Ekonomi Indonesia Dinilai Mengalami Stagnasi, Bahkan Cenderung Turun
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan pandangan ekonomi global dan implikasinya terhadap Indonesia dalam diskusi publik yang diselenggarakan Pengurus Pusat KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), Rabu (7/8/2024). Diskusi yang dilaksanakan secara online sejak pukul 20.00 WIB itu mengangkat tema, “Satu Dekade Jokowi Berkuasa: Dari Stagnasi Ekonomi Hingga Regresi Demokrasi”.
Memotret kemunduran demokrasi yang terjadi secara global dalam 10 atau 15 tahun terakhir, Hamid mengatakan, terdapat kecenderungan regresi demokrasi yang terjadi di mana-mana. “Kalau kita baca fenomena dalam 5 sampai 10 tahun terakhir atau bahkan 14 - 15 tahun terakhir, itu kecenderungan regresi demokrasi memang terjadi di mana-mana. Indeks-indeks demokrasi dari mulai Freedom House, Quality Four, Fidem, semuanya menunjukkan gejala yang sama, yaitu mengalami kemunduran. Itu yang pertama. Yang kedua adalah, secara ekonomi juga ada krisis ekonomi dan secara sosial terjadi peningkatan ketimpangan,” katanya.
Hamid mengingatkan, krisis ekonomi saat ini disebabkan karena ekonomi hanya berputar di kalangan elite. Kelas menengah tak banyak mendapatkan kue dari perkembangan ekonomi yang terbaru.
“Jadi yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Dunia bukan tidak berputar secara ekonomi. Dia berputar. Tetapi perputaran ekonomi itu lebih banyak di kalangan menengah atas, bahkan lebih tinggi lagi yaitu di kalangan elit. Kalau kita baca Kompas hari ini, kelas menengah di Indonesia jumlahnya berkurang. Dengan kata lain, bahkan kelas menengah pun tidak banyak mendapatkan kue ekonomi dari perkembangan ekonomi yang terbaru,” tuturnya.
Menurut Hamid, dalam konteks global, ekonomi bisa dikatakan menurun di berbagai negara. Misalnya Jerman. Sistem rantai ekonomi Jerman pun, kata dia, mulai terganggu akibat dari perdagangan dunia yang tidak stabil.
“Di Jerman mungkin lebih kental pada aspek keadilan sosialnya. Petani-petani di sana mulai resah karena banyak sekali sistem rantai ekonomi mereka itu yang mulai terganggu akibat dari perdagangan dunia yang tidak stabil dan menurunnya tingkat ekspor dari Jerman, untuk menyuplai berbagai negara yang selalu menjadi pasar mereka. Nah, dalam konteks global yang paling menentukan biasanya kan Amerika. Karena secara keuangan selama bertahun-tahun, berdekade-dekade, ekonomi Amerika ikut menentukan ekonomi dunia. Meski pun sekarang sedang berkompetisi dengan ekonomi di Timur, ekonomi di Tiongkok, yang saya kira itu juga bisa sangat menimbulkan semacam turbulensi dalam tahun-tahun yang akan datang,” urainya.
Hamid mengutip penelitian para ekonom di lembaga riset ekonomi Silius. “Surat utang Indonesia relatif sulit untuk diperdagangkan di tingkat rupiah dan seterusnya. Utang Indonesia bahkan semakin tinggi dan bisa membuat Indonesia terjebak ke dalam hutang. Nah, respon-respon pemerintahan tadi sudah dijelaskan sekilas bahwa pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan jauh di bawah harapan dari 10 persen, 7 %, dan ternyata hanya 5 %. Bahkan menurut Selyos/Selius pun 5 % - 5,05 %. Yang sekarang ini pada triwulan kedua itu belum cukup membuat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2024 di atas 5,1 %. Jadi, kalau pun sekarang ada 5,05 belum tentu sepanjang tahun itu bisa berjalan 5,1 %. Bisa saja anjlok lagi. Itu tergantung bagaimana reaksi pasar terhadap stabilitas politik di Indonesia dan keamanan investasi di Indonesia,” jelas Hamid.
Hamid menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,05% yoy (year on year) pada triwulan II 2024 belum cukup membuat pertumbuhan sepanjang 2024 di atas 5,1%. Tekanan ekonomi baru dirasakan pada triwulan III dan IV, tercermin dari indikator PMI manufaktur yang berada di bawah angka 50. Artinya, sektor industri sedang merem pembelian bahan baku/ekspansi.
“Jadi tekanannya nanti akan terjadi di triwulan ke-3, di bulan Juli, Agustus, September, dan seterusnya Oktober sampai ke November dan Desember. Nah, ini mirip dengan pemberitaan hutang harian Kompas hari ini. Jadi, kelas menengah berkurang dan daya beli kelas menengah juga masih lemah. Bahkan sektor pertambangan dan penggalian juga menunjukkan pelambatan di tengah pemerintah ber-euforia bahwa nikel kita sangat mahal, sangat menjanjikan, lalu mengajak ormas-ormas agama untuk bisa terlibat di dalam sektor pertambangan, tetapi sebenarnya ada pelambatan dari 9,3 persen ke 3,17 persen di triwulan ke-2. Dan ini sejalan dengan berbagai koreksi harga komunitas nikel,” kata Hamid.
Hamid mengatakan, daya beli kelas menengah masih lemah. Di triwulan III tidak ada “event” yang mampu mendorong konsumsi rumah tangga. Sektor pertambangan dan penggalian menunjukkan adanya pelambatan dari 9,31% ke 3,17% yoy di triwulan II sejalan dengan koreksi berbagai harga komoditas termasuk nikel. Sektor konstruksi masih tumbuh 7,29% ditopang proyek pemerintah (percepatan penyelesaian PSN), sementara sektor real estat hanya mampu tumbuh 2,16% yoy.
Ini sejalan dengan NPL KPR yang mulai menanjak sejak awal tahun. Belanja pemerintah turun drastis paska pemilu dari 19,9% yoy per triwulan I 2024 ke 1,42% yoy triwulan II (terindikasi penyesuaian bansos paska pemilu juga berkontribusi ke pelemahan belanja pemerintah). Meski ekspor tumbuh positif tetapi kontribusi ekspor terhadap PDB dibanding triwulan I 2023 menurun dari 22,9% ke 21,4% di triwulan II 2024.
“Itu bisa juga jadi masalah. Termasuk janji makan gratis yang kalau tidak jelas anggarannya itu akan menimbulkan ketidak percayaan pasar, gitu. Mau diambil dari mana uang-uang semacamnya? Jadi biasanya faktor-faktor ekonomi ini sangat menentukan bagi stabilitas politik di sebuah negara,” ucapnya.
Hamid pun mengingatkan untuk mencermati perkembangan kondisi ekonomi itu. Sebab, kondisi ekonomi akan sangat berpengaruh pada stabilitas politik.
“Apakah negara itu berbentuk demokrasi atau berbentuk monarki konstitusional atau berbentuk kesultanan atau kerajaan sekali pun, entah itu kerajaan Saudi Arabia atau monarki di Inggris atau monarki di Eropa, atau demokrasi seperti India, Amerika, dan Indonesia, semua itu bisa terganggu stabilitas politiknya karena masalah ekonomi,” tutup Usman Hamid.