Diskusi Publik Jelang Pembacaan Putusan MK, Akankah Putusan Itu Memenuhi Rasa Keadilan?

Pertanyaan itu menjadi inti pemicaraan dalam Diskusi Publik yang digelar di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2024). Diskusi Publik yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam itu menghadirkan sejumlah narasumber. Di antaranya adalah Masinton Pasaribu (Politikus PDI-P), Feri Amsari (Pakar Hukum Tata Negara), Abraham Samad (Mantan Ketua KPK), dan Titi Anggraini (Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia). Acara yang dihelat ASA Indonesia dan Forum Anomali itu mengangkat tema “Akankah Putusan MK Memenuhi Rasa Keadlilan?”

Membaca tema tersebut, tentu sudah bisa tergambar bahwa diskusi menarik itu memotret soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadwalkan akan dibacakan pada 22 April 2024 mendatang. Diskusi ini juga mengupas problematika di seputar Putusan MK Nomor 90 yang meloloskan anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Putusan yang dinilai sarat masalah dan cacat hukum.

Peserta diskusi mayoritas adalah mahasiswa yang hadir seluruh Indonesia. Mereka datang dari latar belakang universitas berbeda-beda. Bahkan ada peserta dari Universitas Hasanuddin Makassar yang turut hadir. Juga ada sejumlah mantan Ketua BEM dan beberapa orang aktivis Gerakan mahasiswa, di antaranya adalah Melki Sedek Huang (Mantan Ketua BEM UI), Haikal Febrian Syah (Ketua BEM Unpad 2023), Afiq Naufal, Geilbran Muhamma, Iqbal Kholidin, dan sejumlah aktivis Gerakan mahasiswa lainnya. Pemantik diskusi, Afiq Naufal, menuntun jalannya acara sejak awal hingga selesai.

Di dalam kesempatan tersebut, Iqbal Kholidin menyampaikan, banyak problematika yang dibuat MK terkait Pemilu 2024. Hal itu mengigat sebelumnya MK juga yang meloloskan pencalonan Gibran sebagai Cawapres.

Baca juga: Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia Sebut Tiga Cara Manipulasi Suara Pemilih

“Pertama MK sebagai menimbulkan kericuhan, yang kedua MK sebagai menimbulkan kontroversi. Kenapa kita harus pandang seperti itu? Karena intinya pada tanggal 22 April nanti, apa pun keputusannya, kami mengigat bahwa hal itu akan menimbulkan keributan dan kontoversi di masyarakat, yang nantinya siapa lagi yang ketawa? Ya, balik lagi politisi-politisinya. Ya, balik lagi oligarki-oligarkinya,” cetus Iqbal Kholidin.

Kemudian, ia menyinggung juga terkait sifat anak muda yang merasa dirinya hanya bertanggung jawab saat pencoblosan saja. Setelah itu, tidak ada lagi control. Apalagi ditambah rasa jenuh di kalangan anak muda.

“Banyak anak muda merasa tugasnya selesai ketika mereka sudah mencoblos di hari H Pemilu. Tetapi kemudian mereka dipertemukan dengan banyak kericuhan dan polemik pasca pencoblosan. Dan pada akhirnya ketika kita mau bikin konsolidasi yang besar, maka apa yang terjadi? Teman-teman jenuh,” ujarnya.

Usai diskusi ini, harapannya adalah rekan-rekan mahasiswa lantas memiliki kesadaran penuh untuk tetap mengawal proses demokrasi yang sedang berjalan, yaitu pemilihan presiden.