Haaretz: Puluhan Ribu Warga Israel Eksodus Pasca 7 Oktober
Surat kabar Haaretz pada hari Rabu (11/09/24) menerbitkan sebuah laporan tentang adanya peningkatan signifikan jumlah warga Israel yang eksodus meninggalkan negara Yahudi itu sejak Badai Al-Aqsa, 7 Oktober 2023 lalu. Mereka terus mengungsi untuk mencari tempat yang lebih aman dan menggambarkan apa yang mereka alami saat ini sebagai “The Exodus” sebuah istilah Yahudi yang merujuk pada peristiwa mengungsinya Bani Israel dari Mesir dan kemudian tersesat dan terlunta-lunta di Gurun Sinai karena menentang arahan dan perintah dari nabi mereka.
Menurut Biro Pusat Statistik Israel, sedikitnya 42.185 warga Israel eksodus meninggalkan negara Yahudi itu antara Oktober 2023 dan Maret 2024. Hingga bulan Juli 2024 mereka belum juga kembali ke Israel.
Dalam laporan yang diterbitkan dengan judul “Di Dalam dan Luar Negeri”, “Oang-orang Yahudi meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.” Haaretz juga menyajikan beberapa kisah orang Yahudi yang meninggalkan Israel, Entah karena perang atau karena terpuruknya demokrasi.
Sebuah perjalanan ke lorong gelap
Tak pernah terpikir oleh Emma Magen Tokatali untuk meninggalkan Israel. Namun pada bulan Agustus lalu, ia dan suaminya menjual seluruh harta benda mereka dan menyewa sebuah apartemen di Thailand lalu pindah ke sana bersama kedua anaknya.
Menurut Haaretz, pasangan tersebut “tidak tahu di mana mereka akan tinggal di masa depan, atau apakah mereka akan kembali ke Israel atau tidak”.
Adapun Dror Sdot (29 tahun) berangkat ke ibu kota Jerman, Berlin bersama pasangannya pada November lalu. Ia menganggap bahwa serangkaian pemilu dini baru-baru ini dan gelombang demonstrasi menentang reformasi peradilan merupakan “titik nadir” baginya.
Sdot mengatakan kepada Haaretz bahwa, “Semua orang berdemonstrasi membela demokrasi tanpa sedikitpun menyinggung tentang penjajahan. Isu-isu fundamental bagi kaum kiri juga terpinggirkan, dan perang kian memperburuk situasi”.
Dia menambahkan, “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi Israel jelas bukan lagi rumah saya sekarang”.
Tahun lalu, sebelum pecahnya perang di Gaza, sejumlah demonstrasi massal meledak di Israel sebagai protes terhadap rencana “Reformasi Peradilan” yang didorong oleh pemerintahan Benjamin Netanyahu yang bertujuan untuk mengurangi peran peradilan demi kepentingan legislatif dan eksekutif. Yang oleh pihak oposisi digambarkan sebagai “kudeta otoriter”.
Di sisi lain, seorang Yahudi Amerika, Jonathan Rogol (48 tahun), seorang insinyur di sebuah perusahaan teknologi berimigrasi dari Washington pada bulan April lalu ke Israel sebagai solidaritas terhadap Israel setelah perang.
Dari rumah barunya di Tel Aviv, Rogol mengakui bahwa ia prihatin dengan masa depan demokrasi di Israel, ia ikut berpartisipasi dalam demonstrasi menentang pemerintahan Netanyahu dan mendukung tercapainya kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas untuk memulangkan para tawanan.
Mencari tanah air
Surat kabar Haaretz melaporkan bahwa, sejak tanggal 7 Oktober, puluhan ribu orang Yahudi di Israel telah meninggalkan negara mereka untuk mencari tanah air baru dengan harapan mendapatkan negara yang lebih aman”.
Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa motifnya bervariasi. Mulai dari ketakutan terhadap perang, runtuhnya demokrasi, penolakan terhadap pemerintah, tingginya biaya hidup, ketakutan terhadap anti-Semitisme, dan alasan-alasan lain.
Haaretz menambahkan bahwa orang-orang Yahudi di abad kedua puluh satu mungkin akan kembali mengembara mencari tanah air baru “yang dijanjikan”.
Ilan Rabivoux (50 tahun) seorang pengusaha transportasi sejak 1980-an mengatakan, “Awalnya, semua orang sepakat bahwa arahnya hanya satu, menuju Israel. Namun sejak dimulainya langkah-langkah reformasi peradilan, kami telah melihat peningkatan yang signifikan dalam tren meninggalkan Israel. Dan hal ini menjadi lebih jelas sejak 7 Oktober”.
Dia menjelaskan bahwa beberapa minggu lalu, perusahaannya mengangkut sebuah keluarga besar dari kota Kiryat Motzkin di Israel utara ke Spanyol, yang terdiri dari tiga generasi: orang tua lanjut usia, anak-anak, dan cucu.
Keluarga tersebut mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap kehidupan di Israel karena kemerosotan politik dan ekonomi. Mereka juga merasa bahwa negara tersebut tidak lagi cocok untuk kaum sekularis liberal, dan keadaan mungkin akan menjadi lebih buruk.
Dia menyampaikan bahwa perusahaannya menerima banyak pertanyaan dari warga Israel yang memegang paspor asing dan sedang mempertimbangkan untuk keluar, namun belum membuat keputusan akhir.
Realitas yang digambarkan Rabivoux juga terlihat dalam data terbaru yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik Israel, yang mengungkapkan bahwa puluhan ribu warga Israel telah meninggalkan negaranya dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut data, 42.185 warga Israel pergi antara Oktober 2023 hingga Maret 2024, dan belum kembali sampai bulan Juli ini. Jumlah mereka meningkat 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada bulan Oktober 2023, sejak meletusnya Badai Al-Aqsa, migrasi warga Israel mengalami lonjakan yang drastis. Dimana 12.300 warga Israel pergi dan belum kembali. Jumlah ini meningkat 400 persen dibandingkan Oktober 2022.
Sebenarnya, gelombang migrasi telah dimulai pada musim panas sebelum perang, sebagai reaksi terhadap rencana Netanyahu untuk mereformasi sistem peradilan.
(Sumber: Anadolu Agency)