Fitnah Dunia
Kemiskinan kadang menyumbat dan menyesakkan dada kita. Andai saja kita hidup mapan, tentu kualitas dan kuantitas ibadah kita akan lebih baik. Hati pun terasa lebih tenteram dalam menjalankannya. Pengandaian seperti ini sering terlintas di benak kita kala jatah rezeki kita menyempit.
Senyatanya, demikian kiranya sifat manusia yang Allah SWT gambarkan dalam firman-Nya yang suci, “Adapun manusia apabila Rabb-ku mengujinya lalu memuliakannya dan diberikannya kesenangan, maka dia akan selalu berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia akan selalu berkata, ‘Rabb-ku telah menghinakanku.” (QS Al Fajr: 15 - 16).
Di dalam menjelaskan ayat di atas, ahli tafsir menyatakan bahwa Allah SWT menyalahkan orang yang menganggap kekayaan sebagai kemuliaan dan kemiskinan sebagai kehinaan. Namun, sebenarnya kekayaan dan kemiskinan itu merupakan ujian Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya. Mestinya, manusia benar-benar mampu menundukkan dunia agar menjadi fasilitas untuk beribadah kepada Allah. Bukan sebaliknya, mereka yang bertekuk lutut, tidak berdaya, dan akhirnya menghambakan diri terhadap dunia.
Sayangnya, kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa dunia sesungguhnya mengandung fitnah dan ujian. Mereka memandang dunia semata-mata merupakan kenikmatan dan kebanggaan yang menentukan harga diri dan kebahagiaan. Bagi mereka, dunia adalah tujuan akhir. Seluruh hidupnya diabdikan untuk dunia. Sementara itu, hak-hak Allah mereka campakkan.
Jika kita bercermin pada kehidupan Rasulullah saw, justru yang sangat beliau khawatirkan bukan kemiskinan, tetapi terbukanya kelapangan hidup duniawi yang acap kali melalaikan kita dari beribadah kepada Allah, Sang Pencipta alam semesta. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, suatu ketika Abu Ubaidah diutus Rasulullah saw untuk memungut jizyah dalam jumlah yang sangat banyak. Berita kedatangan Abu Ubaidah dengan harta yang sangat banyak merebak di kalangan Anshar. Maka, setelah menunaikan shalat subuh berjamaah, Rasulullah saw berpaling ke arah para sahabat yang sudah tidak sabar menanti kedatangan Abu Ubaidah dengan harta dari Bahrain.
Rasulullah saw tersenyum simpul seraya bersabda, “Saya kira kalian telah mendengar kedatangan Abu Ubaidah bersama sesuatu dari Bahrain.”
Mereka menjawab, “Benar, ya Rasulullah.”
Rasulullah melanjutkan sabdanya, “Bergembiralah dengan apa yang kalian senangi. Demi Allah, sesungguhnya bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kalian. Tetapi aku sangat takut kalau kemewahan duniawi dibukakan atas kalian sebagaimana dia telah dibukakan atas umat-umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba untuk memperolehnya, sebagaimana orang terdahulu berlomba-lomba untuknya. Lalu kemewahan duniawi itu akan menghancurkan kalian sebagaimana orang-orang terdahulu telah hancur binasa karenanya.
Al Qur’an dengan tegas mengingatkan manusia akan keganasan tipu daya dunia. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan saling bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian, tanaman itu menjadi kering. Kalian lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan, di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS Al-Hadid:20)
Di dalam riwayat lain, Rasulullah saw pernah mengingatkan tentang dahsyatnya fitnah dunia lewat sabdanya, “Sesungguhnya fitnah kekayaan itu lebih aku takuti atas kalian daripada fitnah kemiskinan dan kalian bersabar, sedangkan fitnah dunia ini terasa amat manis dan menyenangkan (sehingga menjadikan kalian lupa dan lalai dari dzikir kepada Allah SWT).” (Targhib, 5/144).
Sedangkan Abdurrahman bin ‘Auf pernah bertutur tentang hal ini, “Ketika kami diuji oleh Allah SWT dengan kemiskinan, kami bersabar. Tetapi ketika kami diuji dengan kekayaan, kemewahan, dan kelapangan ekonomi duniawi, kami sulit bersabar.” (Minhaajul Qoshidin, Ibnu Qudamah: 265).
Ketakutan terhadap fitnah dunia ini juga dirasakan oleh para sahabat lainnya. Di antaranya adalah Salman Al Farisi. Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash berkunjung ke rumahnya, Salman menangis. Sa’ad bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis seperti ini, wahai saudaraku? Padahal engkau telah bertemu dengan sahabat-sahabatmu dan akan mendatangi telaga Rasulullah saw. Beliau pun ridha kepadamu saat akhir kehidupannya.”
Salman menjawab, “Aku takut bukan karena kematian dan bukan pula aku tamak terhadap dunia atau takut tidak mendapatkan kemewahannya. Tetapi aku menangis karena janji yang telah Rasulullah ambil dari kita semua dangan sabda beliau, ‘Hendaklah kalian ambil bagian untuk hidup di dunia ini seperti sekadar perbekalan untuk seorang pengembara.’ Sementara barang-barang di rumahku sebanyak ini..”
Mendengar jawaban Salman yang begitu menyayat hati, Sa’ad merasa sangat kagum. Ia pun berkata, “Subhanallah, ya Salman. Padahal tiadalah barang di rumahmu kecuali hanya sebuah ember tempat mencuci pakaian yang tak seberapa harganya. Tetapi engkau begitu takut bila jatuh dalam hidup berlebihan dan kemewahan duniawi yang akan menimpamu. Lalu bagaimana dengan kami ini yang penuh dengan kemewahan fasilitas duniawi..?”
Di dalam kondisi krisis yang kian menjadi dan tak kunjung henti ini, agaknya kita patut mengkaji persepsi kita tentang kehidupan dunia. Apalagi di sisi lain, keanekaragaman kemewahan fasilitas duniawi terus menggedor iman kita. Apakah kita akan “berjuang” untuk mereguknya dengan jalan batil? Di dalam meniti kehidupan dewasa ini, seharusnya kita berusaha meneladani sikap hidup Rasulullah saw dan Salman Al Farisi. Ingatlah, kemewahan hidup duniawi tidak ada artinya ketika kita menghadap Allah SWT. Hanya amal shalih yang dihitung Allah nantinya. Itulah kebahagiaan hakiki. Sehingga, krisis amal shalihlah sesungguhnya yang akan mewariskan kesengsaraan abadi. Wallahu a'lam bishawab.
M. Jundullah Rabbani
Disadur dari majalah Sabili Edisi No 24 TH. VII / MEI 2000 / 13 SAFAR 1421