Energi Bukan Sekadar Kata

"Masak negara kepulauan tetapi belum bisa memaksimalkan energi laut, padahal potensinya besar?"; "Kalau terus mengandalkan energi fosil, nanti lingkungan makin rusak dan iklim makin berubah"; "Masak di desa belum ada listrik padahal sudah 2025? Janji pemerintah kan listrik sampai ke pelosok"; "PLTU dekat dengan pemukiman bikin napas sesak, anak-anak sering batuk. Apakah kesehatan tidak penting?"; "Nenek moyang dulu sudah pintar mengolah energi, lihat saja tungku tradisional yang hemat kayu"; "Masyakarat di kampung masih percaya ada tempat-tempat yang punya energi khusus, makanya harus dijaga"; "Indonesia ini negeri tropis, seharusnya bisa maksimalkan tenaga surya daripada terus bangun PLTU"; "Bumi sudah makin panas, kita harus beralih ke energi bersih agar masa depan anak cucu tetap aman".

Itu cuitan-cuitan yang mungkin pernah pembaca ketahui, melalui TV atau pun medsos. Ada yang menyinggung soal BBM, listrik, harga-subsidi, ketersediaan-layanan, lingkungan-keberlanjutan, kebutuhan, penghematan, penggunaan, serta kebijakan, yang semuanya mengarah pada satu kata, yakni “energi”.

Secara umum, kita menyadari pentingnya entitas itu bagi kehidupan. Namun, sudahkah kita memahami apa itu energi? Di dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1 tertulis, "energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika" [Indonesia, P. R. (2007), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. In Undang-Undang Republik Indonesia. https://jdih.esdm.go.id/peraturan/uu-30-2007.pdf]. Pengertian ini tentu perlu didampingi sisi falsafahnya, agar konsepsi kita tentang energi menjadi utuh dan komprehensif.

Larangan untuk Anak Kecil Keluar Rumah di Antara Magrib dan Isya
Orang tua zaman dulu sering melarang anak-anak keluar rumah di waktu maghrib, kecuali untuk keperluan mengaji di rumah guru yang terhitung masih tetangga. Apakah hal demikian ada dasarnya dalam syariat? Ataukah itu hanyalah budaya orang tua di kampung-kampung?

Salah satu gagasan tentang energi datang dari Aristoteles. Ia membedakan antara potensi atau dinamis dengan aktualitas atau energeia. Menurut dia, materi memiliki kecenderungan alami untuk menjadi aktif di mana determinasi aktual ialah tujuannya, dan hal-ihwal tetap sama meski pun perubahan telah terjadi seperti ditunjuk Lindsay, bahwa Aristoteles erat dengan asumsi konsep energi yang berakar pada gagasan tentang invarian. Oleh karena itu, baginya energi berarti "pencapaian suatu tindakan", sedangkan kita biasanya mendefinisikan energi sebagai transformasi potensi materialistis dari sumber daya menjadi kerja sosio-ekonomi (efisien-produktif).

Memasuki fisika modern, energi kemudian dikorelasikan dengan kerja. Kerja yang dilakukan oleh semua gaya pada partikel sama dengan perubahan dalam energi kinetiknya. Sementara, energi potensial dikaitkan dengan gaya yang bekerja pada benda hanya bergantung posisi awal dan akhir benda di suatu ruang. Jumlah energi potensial dan kinetik ini lalu disebut energi total dan jumlah/nilainya konstan. Artinya, ketika mengamati tindakan menembak muatan mesiu, maka ia dapat dilihat sebagai energi potensial, sedangkan peluru yang diluncurkan oleh ledakan muatan itu mewakili energi kinetik tembakan.

Di dalam relasi antara latihan fisik dan penurunan berat badan, contohnya; Untuk menghilangkan sekian kalori energi, seseorang mengangkat-pindahkan beban sekian kg atau berlari selama sekian menit. Dikatakan pula, pelbagai aktivitas dapat dipahami lewat ubahan satu jenis energi menjadi energi lainnya. Misalnya, mesin mengubah energi kimia menjadi gerakan rotasi melalui panas dan tekanan, panel surya mengubah energi dari sinar matahari menjadi listrik, serta peralatan rumah mengubah listrik menjadi gerakan, cahaya, panas, dan suara.

Melalui "Technics and Civilization", Mumford menempatkan penggunaan energi di tengah analisisnya tentang masyarakat. Bagi dia, ada empat tahapan berfungsinya energi dalam masyarakat, yakni konversi, produksi, konsumsi, dan kreasi. Contohnya, energi yang diketahui berasal dari matahari diubah menjadi makanan dan “bahan bakar” melalui fotosintesis. Di samping konversi organik, Mumford menyebutkan pula konversi mekanis, berupa kincir air, mesin uap, dan lain sebagainya. Teknologi ini telah membuka sumber energi baru, produksi, kemudian melibatkan penggunaan energi yang dikonversi untuk mengumpulkan, mengangkut, dan membentuk bahan mentah menjadi produk konsumsi masyarakat. Masih dalam karya yang sama, Mumford secara implisit mengembangkan suatu filsafat energi. Ia nampaknya menganut posisi instrumental, bahwa energi adalah sumber daya yang bisa dikonsumsi sesuka kita, tetapi saat ini belum dilakukan dengan cara terbaik. Posisi ini mengharuskan pengembangan atas etika energi, sebab jika energi pada dasarnya merupakan instrumen netral, maka ada cara yang baik dan buruk saat berurusan dengan energi.

Apakah Pemuda Punya Peran Penting dalam Pembangunan Desa?
Pemuda adalah mesin penggerak yang produktif dalam pembangunan desa, karena kerap jadi solusi inovatif terhadap permasalahan yang terjadi dalam desa. Semangat tinggi yang mereka tunjukkan dapat memberikan energi positif bagi upaya mengatasi masalah di desa.

Di samping sisi, Bataille via "The Accursed Share" menyatakan, kebutuhan kita adalah cara untuk mengatasi emisi energi yang berlebihan. Menurutnya, pengembangan teknologi oleh umat manusia harus dipahami dalam konteks ini. Nahas realitanya, manusia melakukan peperangan dan ribuan bentuk konsumsi yang nirguna. Pada saat yang sama, industri menggunakan energi untuk membuka-mengembangkan kekuatan produksi beserta kapasitasnya yang tak terbatas, namun berujung pemborosan konsumsi. Ini hanya masalah waktu, sebelum praktik akumulatif kita mencapai batasnya dan “perang” yang lebih kejam akan tiba, alih-alih memahami energi sebagai sumber daya untuk membantu masyarakat berdaya. Dapat disimpulkan, sketsa Bataille tentang konsumsi energi ternyata memiliki kemiripan dengan situasi-kondisi saat ini.

Telaah soal energi dapat dilakukan lewat perspektif fenomenologi (berupa analisis struktur pengalaman dan kesadaran yang dimobilisasi dalam cara kita berhubungan dengan energi). Salah satu tokohnya, Idhe, menyebut empat cara manusia berinteraksi dengan lingkungan melalui teknologi, yakni 'relasi latar belakang', 'relasi perwujudan', 'relasi hermeneutis', dan 'relasi perubahan'. 

Kategori Idhe ini juga dapat diimplementasikan pada hubungan lingkungan/kita dengan energi. Relasi "latar belakang" atas energi dapat diilustrasikan dengan sistem pemanas, ventilasi, dan penyejuk ruangan di mana konsumsi energi menciptakan suasana tertentu untuk sekitar. Relasi "perwujudan" dengan energi dapat digambarkan oleh cara alat (membutuhkan energi untuk beroperasi) yang menjadi perpanjangan dari kapasitas tubuh, misalnya peralatan listrik yang dioperasikan secara manual atau otomatis.

Relasi "hermeneutik" terhadap energi mengacu pada fakta rutinitas pengisian daya peralatan elektronik yang telah menjadi sama pentingnya dengan mengingatkan diri untuk tidak telat makan. Relasi "perubahan" berkenaan energi dapat dikaitkan dengan keterlibatan yang hampir personal (afektif) dengan barang kepemilikan. Titik tekan pendekatan ini, adalah setiap tindakan kesadaran berkonsekuensi kesadaran akan sesuatu, dan terdapat korelasi antara pikiran-tindakan (etis) dengan mengarah-mengadanya suatu bentuk (estetis).

Sebagai penyudah, mungkin pembaca ingat isyarat Harari dalam "Sapiens", bahwa "inovasi" akan menjadi “penyelamat”, dan inovasi tentu memerlukan etika energi yang jelas-konsekuen.