ICMI: Waspadai Potensi DBD di Kampung Halaman Anda
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) menggelar webinar bertajuk “Waspada DBD dan Mudik Lebaran 2024”, Ahad (7/4/2024), melalui tayangan zoom meeting. Di dalam webinar itu, ICMI meminta kepada masyarakat, khususnya para pemudik, untuk mewaspadai potensi dan menghindari penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) saat mudik Lebaran 2024. Hal itu dikatakan Ketua Umum ICMI, Prof. Dr. Arif Satria, SP, MSi. Selain Arif, webinar itu juga dihadiri Wakil Ketua Umum ICMI, Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari, MM, MSc.
“Kami mengimbau dan meminta kepada masyarakat yang melakukan mudik untuk mewaspadai potensi serta meminimalkan risiko dan mencegah terjadinya Demam Berdarah, baik pada rumah yang kita tinggalkan maupun bagaimana kita menyiasatinya pada saat kita bersilaturahmi di kampung halaman,” kata Arif Satria di dalam sambutannya ketika itu.
ICMI akan selalu hadir untuk memberikan solusi dan kontribusi terbaik bagi bangsa Indonesia. ICMI yang berlandaskan keislaman dan keindonesiaan berbasis kecendekiaan akan selalu berperan aktif mendorong kebaikan untuk bangsa dan negara.
Salah satu narasumber webinar adalah Ketua Koordinasi Kesehatan Majelis Pengurus Pusat ICMI, Prof. Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes. Di kesempatan itu, Fachmi mengingatkan, kasus demam berdarah tercatat meningkat di sejumlah daerah, termasuk Jakarta. Maka, penting untuk mewaspadai demam berdarah.
“Nyamuknya bisa terbawa mudik, bisa masuk bagasi mobil terbawa ke kampung halaman, atau orang yang sakit terinfeksi DBD ikut mudik. Saat mudik, rumah pemudik ditinggal bisa jadi sarang perindukan. (lalu) Nyamuknya bertambah, dan tidak ada yang kontrol,” katanya.
Fachmi lalu mengutip data Kemenhub yang memperkirakan sekitar 193 juta orang bakal melakukan perjalanan mudik pada libur Lebaran Idul Fitri 2024. Sehingga, Fachmi Idris menyatakan pentingnya dilakukan penanganan serius untuk mewaspadai potensi peningkatan DBD.
Baca juga: Sejumlah Tokoh Maluku dan Maluku Utara Hadiri Buka Puasa Bersama dan Dialog Publik SEMAINDO HALBAR
“Dengan data pemudik ini, tentu mobilitas sumber penyakit DBD akan tinggi. Penanganan bagus, deteksi dini lebih bagus dan perlu dilakukan, sehingga dapat mengurangi kasus DBD di Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, pembicara yang lain, yaitu Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Drg. A Arsunan Arsin, MKes, CWM, menjelaskan pola penularan baru penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Ia menjelaskan, berdasarkan data World Health Organization (WHO), diperkirakan per tahun ada 390 juta penduduk dunia yang rentan terinfeksi virus dengue atau DBD.
Menurut dia, penyakit DBD endemik itu ada di lebih dari 100 negara. Antara lain negara-negara di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat.
“Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kasus DBD tertinggi di dunia, menempati posisi keempat kasus terbanyak dengan jumlah 125.000 kasus pada tahun 2022,” kata dia, mengutip laporan The European Centre for Disease Prevention and Control.
Arsunan Arsin lantas menjelaskan, kasus DBD di Indonesia tergolong fluktuatif. Hal ini dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang dinamis dan kondisi lingkungannya serta kebijakan pemerintah tentang kesehatan. Apalagi, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2024 hingga Maret ini ada 15.000 kasus DBD dan memiliki potensi kenaikan di musim pancaroba ini.
“Angka kematiannya juga fluktuatif, tetapi akhir-akhir ini meningkat untuk kematian. Di Makassar ada dosen yang meninggal dunia karena DBD. Jadi memang kasus penyakit ini tidak bisa diabaikan,” tuturnya.
Baca juga: Pesantren As Syafi’iyah Bertekad Terus Rawat Anak Yatim
Perubahan Pola Kembang Biak Nyamuk
Arsunan Arsin juga mengungkapkan, terdapat perubahan pola perkembang biakan nyamuk aedes penyebar virus dengue atau DBD. Dulu, diketahui bahwa nyamuk penyebab DBD itu berkembang biak di wadah yang di dalamnya ada air. Namun, sekarang tanpa wadah pun, selama ada kontak antara air dengan tanah, itu bisa menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk aedes.
Bahkan, Prof Arsunan mengatakan, kini tempat terbanyak nyamuk penyebab DBD bukan di luar rumah tetapi di dalam rumah. Misalnya di bawah dispenser yang biasanya ada sisa air.
“Terbanyak itu sekarang ada di dispenser. Jadi, memang harus dicek air yang di bawahnya (dispenser) itu, karena nyamuk senang berada di situ,” paparnya.
Prof Arsunan melanjutkan, ada dua jenis nyamuk aedes yang biasanya menyebabkan penyebab penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti (paling utama) dan kedua ialah nyamuk Aedes albopictus. Pola gigit nyamuk tersebut kini berada di pagi hari semisal di pukul 8.00 WIB dan jam sore hari pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB. Risiko terbanyak ada di kalangan anak-anak dan usia lansia, meski beberapa catatan lain menyebutkan di kalangan usia produktif pun sudah mulai terjadi peningkatan kasus.
Dari aspek tempatnya, Prof Arsunan menjelaskan, nyamuk penyebab DBD kini tidak hanya ada di perkotaan saja, tetapi sudah menyebar ke daerah yang berada di dataran tinggi. Nyamuk DBD juga mengikuti pergerakan mobilitas penduduk.
“Nyamuk bisa saja ikut mudik, karena mengikuti penderitanya yang mudik dan nanti sampai di kampung ada nyamuk tersebut, sehingga menularkan ke orang lain. Karena nyamuk ini senang menyerang orang di tingkat kepadatan orang yang tinggi. Penyakit ini bisa mengikuti perjalanan dari satu tempat ke tempat lain,” terangnya.
Baca juga: Prima DMI DKI Jakarta Gelar “Ramadan Roadshow Goes to School” Bersama SnackVideo
Sedangkan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Subspesialisasi Hematologi Onkologi Medik, Prof. dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM, di saat itu menuturkan, risiko terjadinya kasus DBD berkaitan dengan tropik dan subtropik, peningkatan travelling, global warming, dan kenaikan kepadatan penduduk. Ada pun gejala penyakit DBD ini dipengaruhi panas, mual, muntah, dan gejala-gejala sistemik lainnya yang tergolong banyak. Hingga 2024 ini, terhitung sampai 25 Maret kemarin, sudah ada 53.131 kasus dengan angka kematian berjumlah 404 jiwa.
Ia pun mengingatkan untuk tidak melakukan transfusi trombosit. “Jangan melakukan transfusi trombosit. Sekarang banyak yang minta transfusi trombosit. Ini tidak benar! Jangan transfusi trombosit,” kata dia mengingatkan.