Gas Melon dan Sopir Angkot
Gas melon (kemasan nett 3 kg) langka. Ibu-ibu marah, dapur tak ngebul bukan karena bapaknya anak-anak telat memberi uang belanja. Para suami gusar pula, harus dapat tugas tambahan; ikut berburu gas tabung 3 kg yang beberapa waktu ini tak lagi mudah didapatkan oleh istri mereka.
Ada hubungan yang cukup dekat antara tabung gas 3 kg dengan dapur. Terutama dapur keluarga kelas menengah ke bawah. Konsumen utama gas tabung 3 kg yang populer dengan sebutan gas melon adalah kelompok kelas menengah ke bawah. Jumlah mereka banyak, mencakup puluhan juta kepala keluarga.
Gas dan dapur mereka berhubungan erat dengan perut yang menjadi simbol kebutuhan paling primer dalam kehidupan manusia. Mereka tak mampu membeli makanan siap saji. Maka, gas menjadi begitu penting.
Meruntut sejarahnya, gas melon memang dirancang pemerintah hanya diperuntukkan bagi kelompok miskin. Sayangnya, pemerintah gagal membatasi kelompok menengah ke atas yang tak malu-malu ikut jajan gas melon untuk dapur mewah mereka.
Murni, ini adalah kegagalan pemerintah untuk “melindungi“ gas melon dari daftar belanja kelompok ekonomi mampu. Mengapa kegagalan pemerintah? Kelas menengah tak bisa dilarang untuk membeli barang murah yang beredar di pasar. Logika ekonomi dasar membenarkan tindakan mereka. Jika ada barang murah, mengapa beli yang mahal jika fungsi dan kualitasnya sama?
Lucu, saat pemerintah sebagai regulator justru hanya memberi imbauan moral agar kelompok ekonomi menengah tak membeli gas LPG 3 kg. Masalah ekonomi yang bersifat mendasar coba diatur agar tepat sasaran dengan imbauan moral! Padahal, pemerintah memiliki power untuk mengeluarkan peraturan, infrastruktur, birokrasi, dan strategi, yang mestinya mampu memagari gas melon agar tak jadi rayahan di pasar.
Baca Juga :
Pada akhirnya pemerintah paham, gas melon tak tepat sasaran sehingga kerap terjadi kelangkaan, justru di kalangan yang menjadi target utama keberadaan gas melon. Lalu muncul kebijakan Menteri Ekonomi dan Sumber Daya Mineral; pengecer dilarang menjual gas melon!
Itu kebijakan yang diharapkan mampu mengamankan distribusi gas melon agar tepat sasaran. Tetapi apa lacur, kebijakan ini malah membikin gas melon lenyap dari pasaran. Inilah yang membuat masyarakat marah di sejumlah daerah di Indonesia.
Gas Melon dan Sopir Angkot
Sungguh tak dapat dicerna, bagaimana pemerintah – dalam hal ini Kementerian ESDM – mengambil langkah yang sembrono untuk urusan kebutuhan dasar orang banyak. Tanpa kajian yang mendalam, tanpa uji coba, tanpa mengukur risiko yang mungkin terjadi, secara mendadak menerapkan larangan gas melon dijual oleh pengecer!
Boleh jadi, perintah untuk mengefektifkan peruntukan gas melon memang instruksi presiden, sebagaimana ungkapan Menteri Bahlil Lahadiala yang membantah tudingan Sufmi Dasco. Tetapi perintah itu mestinya diimplementasikan dengan strategi dan manajemen yang baik.
ESDM tak boleh berperilaku layaknya sopir angkot. Melakukan rem mendadak saat ada perintah penumpang, “Stop Bang..”, tanpa memerhatikan rambu, apakah boleh berhenti atau tidak, langsung saja mobil dihentikan. Tentu saja tindakan ini mengagetkan sopir lain yang ada di belakangnya. Membahayakan diri sopir, penumpang, dan dapat mengacaukan arus lalu lintas.
Menteri ESDM layaknya sopir angkot wajib menerjemahkan instruksi Presiden dengan cerdas. Lihat ke depan agar tidak melanggar aturan saat berhenti, mengontrol laju angkot jangan sampai rem mendadak, jangan lupa kasih sign kiri, lihat ke bawah agar penumpang turun dengan selamat, lihat kaca spion untuk mengukur jarak aman dengan kendaraan lain yang ada di belakang. Semuanya agar tak semakin banyak pihak yang marah bahkan celaka.
Jangan sampai lampu sign ESDM mati, kaca spionnya pecah, atau akan lebih parah lagi jika sopirnya ternyata belum punya SIM. Atau punya SIM tetapi tanpa tes!