Duhai Anak

Tak sedikit orang tua mendambakan anaknya berbudi luhur. Sehingga anak menjadi buah hati dalam rumah tangga. Namun, menempa seorang anak tak sama dengan membangun rumah yang kokoh dan indah. Banyak kasus sang anak malah menjadi musuh orang tua. Kisah Nabi Nuh sudah mafhum kita ketahui.

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. – QS. Luqman:13-15

Ayat di atas dengan perantaraan nasihat-nasihat Luqman -sahabat yang sholeh- Allah ﷻ memberikan pelajaran kepada manusia dalam mendidik anak, agar menjadi buah hati dalam rumah tangga bukan sebaliknya.

Luqman, sang ayah, pertama kali mengajari anaknya nilai tauhid, yaitu melarang untuk mensyirikkan Allah, dan itu dilakukan sejak dini. Kehidupan bebas syirik adalah bentuk aplikasi dari rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan kehidupan di atas dunia ini.

Syirik adalah bentuk dosa yang duduk di atas tangga teratas dalam peringkat dosa-dosa, dan tidak akan terampuni kecuali dibarengi dengan taubat ‘nasuha’ (benar-benar taubat). Betapa besar dosa ini, sehingga Allah dalam ayat ini mengukir kata syirik sebanyak dua kali. Kata syirik pertama, diawali dengan kata larangan ‘laa’, sebagai peringatan untuk menghindari perbuatan tersebut, dan kata sirik yang kedua, diawali dengan huruf ‘inna’, menerangkan hakikat kebenaran, dosa syirik adalah kezaliman yang besar.

Menanamkan nilai tauhid terhadap anak merupakan ajaran utama dan pertama dalam membentuk keikhlasan berkata, berbuat, dan bertindak. Dengan demikian terciptalah ‘ubudiyah’ (penghambaan) yang murni kepada Allah ﷻ. Firman Allah:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). – QS. Al-Bayyinah:5

Kemusyrikkan akan melemahkan jiwa dan kepribadian, membuat jiwa terpecah, harapan akan melayang ke berbagai sumber, tidak terfokus kepada satu titik sebab menggantungkan kehidupan selain dari Allah.

Noda syirik apabila telah melekat dalam diri manusia maka kesesatan akan menjumpainya. Firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. – QS. Annisa:48

Luqman selanjutnya menasehati, agar anak selalu berbakti kepada kedua orang tua yang telah memelihara dan membesarkannya. Ibu telah mengandung dengan susah payah, merawat dengan penuh kasih sayang, sementara ayah bekerja membanting tulang, mencari nafkah tak kenal lelah untuk menghidupi anak. Sehingga suatu kewajaran anak disuruh berbakti kepada mereka.

Kewajiban berbakti kepada orang tua, merupakan kewajiban kedua setelah mentauhidkan Allah, sebagaimana  firman Allah:

۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. – QS. Al-Isra:23

Seorang anak tidak wajar memperlihatkan kemarahan, kebosanan atau bermuka masam di hadapan orang tua, sebab perbuatan demikian akan menyinggung perasaan mereka. Kedurhakaan terhadap orang tua merupakan dosa besar. Rasulullah ﷺ‎ bersabda:

"Sukakah kamu memberitahukan tentang dosa yang besar? mereka menjawab: Ya Rasulullah. Beliau bersabda: Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh, saksi palsu dan zina."

Patuh terhadap orang tua, selama tidak menyimpang dari ajaran Islam, suatu keharusan. Walaupun mereka masih dalam agama di luar Islam.

Dijelaskan bahwa telah datang Asma binti Abu Bakar As-Siddiq menghadap Rasulullah ﷺ‎, dan meminta petunjuk dengan rencananya untuk bersilaturahmi dengan ibunya, padahal ibunya belum memeluk agama Islam. Asma berkata kepada Rasulullah: "Saya mendatangi ibu saya karena beliau menghendaki, apakah boleh saya bersilaturahmi dengan beliau?" Rasulullah menjawab : "Boleh bersilaturahmi dengan ibumu. Sebab silaturahmi merupakan kewajiban kepada ibu, terlepas dari masalah kekafirannya, sebab kekafiran atau kemusyrikan itu adalah masalah antara ibumu dengan Allah." Firman Allah:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. – QS. Al-Mumtahanah:8

Demikianlah Allah memberikan pelajaran kepada manusia dalam mendidik anak yang dapat menghasilkan generasi-generasi rabbani.

Wallahu A'lam Bisshawab.

Disadur dari majalah Sabili Edisi No. 07/Th. V 20 November-5 Desember 1992