Gerakan Dakwah Pedalaman Kampus Natsir dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Setiap tahun, kampus Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah (STID) Mohammad Natsir — selanjutnya disebut Kampus Natsir — selalu mengirimkan kader dakwah ke pelosok-pelosok negeri. Daerah yang disebut 3T (terluar, terdalam, dan terpencil) menjadi target utamanya. Program pengiriman dai ke pelosok negeri itu sudah menjadi agenda wajib tahunan, dilaksanakan dua kali dalam setahun.
Pertama, pengiriman dai dilakukan saat duduk di bangku semester enam pada waktu Ramadan, yang dilangsungkan kurang-lebih (-+) selama dua bulan. Diberangkatkan sepuluh hari sebelum Ramadan dan pulang pada sepuluh hari setelah Ramadan. Kedua, dakwah ke pedalaman yang dilaksanakan setelah lulus, sebagai program wajib pengabdian selama satu sampai dua tahun.
Pengiriman dai ke pelosok negeri telah lama berjalan. Bahkan sejak era Pak Natsir memimpin Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII). Kepekaan Pak Natsir dalam membaca situasi yang pada masanya sedang gencar terjadi gerakan Kristenisasi, membuat beliau menaruh perhatian terhadap masyarakat di daerah pesisir dan pedalaman. Ketika itu, masyarakat pedalaman masih kesulitan mengakses informasi, ditambah minimnya guru ngaji. Tentu saja hal-hal tersebut membuat mereka berpotensi menjadi target Kristenisasi.
Gerakan dakwah ke pedalaman menjadi solusi untuk menghadapi gerakan Kristenisasi saat itu. Sampai saat ini, program tersebut tetap berlangsung dan masih relevan. Program itu dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga telah menjadi ciri khas DDII dan Kampus Natsir, meski pun saat ini beberapa lembaga dakwah juga telah mulai memperhatikan dakwah ke pedalaman. Masyarakat di pedalaman, khususnya daerah pesisir, merasa senang dan bahagia dengan kedatangan para dai yang siap dan bersedia membina serta memberdayakan spirit keagamaan mereka.
Warloka di Ujung Nestapa
Lewat program bernama “Kafilah Da'wah”, Kampus Natsir mengirimkan kader-kadernya ke pedalaman. Awal bulan Maret 2024, mulai dari tanggal 1 sampai 10, Kampus Natsir menerjunkan 227 kader dai dan daiyah-nya ke seluruh pelosok daerah pedalaman Nusantara untuk menyapa warga desa dengan spirit risalah agama.
Muhammad Iqbal, mahasiswa semester enam dari Prodi Pengembangan Masyarakat Islam STID Mohammad Natsir, waktu itu menjadi salah satu peserta Kafilah Da'wah yang bertugas di daerah pesisir Labuan Bajo. Tepatnya di Desa Warloka, Kecamatan Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Kedatangan dia menyambangi Desa Warloka saat itu disambut riang gembira. Perjalanan panjang dia menuju Warloka pun disuguhi harapan dan suka cita masyarakat di sana. Sebab, Desa Warloka memang membutuhkan dai. Keberadaan dai di desa tersebut tidak dapat dihitung oleh jumlah individu, melainkan dengan ukuran waktu. Kedatangan dan kepergian dai berdampak serius pada keberadaan dan ketiadaan guru ngaji.
Di Desa Warloka terdapat lembaga pendidikan untuk anak-anak, yaitu Taman Pendidikan Anak-anak (TPA) An-Nur (sesuai dengan nama musholanya). TPA An-Nur didirikan oleh mahasiswa Kafilah Da'wah tahun 2021. TPA itu menjadi fasilitas anak-anak untuk belajar membaca Al Qur’an, iqra, dan dasar-dasar ajaran Islam.
Sayangnya, TPA tersebut mengalami kevakuman aktivitas belajar dan mengajar setelah kepergian Da’i Kafilah Da'wah saat itu. Dan baru dapat hidup kembali setelah kedatangan Da'i Kafilah Da'wah berikutnya, yaitu tahun 2022.
Jadi, karena memang desa tersebut butuh dai, kenestapaan itu pun tak dapat dihindari, yaitu kepergian Da'i Kafilah Da'wah 2022 membuat aktivitas belajar mengajar di TPA An-Nur kembali terhenti. Nahasnya lagi, di tahun 2023 tak ada seorang pun Da'i Kafilah Da'wah yang dikirimkan ke desa itu. Kegiatan belajar mengajar dapat dimulai lagi pada waktu kedatangan Da'i Kafilah Da'wah tahun berikutnya, yaitu tahun 2024.
Mereka harus menunggu satu tahun lebih supaya bisa belajar mengaji, dan hanya untuk dua bulan dalam setahun. Potret kehidupan keagamaan mereka pun sangat sporadis. Ibadah dan maksiat bercampur dalam satu waktu. Semisal melaksanakan shalat tetapi juga menjalankan maksiat, malamnya shalat tarawih siangnya makan-makan, dan sebagainya. Tidak ada yang mengarahkan dan membimbing mereka. Tidak ada dai pengabdian di sana. Sekali lagi, Warloka butuh dai!
“Harapan kami kepada kampus STID Mohammad Natsir, mengirimkan dai itu jangan cuma satu bulan. Kami maunya satu sampai dua tahun,” ucap salah seorang warga Desa Warloka, Pua Suparman, dengan aksen Indonesia Timurnya.
Mushala Desa Warloka Harus Berdaya
Selama bertugas di desa pesisir Warloka, Iqbal bukan hanya mengajar anak-anak dan membina kajian orang tua. Ia juga berikhtiar mengembangkan fasilitas bangunan tempat ibadah di sana. Atas inisiatifnya, ia mencoba mengumpulkan pemuda Desa Warloka dan mengajak mereka untuk melakukan penggalangan dana.
Iqbal beserta pemuda Desa Warloka beriringan mengunjungi rumah warga, door to door, sebanyak 225 KK dimintai kontribusinya untuk pengembangan fasilitas tempat ibadah. Walhasil, berkat antusiasme masyarakat di sana, jumlah penggalangan dana yang didapatkan mencapai Rp 6.800.000.
Dengan dana sejumlah itu, mereka dapat membeli kilowatt hour (KWh) untuk Mushala An-Nur, memperbaiki jembatan mushala yang awal mulanya berbahan kayu menjadi beton coran, mengganti keran tempat wudhu, membeli kipas, mic dan stand mic, perlengkapan kebersihan, dan lain-lain.
Demikianlah. Sejatinya memang sudah menjadi tugas dai untuk melaksanakan tugas pemberdayaan. Suatu usaha menjadikan masyarakat berdaya adalah kewajiban semua, khususnya para pelaksana tugas dakwah, apapun latar belakangnya. Sehingga, agenda memberdayakan masyarakat harus dipersiapkan dalam perencanaan dakwah.
Penutup
Program dakwah pedalaman merupakan warisan program kerja dari Pak Natsir yang sampai kini masih relevan, meski barangkali sudah berbeda tupoksinya. Tetapi substansinya tetap sama, yakni melakukan pembinaan terhadap masyarakat pedalaman sebagai warga Muslim yang tertinggal secara ilmu pengetahuan.
Dakwah pedalaman saat ini menjadi program Kampus Natsir yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang merindukan kedatangan para dai, para aktor dakwah yang akan melayani kebutuhan spiritual mereka. Jadi anggap saja permintaan pengiriman dai dari masyarakat pedalaman sebagai semacam proposal permohonan dai. Pada akhirnya, gerakan dakwah pedalaman harus tetap eksis, sampai dengan hilangnya daerah pedalaman itu sendiri. Wallahu’alam