Gerakan Islam (Cenderung) tidak Serius Soal Teknologi
Perkembangan teknologi sering dipandang secara parsial. Penampakan empirik biasanya menjadi tolak ukur kemajuan. Hal ini cenderung menyebabkan ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam menelaah konteks dari sebuah realitas. Sebagai kelompok mayoritas, umat dan gerakan Islam punya andil besar dari kesalahpahaman ini.
Jika melihat tren teknologi di dunia, gaya bahasa desain tiap produk baik hardware maupun software cenderung terkesan lebih Simple. Sebagai contoh website resmi Apple, Microsoft, atau bahkan Alphabet sebagai induk dari Google. Bagi sebagian dari kita, tampilan seperti itu mungkin akan dikritik karena terlalu banyak ruang kosong.
Banyak yang tidak menyadari atau mungkin lupa, teknologi hadir sebagai solusi dari suatu masalah. Perkembangan teknologi yang terjadi tidak dimulai dari seberapa keren tampilan antarmuka itu akan terlihat. Tapi pertimbangan persona user dan nilai kebermanfaatan menjadi dasar pemikiran pengembangan teknologi sehingga menelurkan karya yang bisa disebut keren.
Baca juga: Gerakan Aktivis Konservatif yang Sok Progresif #1 : "Sebuah Catatan Personal Mantan Aktivis Gerakan Pelajar"
Sebagian pegiat gerakan Islam hari ini terkesan lebih berfokus menduplikasi teknologi yang ada lalu diberi label “Islam” atau syariah. Paling simple kita sering temui “Tokopedia versi muslim”, “Gojek tapi yang punya muslim”, atau “e-wallet syariah”. Bukan hal yang salah, tapi kesalahan paradigma berefek pada buruknya eksekusi akhir suatu produk. Pada akhir cerita, sebagian besar dari kita tetap akan menggunakan aplikasi mainstream untuk menunjang kebutuhan harian.
Umat Islam punya potensi, tapi mutiara itu tenggelam oleh kesalahan paradigma komunal. Ketika anak muda yang serius menekuni teknologi mulai menggemakan gagasannya, sebagian akan dimentalkan pernyataan sinis dan kenyataan pahit stagnasi pola pikir masyarakat muslim. “Aplikasinya terlalu simple, desainnya kurang rame”, “gak ada yang akan pake ini mah”, “wah mahal ya mas”, dan lainnya adalah kenyataan yang terlalu lumrah sampai pemakluman sudah seperti bernafas, jadi sebuah keharusan.
Habibie pernah dicerca hanya karena kejeniusannya belum mampu diolah oleh pikiran-pikiran polos masyarakat kala itu. Cerita berlanjut sampai hari ini, dan pikiran-pikiran brilian putra/putri terbaik kita masih harus mencari suaka di negara lain karena terjebak dalam ruang kosong peradaban di negeri tercinta.
Sampai kapan? Sampai kita bisa membuka diri untuk terlibat pada perubahan, perkembangan, dan kemajuan yang sesungguhnya.