidikan dilakukan tidak hanya pada korban, tetapi juga terhadap masyarakat umum, untuk menghindari pergaulan bebas. Juga agar waspada terhadap pasangan serta menjauhkan diri dari seks bebas, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis.
“Keempat, pendidikan agama menjadi solusi penting untuk mencegah maupun mengobati HIV. Sebab, lemahnya kontrol sosial masyarakat menjadikan orang tidak lagi malu atau risih dengan kemaksiatan yang mereka lakukan. Setiap individu merasa bebas dan berhak atas dirinya sendiri, lalu berbuat semaunya sendiri. Apalagi dilindungi dengan konsep HAM yang salah kaprah,” tegasnya.