Hubungan Emosional Indonesia dan Palestina
Seminggu sudah perang terbuka Palestina dan Israel berlangsung. Pejuang Hamas masih terus bertempur dengan segala daya gempur melawan Zionis Israel. Sementara itu, dukungan moral dan material untuk para Pejuang Palestina terus disuarakan berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Seiring dengan itu, muncul ragam komentar di media sosial. Nah, di antara ragam komentar itu, ada pertanyaan, mengapa orang Indonesia, khususnya muslim, harus mengurusi urusan mereka di sana sedangkan di sini pun ada banyak masalah?
Jawabannya adalah karena Indonesia dan Palestina punya hubungan emosional yang erat terkait dengan sejarah perjuangan kemerdekaan negara kita. Sebab, Palestina adalah negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Bahkan, mereka menyatakan dukungan itu sebelum Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dikumandangkan. Setelah menyatakan dukungan, mereka pun lantas ikut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yaitu membantu Indonesia untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaannya dari negara-negara Arab.
Ada dua tokoh Palestina yang tercatat dalam sejarah karena ikut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah As Sayyid Muhammad Amin Al Husaini dan Muhammad Ali Taher. Syekh Muhammad Amin Al Husaini adalah Mufti Besar Palestina, sedangkan Muhammad Ali Taher adalah seorang saudagar kaya di Palestina.
Pada 6 September 1944, Syekh Muhammad Amin Al Husaini, mengucapkan selamat kepada Indonesia melalui Radio Berlin berbahasa Arab. Ketika itu, Syekh Muhammad Amin Al Husaini sedang berada dalam pengasingan. Ucapan yang disiarkan nyaris setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu merupakan bentuk pengakuan yang sekaligus menjadi salah satu bentuk dukungan untuk Indonesia merdeka. Sebab, siaran Radio Berlin tentang pengakuan kemerdekaan Indonesia itu didengar banyak orang di dunia.
Baca Juga : Demonstrasi Pro-Palestina di Berbagai Belahan Dunia
Setelah itu, beliau juga aktif me-lobby sejumlah pemimpin negara-negara Arab untuk mengakui dan membela Indonesia merdeka. Padahal, di tahun 1944 itu Palestina sendiri masih berhadapan dengan imperialis Inggris. Toh Syekh Muhammad Amin Al Husaini tetap menyebarluaskan dukungan Palestina kepada Indonesia.
Sementara Muhammad Ali Taher yang waktu itu adalah Raja Media dari Tepi Barat, Palestina, telah membantu menyosialisasikan perjuangan kemerdekaan Indonesia lewat media massa yang ia punya. Pemberitaan Ali Taher itulah salah satu yang membuat perjuangan kemerdekaan Indonesia didukung oleh masyarakat dan pemimpin negara-negara Arab ketika itu. Bukan hanya memberitakan, dengan Ikhlas Ali Taher menyumbangkan semua tabungan yang beliau miliki untuk didonasikan mendukung perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.
Setelah Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, Mesir menjadi negara pertama yang memberikan pengakuan. Tepatnya pada 22 Maret 1946, Mesir mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Haji Agus Salim dan AR Baswedan yang datang ke Kairo, menyaksikan Perdana Menteri Mesir saat itu, Ismail Sidky Pasha, menandatangani pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Setahun kemudian, Haji Agus Salim yang waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia berkunjung ke Kairo. Hasilnya, Indonesia dan Mesir sepakat untuk memulai hubungan bilateral.
Setelah Mesir, India adalah negara yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Pengakuan India terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia itu disampaikan secara resmi pada 2 September 1946, oleh Perdana Menteri India saat itu, Jawaharlal Nehru. Negara berikutnya yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia adalah Suriah yang secara resmi mengumumkan pengakuan itu pada 2 Juli 1947.
Selain hubungan emosional karena bangsa Palestina pernah berjasa mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, banyaknya dukungan dikirimkan kepada Palestina dari bangsa Indonesia juga karena amanat konstitusi negara kita. Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Sedangkan jelas-jelas, yang terjadi di Palestina adalah zionis Israel semakin mencaplok wilayah Palestina, sampai mengusir paksa warga Palestina sebagai penduduk asli dari negaranya sendiri.
Semua itu bermula dari ditanda tanganinya Perjanjian Sykes-Picot, 16 Mei 1916. Setelah kekhalifahan Turki Utsmani turun pasca Perang Dunia I, administrasi Palestina dialihkan menjadi di bawah penjajahan Inggris. Perjanjian Sykes-Picot adalah perjanjian antara pemerintah Britania Raya dengan pemerintahan Prancis yang disetujui Kerajaan Rusia. Di dalam perjanjian itu, ketiga negara tersebut mendiskusikan pengaruh dan kendali di Asia Barat setelah jatuhnya Kerajaan Utsmaniyah. Perjanjian yang diberi nama sesuai nama diplomat Inggris Sir Mark Sykes dan diplomat Prancis François Georges-Picot itu lantas membagi daerah-daerah Arab di bawah Kerajaan Otoman di luar Jazirah Arab.
Baca Juga : Muhammadiyah Mendesak PBB Agar Israel-Palestina Melakukan Gencatan Senjata dan Perundingan Damai
Janji Inggris waktu itu adalah memberikan wilayah tempat tinggal untuk Yahudi di Palestina yang kemudian diberi nama Israel. Hal itu dibawa ke PBB dan PBB lantas menyetujui tanah Palestina dibagi dua, untuk warga Palestina asli dan untuk Yahudi. Padahal, warga Palestina adalah pemilik tanah itu dan Israel adalah pendatang, tetapi menurut PBB tanah itu malah dibagi dua. Dan perkembangan selanjutnya, Zionis Israel malah mencaplok sebagian besar wilayah Palestina dan mengusir warga Palestina keluar. Secara singkat dan sederhana, hal itu bisa dikatakan sebagai penjajahan. Maka, ketika 7 Oktober 2023 bangsa Palestina lewat pejuang Hamas menyerang zionis yang merupakan penjajah, adalah hal yang wajar, karena hal itu berarti mereka berjuang merebut kemerdekaan atas tanah air mereka sendiri.
Satu lagi. Pemerintah Republik Indonesia sudah menyatakan dengan tegas bahwa standing position Indonesia adalah untuk Palestina. Terakhir, hal itu ditegaskan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, saat berpidato di Sidang ke-78 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, 23 September 2023. Ketika itu, Retno menyinggung persoalan yang terjadi di Palestina dan Afghanistan. Di dalam pidatonya waktu itu, Retno Marsudi menekankan agar dunia tak menutup mata terhadap penderitaan rakyat kedua negara, terutama perempuan.
“Sudah terlalu lama kita membiarkan saudara-saudari Palestina kita menderita. Indonesia tidak akan mundur sedikit pun dalam dukungan kami untuk negara Palestina,” ucap Retno yang dikutip banyak media massa ketika itu.
Jadi, wajar jika ada banyak elemen bangsa Indonesia yang menggalang dan menguatkan barisan agar punya azzam untuk memberikan dukungan terhadap perjuangan palestina. Setidaknya, menghadirkan hati untuk terus memberikan support. Jangan lupa, mereka adalah saudara kita. Dan sebagai sesama mukmin, kita adalah satu tubuh. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka organ yang lain akan turut sakit dan seluruh tubuh itu pun bergerak mencari obat. Seperti itulah kita.