Gerakan Childfree, Gerakan Sekumpulan Manusia Pesimis
Penulis: Rif'at Mubarok, B.A (Direktur Majalah Mahasiswa El-Nilein 2017-2018)
Beberapa pekan terakhir jagad maya Indonesia dihebohkan dengan sebuah pengakuan dari seorang influencer yang menyatakan bahwa ia pelaku childfree. Hal ini dijadikan momen para pelaku childfree lainnya untuk muncul, menegaskan identitas dirinya dan menyuarakan prinsipnya. Grup-grup yang berisikan pelaku gerakan ini bermunculan di medsos. Di facebook saja ada beberapa grup childfree yang memiliki cukup banyak pengikut.
Tidak ada yang istimewa dari gerakan ini, selain fakta bahwa ia hanya produk cacat yang dilahirkan peradaban, jauh dari tuntunan agama. Mengherankan, kenapa hal ini justru “laku” di negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia? Padahal secara prinsip gerakan ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Hal ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, Sejauh mana jurang kuantitas dan kualitas muslim di Indonesia? Karena menurut sebuah penelitian, penganut childfree relatif kurang religius (Heaton, Jacobs, and Fu 1992; Moseher, Williams, and Johnson 1992).
Fenomena childfree bukanlah barang baru. Gerakan itu mulai berkembang ketika Barat memasuki zaman renaissance dan ditentang oleh banyak kalangan. Penentangan ini wajar karena childfree merupakan gerakan menyimpang dan sangat bahaya bagi kemanusiaan.
Lihat saja dampak yang ditimbulkan dibanyak aspek dan telah diulas dibanyak jurnal dan penilitian. Dari segi kesehatan childfree meningkatkan resiko peningkatan kasus kanker payudara dan rahim, dari segi psikis childfree meningkatkan peluang depresi.
Demografi yang terdampak langsung dan mengalami defisit menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Kita bisa melihat bagaimana Putin menjanjikan uang yang setara dengan 106 juta rupiah bagi pasangan yang memiliki anak untuk menggenjot pertumbuhan populasi.
Jepang baru terpapar childfree 20 tahun belakangan, mengalami krisis populasi yang amat parah hingga jumlah bangunan di Jepang berjumlah dua kali lipat dari jumlah penduduk.
Apa sebenarnya yang menyebabkan manusia memilih childfree? Jika membaca jurnal-jurnal yang membahas childfree, kita akan dapati bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi antara lain faktor Pribadi emosional, psikologis dan medis karena trauma, fobia, penyakit genetik.
Selain itu faktor pertimbangan ekonomi, Alasan filosofis, dan kerusakan Lingkungan.
Namun jika kita telisik lebih lanjut kita dapati dua kata kunci, kebebasan dan kebahagiaan. Dua kata ini sangat dekat dengan syahwat, maka benarlah ucapan Syaikh Abu Hasan Ali Al-Hasani An-Nadawi dalam bukunya berjudul Apa Kerugian Dunia Dengan Kemunduran Umat Muslim?, bahwa di zaman jahiliah akal menjadi anugerah yang diberikan kepada manusia, menjadi alat untuk berkreasi dalam mencari berbagai macam cara dan jalan untuk memuaskan syahwat. Akal dipakai untuk melepaskan diri dari tanggung jawab dan nilai-nilai agung untuk memenuhi kebahagiaan mereka belaka.
Jika kejahiliahan diartikan sebagai zaman yang kehilangan nilai-nilai baik dan bukan suatu penggalan periodik zaman tertentu, maka saat ini kita berada pada zaman jahiliah.
Alih-alih menghadapinya, penganut childfree lari dari ketakutan dan kekhawatiran dengan jalan pengecut. Lalu di mana Iman kepada Allah yang maha kuasa dan maha segalanya diletakkan dalam kehidupan kita? Betul, Anak memang amanah dan cobaan yang dibebankan kepada orang tua oleh Allah, namun di saat yang sama ia juga aset berharga dan anugerah tak ternilai harganya.
Mari kita lihat sebuah potret orang tua yang menjadikan anak keturunannya menjadi aset yang begitu bernilai, ia adalah Nabi Ibrahim. Doanya yang diabadikan Allah dalam Al-Quran mengungkap hal itu semua.
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Visi doanya yang begitu jauh dan agung memohon anak keturunan yang menjadi sumber kebaikan dan perbaikan bagi umat manusia dihadiahi Allah 15 Rasul berasal dari keturunannya termasuk di dalamnya Nabi Muhammad.
Jika kita membaca sejarah, kita dapati kemajuan yang dialami oleh Barat merupakan efek samping dari tersebarnya Agama Islam ke seluruh pelosok dunia. Tak heran jika Michael H Hart menjadikan Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh di dalam sejarah. Ia adalah buah dari doa Nabi Ibrahim dan beliau adalah seorang "anak".
Peradaban sudah semakin tua dan jompo, ia digerogoti banyak penyakit sehingga tidak bisa menunaikan perannya dengan baik, berketurunan serta menyiapkan visi-misi kehidupan generasi mendatang adalah satu-satunya jalan untuk meremajakan peradaban.
Tentu memerlukan perjuangan yang tak mudah untuk menciptakan generasi baru yang bisa membawa kebaikan bagi kemanusiaan, tapi bukankah hidup adalah perjuangan? Hanya pengecut yang gugur sebelum berjuang.