Ijazah Jokowi: Perang Narasi, Bukan Bukti

Di tengah maraknya perdebatan soal dugaan ijazah palsu Presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo, ada satu hal menarik untuk dicermati. Bukan semata substansi tuduhannya, yang secara hukum telah dibantah, tetapi tentang siapa saja yang menggaungkan dugaan ijazah palsu itu dan mengapa mereka melakukannya. Di dalam hal ini, kemunculan sejumlah tokoh semisal Roy Suryo, dr. Tifa, dan beberapa jenderal purnawirawan, memberi warna baru kepada dinamika politik Indonesia, yaitu pergeseran oposisi dari jalur formal ke arena digital yang liar dan simbolik.

Salah satu ciri khas pemerintahan Jokowi, terutama di periode kedua, adalah minimnya oposisi efektif di level institusional. Partai-partai besar merapat ke pemerintah, oposisi parlementer melemah, dan kritik dari dalam sistem menjadi langka. Di dalam situasi semacam itu, terdapat ruang kosong yang lantas diisi oleh tokoh-tokoh non-partai, yaitu akademisi, pensiunan militer, dan aktivis independen. Mereka merasa perlu untuk mengisi kekosongan pemberi kritik itu. Dan mereka inilah yang kemudian tampil sebagai oposisi alternatif, bukan di gedung parlemen tetapi di panggung YouTube, Twitter, dan podcast.

Mereka tidak menawarkan program atau solusi konkret, tetapi narasi besar dan tuduhan berskala fundamental bahwa Jokowi tidak sah, tidak berijazah, atau bahkan tidak sesuai dengan identitas hukum. Tuduhan ini bukan hanya bentuk kritik, melainkan wujud perlawanan simbolik terhadap kekuasaan yang dianggap telah menyingkirkan mereka.

Keterlibatan sejumlah jenderal purnawirawan dalam isu-isu semisal ijazah palsu atau ancaman komunisme memerlihatkan sesuatu yang lebih dalam, yaitu residu kekuasaan militer yang belum selesai. Reformasi 1998 secara formal memang menarik militer dari ranah politik, tetapi banyak figur senior TNI yang masih menyimpan ambisi, pengaruh, dan kebutuhan akan relevansi.

Dai Digital: Kekuatan Baru Politik Islam di Indonesia
Dai digital kini menjadi aktor yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dan arah politik umat Islam di Indonesia. Peran dai digital membawa dampak positif yang tidak bisa diabaikan. Namun, dampak negatifnya juga cukup serius.

Menggaungkan isu-isu seperti keabsahan ijazah menjadi bentuk perlawanan politik yang tidak frontal, tetapi berbahaya. Hal itu menanamkan benih keraguan di dalam benak rakyat terhadap pemimpin tertinggi negara.

Sementara itu, Roy Suryo dan dr. Tifa datang dari jalur akademik dan profesional. Mereka kini beroperasi lebih sebagai influencer politik ketimbang analis independen. Kritik mereka terhadap pemerintah sering kali tidak lagi berakar pada riset atau prosedur ilmiah yang utuh, melainkan opini keras yang cepat viral di media sosial.

Tentu, tidak salah menjadi kritikus vokal. Tetapi ketika narasi dijual tanpa akurasi dan digunakan untuk mengobarkan distrust terhadap lembaga negara, maka yang terjadi bukan penguatan demokrasi, melainkan erosi terhadap rasionalitas publik.

Media Sosial: Ladang Baru Perlawanan Kekuasaan

Era digital memberi peluang bagi tokoh-tokoh yang dulu terpinggirkan secara formal untuk kembali berperan. Lewat TikTok, YouTube, dan Twitter, mereka membangun audiens, membentuk komunitas opini, dan bahkan mengatur ritme isu politik nasional. Di dalam konteks ini, aktivisme digital menjadi instrumen perlawanan yang murah, cepat, dan emosional. Namun, risiko terbesarnya adalah pudarnya batas antara fakta dan fiksi. Ketika tokoh-tokoh berpengaruh menyebarkan narasi tanpa verifikasi, masyarakat terjebak dalam polarisasi dan kebencian. Demokrasi kehilangan pijakan rasionalnya, digantikan oleh kebisingan digital yang destruktif.

Kritik terhadap pemerintah adalah bagian esensial dari demokrasi. Namun, kritik juga harus berakar pada kebenaran, integritas, dan tanggung jawab etis. Ketika para pensiunan jenderal, akademisi, dan aktivis justru menyebarkan keraguan tanpa bukti, mereka bukan sedang memerjuangkan keadilan, tetapi mereka sedang memainkan politik identitas dan dendam masa lalu.

Jika ingin tetap relevan, mereka harus kembali ke jalur argumentasi yang berbasis data, bukan desas-desus. Dan jika ingin memerbaiki negeri, mereka harus mulai dari membangun budaya kritik yang sehat, bukan mengobarkan perang narasi yang membakar fondasi kewarasan publik.

Persidangan Sudah Digelar, Gugatan Ditolak

Tahun 2022, Bambang Tri Mulyono telah menggugat Presiden Jokowi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas dugaan ijazah palsu. Sidang ini menarik perhatian besar. Namun, secara hukum Majelis hakim menolak gugatan tersebut, karena tidak ditemukan cukup dasar hukum untuk menyatakan bahwa ijazah Jokowi palsu. Universitas Gadjah Mada (UGM) secara resmi dan berulang menyatakan bahwa Jokowi adalah alumni sah, dengan data akademik yang lengkap.

Indonesia: Ketika Demokrasi Seiring Sejalan dengan Korupsi
Semua teori demokrasi seperti tak berlaku di rawa-rawa politik Indonesia. Terlalu banyak buayanya, sehingga demokrasi yang terlihat gegap-gempita itu senyatanya hanya prosedural belaka. Pemilu sekadar jadi ajang jual-beli suara.

Maka kesimpulan hukumnya adalah: Secara resmi, negara dan lembaga pendidikan sudah memverifikasi keabsahan dokumen tersebut.

Sebagian pihak menganggap "bukti" mereka kuat, dengan argumen seperti: Perbedaan desain fisik ijazah. Perbedaan tanda tangan atau jenis (font) huruf. Dan ketidaksesuaian tahun kelulusan dengan versi cerita publik. Serta kesaksian personal atau asumsi bahwa "tidak ada yang mengenal Jokowi saat kuliah".

Namun, dari perspektif forensik dokumen dan hukum pembuktian, hal-hal tersebut tidak serta merta membuktikan pemalsuan, kecuali jika: Pertama, ada dokumen otentik pembanding dari instansi resmi yang membantah keaslian. Kedua, ada pengakuan dari pihak institusi pendidikan bahwa dokumen tersebut dipalsukan. Ketiga, ada data palsu yang terdaftar dalam sistem negara, seperti NIK, ijazah palsu di PDDikti, dan lain-lain. Di dalam kasus ini, tidak ada satu pun syarat itu terpenuhi.

Saksi Kunci Justru Tidak Valid

Beberapa saksi yang dihadirkan untuk mendukung klaim "ijazah palsu" tidak memiliki kapasitas akademik atau bukti otoritatif, dan sering kali hanya berbasis testimoni semisal “Saya tidak pernah melihat Jokowi di kampus".

Argumen seperti ini tidak bisa dijadikan dasar hukum. Sebab, UGM sendiri menyatakan arsip nilai dan sidang skripsi Jokowi ada dan sah. Ketidaktahuan seseorang terhadap kehadiran tokoh di masa lalu bukan bukti negatif.

Jika memang ada dugaan serius, seharusnya pihak penggugat bisa mendorong audit independen terhadap data akademik UGM. Dan verifikasi forensik dokumen oleh lembaga resmi. Tetapi, hingga kini tidak ada audit semacam itu yang menyimpulkan adanya pemalsuan. Bahkan, Lembaga Forensik Dokumen Indonesia yang pernah diminta menilai, tidak pernah menyatakan ijazah itu palsu secara resmi.

Banyak orang mengira bukti "sudah cukup jelas", karena: Narasi dibangun terus-menerus di media sosial. Ada figur publik yang menguatkan isu ini (misalnya Roy Suryo, dr. Tifa, dan lain-lain). Serta video-video YouTube yang menggunakan efek dramatis dan bahasa meyakinkan.

Tetapi itu adalah wilayah persepsi. Bukan pembuktian hukum. Di dalam ruang hukum, tidak cukup hanya “terlihat aneh”. Harus ada bukti material, otentik, dan terverifikasi.

Secara hukum, tidak ada bukti valid bahwa ijazah Jokowi palsu. Kasus di pengadilan telah ditolak, dan institusi resmi sudah menjelaskan tentang hal itu. Secara publik: Isu ini terus hidup karena adanya distrust terhadap elite, dan karena narasi ini politis, bukan akademis. Secara etis, jika masih ada keraguan, seharusnya diajukan audit resmi ke instansi terkait, bukan dilempar sebagai opini liar di media sosial.