Dua Wajah Jokowi?
Adanya intervensi dari Presiden Jokowi untuk menghentikan proses hukum dalam kasus Setya Novanto itu diungkapkan oleh mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo, dalam wawancara dengan Kompas, pada Kamis (30/11/2023). Saat itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 itu dipanggil khusus ke Istana. Apakah keterangan ini benar?
Agus Rahardjo mengungkapkan, ia pernah dipanggil dan diminta Presiden RI, Joko Widodo, untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto atau Setnov. Ketika itu, Setnov menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar. Partai Golkar adalah partai politik yang pada 2016 bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.
Di dalam wawancara tersebut, Agus Rahardjo menjelaskan proses kedatangannya ke istana yang tidak melalui jalur biasa. Bagaimana suasana saat baru tiba di ruangan presiden? Siapa saja yang hadir? Dan, apa saja dialognya? Semuanya dijelaskan detail. Tidak itu saja itu. Teman dan kolega terdekatnya, Alexander Marwata dan Saut Situmorang – keduanya mantan komisioner KPK – membenarkan bahwa Agus Rahardjo pernah berbicara pada keduanya.
Pihak Istana membantah pertemuan ini. Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, saat itu menjelaskan, tidak ada pertemuan khusus antara Presiden dengan Agus Rahardjo jika merujuk pada agenda-agenda pertemuan presiden. Dan presiden telah memerintahkan agar Setya Novanto diproses secara hukum.
Menurut Agus Rahardjo, tetap diproses hukumnya Setya Novanto karena tidak ada payung hukum untuk menghentikannya. Oleh sebab itu, maka dikeluarkan revisi UU KPK, sehingga proses hukum di KPK bisa diberhentikan dengan syarat tertentu dan berada di ranah eksekutif. Istana membantah intervensi revisi UU KPK, karena semuanya adalah inisiatif dari DPR, bukan Pemerintah.
Baca juga: Bisakah Model Kampanye “Desak Anies” Sesukses Mushab bin Umair di Madinah?
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengatur syarat batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun. Mahkamah juga menegaskan, putusan MK itu berlaku pada pemilu 2024.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK (waktu itu), Anwar Usman, di ruang sidang MK RI, Jakarta, Senin (16/10/2023). Para pengamat banyak yang berpendapat, ada intervensi dari sang paman, Anwar Usman, yang merupakan Ketua MK. Kemudian, apa yang dilakukan oleh Jokowi?
Setelah tercium adanya intervensi dalam keputusan MK yang menjadi jalan bagi sang putra Presiden menjadi Cawapres, Presiden Jokowi pada 30 Oktober 2023 mengumpulkan kepala daerah seluruh Indonesia sebelum makan siang bersama dengan Cawapres. Isinya, para kepala daerah tidak memihak kepada calon-calon tertentu. Dan, dipastikan bahwa ASN (aparatur sipil negara) bertindak netral. Netralitas ini juga yang menjadi tema utama pembicaraan dengan Capres. Terlihat ucapan netralitas seperti “api jauh dari panggangnya” jika melihat keputusan MK.
Apakah hanya sampai di situ? Ahad, 20 November 2023, seluruh kepala desa dikumpulkan di Jakarta untuk mendukung pasangan tertentu. Menurut Kemendagri, tidak ada undang-undang yang melarang kepala desa untuk mendukung capres tertentu. Di acara tersebut, Gibran sang Cawapres dielu-elukan hingga terhambat beberapa menit untuk tampil di podium. Baru di tanggal 30 Oktober Presiden memerintahkan netralitas bagi kepala daerah dan ASN, namun di 20 November mengerahkan kepala desa untuk mendukung pasangan tertentu.
Apakah hanya ini saja? Soal Investasi di IKN yang katanya kelebihan peminat dan harus menghentikan peminat atau investor dari luar negri. Namun nyatanya, sang Presiden hilir mudik ke berbagai negara agar investor tertarik berinvestasi di IKN. Hingga hari ini, dana pembangunan IKN masih berasal dari APBN. Wajah di publik memang sangat menarik. Namun bagaimana kenyataannya?