Guru Besar USK: Hari ke-20 Bencana Aceh, Jangan-Jangan Negara Gagal Tangani

Bencana alam yang melanda Sumatera telah meninggalkan jejak penderitaan yang panjang dan berlapis. Hingga hampir tiga pekan berlalu sudah, puluhan warga dilaporkan hilang, sebagian ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa, sementara ribuan lainnya terpaksa mengungsi dengan meninggalkan rumah, ladang, tempat usaha, dan seluruh tatanan hidup yang selama ini menopang keseharian mereka. Jalan terputus, jembatan runtuh, aliran listrik dan komunikasi lumpuh, sementara hujan yang turun berulang kali kian memperpanjang kecemasan.

Bagi mereka yang berada di luar zona terdampak, bencana alam tersebut mungkin tampak sebagai peristiwa yang sesaat datang, menghancurkan, lantas berlalu. Namun bagi para korban, bencana adalah keadaan hidup yang menetap, sebuah kondisi di mana ketidakpastian menjadi rutinitas. Setiap pagi hari dibuka dengan rangkaian pertanyaan, apakah hari ini bantuan akan datang, apakah air bersih tersedia, apakah anak-anak bisa makan dengan layak, dan apakah negara benar-benar mengetahui keberadaan mereka.

Sudah hari ke-20 bencana melanda Sumatera, dan waktu yang terus berjalan ini justru memperjelas satu hal tentang penderitaan warga yang tidak berhenti ketika air surut, longsor mereda, atau hujan berpindah ke wilayah lain. Bencana tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga luka struktural ketika sistem yang seharusnya melindungi justru berjalan terseok-seok. Hingga muncul dugaan, jangan-jangan negara benar-benar gagal dalam menangani bencana ini.

Dua puluh hari adalah waktu yang sangat panjang dalam situasi darurat. Di dalam kerangka manajemen bencana, fase tanggap darurat seharusnya menjadi fase paling sigap, paling adaptif, dan paling berpihak pada korban. Namun realitas di Sumatera menunjukkan gambaran yang berbeda. Bantuan tidak merata, akses ke wilayah terpencil tersendat, dan di beberapa titik masyarakat terpaksa mengibarkan bendera putih. Akankah itu menjadi sinyal butuh bantuan asing?

Catatan Perjalanan Seorang Dokter Kemanusiaan di Aceh
Lebih 20 tahun setelah peristiwa Tsunami Aceh pada Desember 2004, Aceh kembali diuji. Kali ini dalam banjir bandang yang tak kalah menghancurkan. Dan ini adalah pengalaman dr. Prita Kusumaningsih yang bersama tim Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) turun langsung ke Aceh.

Kritik tajam itu disampaikan Prof. Humam Hamid, Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK), Aceh. Ia berbicara sebagai intelektual yang membaca gejala sosial dengan keprihatinan mendalam. Ketika bencana telah memasuki hari ke-20 tetapi warga masih kekurangan makanan dan harus mengibarkan bendera putih, ia menyampaikan, “Jangan-jangan negara gagal dalam responsnya.”

Kritik tersebut justru menunjukkan bahwa negara masih diharapkan hadir secara utuh di sana. Sebab, hanya kepada negara, harapan terakhir itu ditujukan.

Pemerintah harus paham bahwa (penanganan) bencana itu tidak harus menunggu laporan. Bencana itu nggak menunggu rapat. Bencana itu kematian, bencana itu kelaparan. Ini sudah hari ke-20. Membuka pintu bantuan asing bukan tanda kelemahan! Negara kuat dalam menghadapi krisis yang amat besar ini tidak bisa bekerja sendirian. Pengibaran ‘bendera putih’ di Aceh tidak bermaksud untuk menghina negara, namun (sebagai) tanda ‘Selamatkan kami! Selamatkan kami!’” tuturnya.

Lantas mengapa status bencana tidak diubah? Padahal dampak telah meluas, korban terus bertambah, dan daya tahan masyarakat semakin menipis. Sedangkan status bencana adalah pintu masuk bagi kebijakan luar biasa, penggunaan anggaran yang lebih fleksibel, pengerahan sumber daya nasional secara penuh, serta penyederhanaan prosedur yang kerap menghambat respons cepat.

Ketika status bencana tidak dinaikkan, pesan yang terbaca oleh publik adalah bahwa situasi ini masih dianggap dapat ditangani secara normal. Padahal, di lapangan, warga hidup dalam kondisi yang jauh dari normal.

Keabsurdan Bencana Tanda Tangan: Saat Teriakan Masyarakat dan Aktivis Lingkungan Diabaikan
Kerusakan ekosistem alam tidak bisa hanya diselesaikan dengan mencabut izin perusahaan berkinerja buruk, karena pada akhirnya semua sudah terlambat, banjir kini telah menelan korban ratusan jiwa. Banjir dan longsor juga mengakibatkan perekonomian lumpuh dan ratusan desa hilang.

Kegelisahan itu semakin besar ketika negara memilih menutup diri dari bantuan asing. Di dalam kondisi ideal, kemandirian nasional adalah tujuan yang mulia. Namun dalam situasi darurat, membaca bantuan internasional tidak bisa diartikan sebagai sikap ketergantungan, melainkan bentuk solidaritas kemanusiaan. Banyak negara menerima bantuan asing tanpa kehilangan martabatnya, tetapi justru karena yang diprioritaskan adalah keselamatan warganya.

Penolakan bantuan asing di tengah keterbatasan kapasitas nasional itu memunculkan kesan bahwa negara lebih sibuk menjaga citra daripada membuka semua kemungkinan penyelamatan. Padahal, setiap hari keterlambatan berarti tambahan risiko bagi korban terutama kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan perempuan.

Ketika negara menyatakan keterbatasannya tetapi pada saat yang sama tidak memaksimalkan seluruh opsi yang tersedia, mulai dari pengubahan status bencana hingga membuka akses bantuan internasional, itu artinya sudah jelas bahwa negara gagal dalam membaca urgensi, dalam menimbang prioritas, dan dalam meletakkan keselamatan rakyat di atas pertimbangan lain. Dan bencana Sumatera hari ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana ketiadaan keputusan besar bisa berdampak sebesar bencana itu sendiri.

Dua puluh hari telah berlalu, menjadi tambahan beban bagi warga yang bertahan di pengungsian, di rumah-rumah rusak, atau di wilayah yang terisolasi. Pertanyaannya, mengapa pemerintah menolak bantuan asing ketika penderitaan masih berlangsung? Dan mengapa status bencana tidak diubah saat kondisi darurat jelas belum usai?

Selama pertanyaan itu belum dijawab dengan kebijakan yang nyata, selama bendera putih masih berkibar di tanah sendiri, maka kegelisahan publik akan tetap hidup. Dan barangkali, justru dari kegelisahan itulah negara diingatkan kembali kepada hakikatnya tentang hadir sepenuhnya, terutama ketika rakyat berada di titik paling rapuh.