Fragmentasi Politik Umat Islam dan Gagasan Lokomotif Persatuan
Sejarah politik umat Islam di Indonesia menunjukkan pola yang berulang: Kekuatan besar yang dimiliki umat sering kali melemah karena fragmentasi. Suara yang mestinya menjadi penentu arah bangsa, tercerai-berai dalam sekat partai, ormas, dan kepentingan yang saling bersaing. Di dalam keadaan demikian, tidak heran jika umat Islam, meski mayoritas, kerap menjadi minoritas dalam pengambilan keputusan strategis bangsa.
Dari Masyumi ke Fragmentasi Umat
Sejak awal berdirinya pada 7 November 1945, Masyumi bukan sekadar partai politik, melainkan perwujudan gagasan Majelis Syura Muslimin Indonesia. Wadah ini menyatukan Muhammadiyah, NU, PSII, Perti, dan tokoh-tokoh independen dalam semangat persatuan di bawah panji tauhid.
Namun, persatuan itu tidak bertahan lama. Tahun 1952, NU keluar dari Masyumi. Fragmentasi ini langsung terasa dalam Pemilu 1955. Hasil perolehan suara pada Pemilu 1955 adalah: PNI meraih 22,3% suara (57 kursi); Masyumi mendapat 20,9% suara (57 kursi); NU meraih 18,4% suara (45 kursi); PKI mendapat 16,4% suara (39 kursi); PSII meraih 2,9% suara (8 kursi).
Jika suara Masyumi, NU, dan PSII digabung, umat Islam sejatinya meraih hampir 42% suara nasional. Jauh melampaui PNI. Namun karena terfragmentasi, kekuatan politik itu gagal menjadi mayoritas yang solid.
Era Orde Baru: Politik Terkungkung
Pada masa Orde Baru, semua partai Islam dipaksa bergabung dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Di dalam Pemilu 1977, PPP berhasil meraih 29,3% suara. Namun, tekanan politik rezim Soeharto membuat suara PPP terus merosot. Pemilu 1982: 27,8%; Pemilu 1987: 16%; Pemilu 1992: 17%; Pemilu 1997: 22%.
Dominasi Golkar dan kooptasi negara membuat partai Islam sulit berkembang, meski potensi umat tetap besar.
Era Reformasi: Islam Jadi Minoritas Politik
Reformasi 1998 membuka ruang demokrasi baru. Namun, euforia kebebasan justru melahirkan fragmentasi lebih dalam. Partai-partai Islam lahir dengan ideologi dan basis massa yang beragam: PKB, PAN, PPP, PBB, PKS, hingga partai-partai kecil lain.
Data elektoral menunjukkan tren penurunan konsistensi suara partai Islam:
Pemilu 1999: partai Islam total meraih ± 38% suara (PKB 12,6%, PPP 10,7%, PAN 7,1%, PBB 1,9%, PK 1,4%). Pemilu 2004: turun menjadi ± 32%. Pemilu 2009: stagnan di ± 29%. Pemilu 2014: kembali naik ke ± 31%. Pemilu 2019: hanya ± 29% (PKB 9,7%, PKS 8,2%, PAN 6,8%, PPP 4,5%).
Angka tersebut membuktikan mayoritas umat Islam tidak terkonsolidasi dalam satu kekuatan politik. Fragmentasi membuat umat Islam sulit menjadi lokomotif utama dalam arah kebijakan nasional.
Gagasan MPUII: Kembali ke Rumah Besar Umat
Di dalam konteks inilah, gagasan tentang Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia (MPUII) menemukan momentumnya. MPUII bukan sekadar forum musyawarah, melainkan ide lokomotif: Kendaraan persatuan yang mengikat semua elemen umat, baik ormas, partai, maupun kelompok strategis.
Jika gagasan ini berhasil, umat Islam tidak lagi terpecah dalam sekat elektoral, tetapi bisa bersatu dalam visi kebangsaan. Dengan modal jumlah penduduk Muslim lebih dari 87% di Indonesia, persatuan itu akan membentuk basis politik yang kokoh untuk membangun “Pemerintahan Umat Islam Bangsa Indonesia”.
Akhir Tulisan
Sejarah memberi pelajaran tegas: Umat yang tercerai-berai akan menjadi penonton, sedangkan umat yang bersatu akan menjadi penentu. Dari Sarekat Islam, Piagam Jakarta, hingga Masyumi, semua menunjukkan bahwa ketika umat Islam bersatu, bangsa ini bergerak menuju babak baru yang lebih adil dan bermartabat.
Kini saatnya gagasan MPUII dihidupkan kembali. Sebab, mayoritas tanpa persatuan hanya akan melahirkan kelemahan, tetapi persatuan dalam tauhid akan menjadikan umat Islam sebagai kekuatan penentu arah bangsa.
Penulis: Nunu A. Hamijaya (Sejarawan Publik)