Ikhtiar Umat Menjawab Masalah Ekonomi
Di tengah berbagai persoalan yang membelit masyarakat hari ini, mulai dari ketimpangan ekonomi, pengangguran, hingga kemiskinan yang diwariskan lintas generasi, umat Islam tidak datang hanya dengan seruan moral di mimbar. Umat Islam datang membawa ikhtiar nyata yang bertujuan mengangkat martabat manusia, lewat dakwah yang membumi.
Berbagai lembaga zakat nasional (LAZNAS) telah menjalankan peran ini dengan serius. Mereka tak hanya menyalurkan bantuan konsumtif, tetapi juga memberikan modal usaha, pelatihan keterampilan, dan pendampingan wirausaha, agar masyarakat bisa bangkit secara mandiri. Banyak keluarga dhuafa yang kini mampu membuka usaha kecil, menyekolahkan anaknya, bahkan menjadi muzakki setelah sebelumnya mustahik.
Hal itu dikatakan Direktur Akademi IZI (Inisiatif Zakat Indonesia) Pusat, Nana Sudiana. Sabili.id mewawancarai Nana guna mendapatan informasi mengenai program-program unggulan yang dijalankan Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) untuk menjawab persoalan ketimpangan dan kemiskinan.
"IZI punya beberapa program inti yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat miskin, sekaligus menguatkan nilai-nilai Islam. Di antaranya adalah program Lapak Berkah untuk pedagang kecil, Rumah Singgah Pasien untuk dhuafa yang sedang berobat, dan program ekonomi berbasis zakat produktif. Semua dirancang agar bukan hanya memberi, tetapi juga menguatkan, memberdayakan, dan mengangkat derajat mereka," jelasnya.
Di dalam program “Lapak Berkah”, IZI membantu para pedagang kecil untuk memulai atau mengembangkan usahanya — dengan modal, peralatan, dan pendampingan berbasis syariah. Sementara “Rumah Singgah Pasien” menjadi tempat tinggal sementara bagi pasien kurang mampu yang datang dari luar kota untuk berobat, lengkap dengan makanan, transportasi, hingga dukungan rohani.
Selain itu, Nana menuturkan, zakat tidak hanya disalurkan dalam bentuk konsumtif, tetapi juga diarahkan untuk program produktif yang bisa menjadi sumber penghidupan jangka panjang bagi penerima manfaat.
"Prinsipnya, zakat itu bukan sekadar sedekah. Ia adalah instrumen distribusi keadilan ekonomi dalam Islam. Dan IZI hadir sebagai jembatan antara muzakki dan mustahik, agar nilai keislaman dan keadilan berjalan beriringan," tambah Nana.
Program-program itu membuktikan bahwa dakwah dan keadilan sosial tidak perlu dipisahkan. Di tangan lembaga semisal IZI, ajaran Islam diterjemahkan menjadi solusi nyata untuk rakyat yang paling rentan. Yaitu rakyat miskin.
Di sisi lain, sejumlah pesantren juga mengambil peran penting dalam mencetak generasi mandiri. Misalnya, Pesantren BIK (Bina Insan Kamil) dan pesantren lainnya, yang mengembangkan model pembinaan ekonomi umat berbasis keterampilan hidup. Di sana, santri tak hanya diajari ilmu agama, tetapi juga dibekali kemampuan bertani, beternak, berkebun, dan berdagang.
Di Pesantren BIK sendiri misalnya, santri diajarkan untuk mandiri, produktif, dan menjadi bagian dari solusi umat. Untuk mengkongkretkan upaya tersebut, maka dibuatlah sayap dakwah bernama BIK Farm. Sebuah sayap yang berfokus pada pengembangan skill & pemberdayaan ekonomi santri & ummat.
Sabili.id pun mewawancarai Kepala BIK Farm, Irhamni Robbi Zakiyya. Ia menceritakan perjalanan panjang sayap dakwah yang ia pimpin, serta visi besar yang diusung untuk pemerataan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, khususnya anak-anak marjinal.
“Kalau dari segi pemerataan ekonomi, BIK memiliki banyak sekali program pemberdayaan untuk anak-anak marjinal,” tutur pria yang arab disapa Zaki itu.
BIK Farm sendiri awalnya dikenal dengan nama BIK Qurban, yang beroperasi sejak tahun 2007 di bawah Yayasan Bina Insan Kamil (BIK). Fokus utamanya saat itu adalah menyediakan dan menjual hewan qurban, dengan peran sebagai trader atau pelaku jual-beli musiman menjelang Idul Adha. Namun, pada 2017, BIK mulai mengembangkan program penggemukan, budi daya, dan pemeliharaan sapi secara mandiri di BIK Bogor. Perubahan model bisnis itu membuat namanya berganti menjadi BIK Farm.
Tidak sekadar menjalankan pemberdayaan ekonomi, BIK Farm juga menempatkan pemberdayaan kader sebagai prioritas. “Kurang lebih 80% dari santri kader BIK Bogor terlibat di BIK Farm. Mulai dari bagian accounting, media, kepala kandang, bahkan jajaran direksi — semuanya berasal dari kader BIK,” jelas Zaki.
Program ini, imbuhnya, merupakan kelanjutan dari pembinaan di BIK Bogor, namun dengan skala yang lebih profesional dan berorientasi pada dunia usaha. Zaki menekankan pula bahwa di BIK Farm para santri tidak hanya diarahkan untu menjadi pekerja lapangan.
“Kami punya program upgrade untuk santri. Mereka berkesempatan menjadi kepala kandang, dengan seleksi yang ketat dan SOP profesional. Di sini, mereka belajar bersaing sehat untuk menjadi yang terbaik, bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga life skill dan pengetahuan yang luas,” katanya.
Menariknya, BIK Farm menetapkan pengabdian maksimal 10 tahun bagi santri yang diberdayakan. Setelah itu, mereka didorong untuk kembali ke kampung halaman dan membangun usaha peternakan sendiri.
“Kita tidak ingin mereka selamanya di sini. Targetnya, mereka bisa mendirikan peternakan seperti yang kami jalankan. Bukan untuk bersaing, tetapi untuk bersatu membangun ekosistem. Peternakan itu besar, luas, banyak turunannya, dan menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia,” papar Zaki.
Visi ini, menurut dia, diarahkan untuk menciptakan jaringan mitra yang kuat, terutama dari kalangan santri alumni BIK Farm. Harapannya, semakin banyak peternak mandiri yang lahir, semakin kuat pula ketahanan ekonomi berbasis komunitas di Indonesia.
Gerakan-gerakan tersebut membuktikan bahwa pemerataan ekonomi bukan sekadar tugas negara, tetapi juga bagian dari misi dakwah Islam. Ketika zakat, wakaf, infak, dan keilmuan disinergikan dalam program nyata, maka kemiskinan tak lagi hanya dikasihani, tetapi dilawan dengan ilmu, dengan amal, dan dengan keberpihakan.