Hindari Polarisasi Umat Islam dalam Politik, Utamakan Maslahat Umat dan Kesejahteraan Bangsa
Di dalam konteks politik Indonesia yang kerap kali penuh dengan dinamika dan ketegangan, umat Islam dihadapkan pada tantangan besar agar tidak terpolarisasi atau terfragmentasi. Sebagai mayoritas, umat Islam memiliki peran strategis dalam menentukan arah kebijakan negara. Namun, dalam menjalankan peran tersebut, penting untuk menjaga persatuan dan tidak terjebak dalam pertarungan politik yang bersifat hitam-putih.
Sebagai contoh, jika dalam Pilkada Jakarta Megawati Soekarnoputri dan PDIP pada akhirnya memberikan dukungan kepada Anies Baswedan, maka terhadap dukungan umat Islam kepadanya, seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap suatu kelompok atau pandangan tertentu. Sebaliknya, keputusan ini harus dipahami sebagai langkah politik yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih luas bagi umat, agama, bangsa, dan negara.
Sejarah Islam sendiri mengajarkan kita bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus digunakan untuk kesejahteraan umat. Bukan untuk memaksakan kepentingan golongan tertentu.
Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib RA, pernah mengingatkan, “Kekuasaan adalah jalan menuju kebenaran dan keadilan jika digunakan dengan amanah, tetapi menjadi jalan menuju kerusakan jika dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.”
Ali mengajarkan bahwa hakikat politik kekuasaan adalah tanggung jawab besar yang harus dipikul dengan adil dan bijaksana. Bukan untuk memecah-belah umat, melainkan untuk menyatukannya demi mencapai tujuan bersama yang diridhai Allah SWT.
Di dalam konteks modern, parpol (partai politik) harus dilihat sebagai alat (tool) untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Bukan sebagai tujuan itu sendiri.
Dr. Tariq Ramadan, seorang pemikir Muslim kontemporer, menyatakan, “Partai politik hanyalah instrumen; ia tidak boleh menjadi penghalang bagi persatuan umat. Perbedaan pandangan politik adalah sesuatu yang wajar, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana umat mampu menjaga kohesivitas internal dalam perjuangan untuk keadilan dan kemaslahatan bersama.”
Pandangan ini menekankan pentingnya menjaga harmoni dan kerja sama antar sesama Muslim meski pun terdapat perbedaan pandangan politik.
Implikasi dari pandangan ini dalam Pilkada Jakarta sangatlah signifikan. Umat Islam perlu memahami bahwa dukungan politik, apakah itu kepada Anies Baswedan atau kandidat lain, harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan jangka panjang bagi umat.
Kita perlu mendorong munculnya para pemimpin yang mampu memajukan kepentingan umat secara keseluruhan, bukan hanya segelintir kelompok atau golongan. Di dalam jangka panjang, umat Islam yang mampu menjaga kesatuan dalam keberagaman politiknya akan lebih siap menghadapi tantangan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, menekankan pentingnya sikap inklusif dan terbuka dalam politik, di mana umat Islam tidak terpecah karena perbedaan afiliasi politik. “Kita harus terus berjuang untuk kepentingan umat dan bangsa dengan tidak meninggalkan nilai-nilai persatuan. Islam mengajarkan keseimbangan antara keyakinan dan kebijaksanaan dalam berpolitik,” demikian pandangan Azyumardi Azra.
Oleh karena itu, dalam menghadapi Pilkada Jakarta atau kontestasi politik lainnya, umat Islam seharusnya berfokus pada bagaimana kekuasaan yang diperoleh dapat membawa maslahat dan manfaat yang besar bagi semua. Bukan hanya kepada golongan atau partai tertentu. Sikap ini akan memperkuat posisi umat Islam dalam politik Indonesia dan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan adalah untuk kebaikan seluruh bangsa.
Di dalam Pilkada Jakarta, preferensi umat Islam mungkin akan condong kepada dua tokoh utama: Ridwan Kamil atau Anies Baswedan.
Ridwan Kamil, yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus beberapa partai lainnya, dikenal sebagai pemimpin yang visioner dengan pengalaman dalam mengembangkan kota Bandung dan Jawa Barat. Profil Ridwan Kamil mencerminkan sosok pemimpin yang inklusif dan terbuka terhadap berbagai kalangan, serta memiliki hubungan baik dengan kelompok-kelompok Islam moderat. Partai-partai yang mengusungnya, yang sebagian besar memiliki basis massa di kalangan umat Islam juga, cenderung memberikan dukungan kepada kandidat yang dianggap mampu menjaga stabilitas dan keutuhan masyarakat.
Di sisi lain, Anies Baswedan, jika mendapat dukungan politik dari PDIP untuk maju dalam Pilkada Jakarta, akan menawarkan profil yang berbeda namun juga sangat menarik bagi umat Islam. Anies dikenal sebagai tokoh yang memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok Islam konservatif juga modern, serta mampu merangkul berbagai elemen masyarakat dengan pendekatan yang lebih intelektual dan egaliter.
PDIP sebagai partai pengusung, meski pun memiliki basis sekuler nasionalis, jika mendukung Anies, dapat menunjukkan fleksibilitas politik yang bertujuan untuk memajukan kepentingan bangsa secara lebih luas, termasuk kepentingan umat Islam. Pada survey elektabilitas oleh lembaga survey sementara ini menempati peringkat tertinggi.
Di dalam perspektif ini, preferensi umat Islam akan sangat bergantung pada bagaimana mereka memandang profil diri kedua kandidat dan partai pengusungnya. Apakah mereka menginginkan seorang pemimpin yang inklusif seperti Ridwan Kamil dengan dukungan dari koalisi partai yang solid, atau sosok seperti Anies Baswedan yang memiliki kemampuan intelektual, sudah berpengalaman sukses memimpin Jakarta, dan didukung oleh partai dengan pengaruh politik besar seperti PDIP.
Kedua pilihan ini menawarkan pendekatan yang berbeda. Namun, tujuan akhirnya tetaplah bagaimana agar umat Islam dapat memilih pemimpin yang mampu membawa kebaikan dan maslahat bagi semua.