Gerakan Boikot Bikin Brand Lokal Banjir Cuan!
Kampanye boikot terhadap produk-produk pendukung penjajahan Israel telah membuat raksasa bisnis global semisal Coca-Cola, Starbucks, dan Unilever, mengalami tekanan berat. Di sisi lain, kampanye boikot produk-produk pendukung penjajahan Israel membuka jalan bagi kebangkitan produk lokal di berbagai sektor. Tercatat, sejak akhir 2023 hingga pertengahan 2025, sejumlah merek asli Indonesia mengalami lonjakan permintaan, penjualan, hingga laba bersih.
Boikot terhadap Starbucks dan McDonald’s membuat konsumen berbondong-bondong beralih ke produk dalam negeri. Almaz Fried Chicken menjadi salah satu contoh sukses. Di dalam beberapa bulan terakhir, mereka membuka 37 gerai baru di Jabodetabek dan Sumatera. Menariknya, 5% dari keuntungan Almaz disalurkan sebagai donasi kemanusiaan untuk rakyat Palestina.
Sementara itu, ParagonCorp melaporkan pertumbuhan dua digit pada kuartal I 2025. Wardah brand kosmetik Muslimah yang merupakan salah satu brand andalan mereka, kini menguasai sekitar 25% pangsa pasar kosmetik domestik. Brand lain mereka, yaitu Kahf dan Safi, juga berkontribusi signifikan terhadap kenaikan pendapatan.
Tak hanya merek besar, pelaku UMKM juga menikmati berkah dari kampanye boikot. Konsumen yang ingin menjauhi produk asing lantas semakin aktif mencari dan memromosikan alternatif lokal — mulai dari makanan, minuman, fesyen, hingga produk rumah tangga. MUI menyebut fenomena ini sebagai “hikmah boikot” karena masyarakat kini semakin menyadari kualitas dan potensi produk dalam negeri.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, seperti dilansir dari Republika, menyatakan, gerakan boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan penjajah Israel dapat menciptakan peluang baru, terutama dalam meningkatkan permintaan terhadap produk lokal. Pada 22 Mei 2025, Faisal menyebut kondisi itu juga bisa menjadi pemicu meningkatnya minat terhadap produk UMKM.
“Itu banyak terjadi, bukan hanya di Indonesia. Di negara-negara lain, ketika ada boikot, sering kali muncul produk-produk lokal baru yang kemudian malah bisa bersaing,” ujar Faisal.
Gelombang boikot itu dipicu oleh meningkatnya kekejaman penjajah Israel terhadap rakyat Palestina, terutama setelah tragedi kemanusiaan di Gaza. Ribuan korban jiwa, termasuk anak-anak, dilaporkan tewas akibat serangan udara dan blokade penjajah Israel. Banyak perusahaan global yang terafiliasi dan memberi dukungan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan penjajah tersebut, baik melalui sumbangan, kemitraan, atau afiliasi politik.
Menyikapi hal itu, gerakan boikot pun bergelora. Organisasi semisal BDS (Boycott, Divestment, and Sanctions) dan fatwa resmi MUI (Majelis Ulama Indonesia) memerkuat gerakan ini. Hasilnya, terjadi pergeseran besar dalam pola konsumsi masyarakat Muslim Indonesia.
Jadi, boikot bukan hanya bentuk solidaritas terhadap Palestina, tetapi juga membuka peluang emas bagi merek lokal untuk berkembang. Di tengah kondisi geopolitik yang kompleks, masyarakat Indonesia membuktikan bahwa pilihan konsumen bisa menjadi senjata ekonomi yang ampuh sekaligus membangkitkan kemandirian nasional.