Ibarat Pagar Makan Kedaulatan!

Bagai pagar makan tanaman. Itu pepatah lama yang maknanya adalah, seseorang atau sesuatu yang mestinya menjaga atau melindungi justru menjadi perusak atas sesuatu yang seharusnya ia lindungi. Pepatah itu bisa diterapkan dalam banyak situasi. Misalnya dalam hubungan ayah dan anak, yaitu bahwa ayah adalah pagar yang semestinya menjaga anak, tetapi justru ada ayah yang merudapaksa anak kandungnya sendiri. Maka, ayah tersebut telah menjadi pagar yang makan tanaman.

Demikian juga dalam relasi guru dan murid, Polisi hutan dan hutan lindung, dan lain-lainnya. Pendeknya, peribahasa “pagar makan tanaman” bisa diterapkan dalam banyak situasi, instansi, dan institusi.

Korupsi dan penyalahgunaan wewenang adalah bentuk paling lazim dan kerap kali kita dengar dari praktik “pagar makan tanaman” itu. Seharusnya menjaga anggaran, eh malah nilep anggaran. Mestinya menjaga marwah hukum, malah menjadi perusak pranata hukum!

“Pagar makan tanaman” adalah pepatah lama yang makin menemukan aktualitas dan relevansinya. Dulu, mungkin orang masih mencari-cari contoh dari perilaku pagar makan tanaman. Namun, di hari ini mudah sekali menemukan tindakan pagar makan tanaman.

 Nah, ini kisah yang lain terkait pagar. Entah karena sudah terlalu banyak kasus pagar makan tanaman, atau bisa juga karena pagar sudah bosan makan tanaman. Jadi, perlu dimunculkan peribahasa lain yang senada, namun menggambarkan cakupan kerusakan yang lebih dahsyat, serta menunjukkan adanya ketamakan yang lebih besar lagi.

Pagar makan tanaman memiliki konotasi; tanaman se-pekarangan. Atau paling luasnya tanaman se-kebun. Proyek se-kementerian.

Di era korupsi dan penyelewengan yang nilainya fantastis, melibatkan lintas kementerian, bahkan jalinan kemitraan instansi pemerintah dan swasta, yang melahirkan mega skandal, maka istilah pagar makan tanaman jadi terasa kesempitan. Perlu peribahasa lain yang lebih proporsional.

 “Ibarat pagar makan kedaulatan” adalah istilah yang mungkin bisa “melanjutkan” aktualitas pagar makan tanaman itu. Situasi yang digambarkan masih sama, tetapi porsinya lebih jumbo serta efek daya rusaknya lebih luas dan massif. Aktor yang menjadi pagarnya juga merupakan hasil kolaborasi lintas-instansi serta melibatkan peran swasta.

“Ibarat pagar makan kedaulatan” kebetulan menemukan momentum sejarahnya pada waktu-waktu ini.  Pagar sepanjang 30 KM di pesisir Tangerang yang masih dijadikan teka-teki (padahal sudah jelas jawabannya) adalah momentum itu. Bagaimana mungkin seabrek instansi pemerintahan yang ada yang mestinya menjadi pagar, bisa tidak tahu tentang gerakan swasta yang mengacak-acak kedaulatan negara?

Bagaimana mungkin Indonesia, sebagaimana negara maritim yang garang dengan slogan “Di laut kita berdaulat” saat menghadapi agresi asing, justru kayak macan ompong saat kedaulatannya atas laut itu diacak-acak oleh pihak swasta yang mungkin telah membeli “pagar-pagar” penjaga kedaulatan laut kita? Seperti pagar makan kedaulatan, saat jutaan batang bambu diangkut, saat puluhan truk mondar-mandir membawa material, saat berbulan-bulan laut dipagari, bahkan saat laut diberi HGB, dan tak ada satu pun instansi yang menyadari itu!

Bagaimana mungkin pula, Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Nasioanal bisa meloloskan HGB atas lautan? Bukankah di sana mestinya ada Korps Kepolisian Perairan dan Udara?

Harusnya pula ada tangan-tangan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) di sana. Lalu ke mana mereka selama rentang waktu itu? Di mana pula Pemerintah Daerah, dari Gubernur hingga Kepala Desa? Proses pembangunannya memakan lebih dari 4 bulan. Tidak mungkin tidak tahu!

Pasti ada udang di balik batu. Swasta tak akan senekat itu, jika pagarnya kukuh tegak pada aturan main. Sungguh kalian tak hanya telah makan tanaman. Ketahuilah, kali ini kalian bahkan telah memakan kedaulatan!