Ini Kesaksian Dokter Dani, Relawan MER-C yang Berada di Gaza
Pada 9 Agustus 2024, tim medis dari MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) telah tiba dengan selamat di Rumah Sakit (RS) Indonesia di Bait Lahiya, Gaza Utara, Palestina. Tim beranggotakan tujuh orang tenaga media itu akan bertugas selama satu bulan di sana. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Kantor MER-C di Jakarta, Senin (12/8/2024) siang.
Di dalam konferensi pers itu, salah satu relawan anggota Tim Medis MER-C, dr. Dani, menyampaikan lewat zoom tentang rangkaian peristiwa yang ia alami. Ia berkisah, pada tanggal 9, tim mereka melakukan perjalanan dari Gaza Tengah, tepatnya di Deir al-Balah, menuju RS Indonesia, mengikuti one way organisasi kesehatan dunia (WHO).
“Selama perjalanan, kami harus mengikuti berbagai macam protokol security yang sudah diatur dari pihak Israel. Banyak check-check point, pemberhentian, dan juga ada check point yang harus diperiksa,” tuturnya.
Dokter spesialis bedah syaraf itu lantas menceritakan proses pemeriksaan itu. “Kalau belum diizinkan lewat, kita harus menunggu di sana, kadang-kadang sampai lebih dari 1 jam. Setelah ada green light, baru boleh maju lagi. Sebenarnya jarak dari Deir al-Balah ke Gaza Tengah sampai Utara itu tidak jauh, mungkin sekitar 15 kilometeran, mungkin. Tetapi karena banyak protokol yang harus dilakukan, kita sampai di sana bisa lebih dari 6 jam,” ucapnya.
Dokter Dani melanjutkan, di malamnya mereka langsung “disambut” beberapa orang pasien korban pembunuhan. Ia menyaksikan, di antara pasien yang sudah harus mereka tangani sesaat setelah mereka tiba, ada satu orang bayi yang meninggal dunia dan ada sekitar 8 orang yang mengalami trauma-trauma.
“Secara umum, kami membagi kerusakan-kerusakan yang ada di rumah sakit itu menjadi dua, (yaitu) kerusakan struktur bangunan dan kerusakan sarana-prasarana termasuk alat-alat kesehatan. Yang pertama, kalau pada struktur bangunan, sebenarnya kerusakan yang terjadi itu tidak terlalu (parah). Kerusakan struktur bangunan lebih ke arah akses. Akses jalan-jalan dirusak di-bulldozer, kemudian banyak bangkai-bangkai kendaraan juga yang masih berserakan di mana-mana, mempersulit akses masuk ke rumah sakit. Tetapi itu sudah diperbaiki sedikit, akses sudah ada, cuma paving bloknya dan jalannya masih berantakan,” tuturnya.
Dokter Dani meneruskan, pada struktur gedung lainnya yang mengalami kerusakan ada bekas roket dan terdapat bekas kebakaran di atas, yaitu di lantai 3 dan lantai 4 dulu. “Tetapi secara struktur gedungnya, secara general, masih cukup bagus. Hanya beberapa bekas lobang karena roket yang diledakkan. Kemudian, kerusakan lainnya adalah kerusakan sarana dan prasarana, termasuk alat medis,” kisahnya.
Dokter Dani dan kawan-kawan lantas melakukan survei secara general (umum). Mereka mendata apa saja hal yang paling membutuhkan perbaikan segera. Dan hal yang penting serta membutuhkan segera perbaikan itu adalah listrik. Sumber listrik dibutuhkan untuk segera diperbaiki.
“Jadi perlu diketahui bahwa sumber listrik rumah sakit ini ada dua. Satu, solar panel. Dua, generator. Solar panel setelah kami survei ke atap, dari seluruh solar panel itu yang berfungsi mungkin cuma sekitar 20 persennya. Karena yang lain banyak bekas lubang-lubang peluru. Rupanya dari manajemen rumah sakit ini sudah mengumpulkan solar panel yang masih bagus. Semua dikumpulkan menjadi satu, lalu mulai difungsikan. Tetapi ini cuma sekitar 20 persen dari kapasitas yang ada. Nah, kebetulan saat ini kita masih punya sedikit bahan bakar. Jadi kombinasi,” katanya.
Ia menjelaskan, yang dimaksud kombinasi itu adalah ketika malam mereka pakai generator, sedangkan kalau siang mereka gunakan solar panel. Tetapi, generator menjadi kurang dayanya. “Nah, ini menurut kami yang paling prioritas untuk perbaikan saat ini, karena ini sangat vital untuk kegiatan rumah sakit,” ucapnya.
“Dapat dilihat, tadi rumah sakit ini tetap berfungsi. Kita tetap melakukan tindakan operasi walau pun lampu mati. Kemarin kami datang, kebetulan lampu lagi mati, operasi sedang berjalan. Akhirnya operasi dilanjutkan dengan disenter pakai lampu handphone. Ya, seperti itulah situasinya,” urainya.
Ia mengatakan, listrik sering mati di tempat itu. “Nah, terus kondisi hidup-matinya listrik ini sangat sering. Sehingga, alat-alat medis yang ada ini, karena daya listriknya naik-turun, itu akan cepat rusak. Yang kedua, alat-alat peninjau seperti CT Scan yang penting. Ya, CT Scan dan laboratorium, kemudian UPS rusak. Sebagian besarnya masih bisa diselamatkan, tetapi ada beberapa yang tidak berfungsi, seperti alat pemeriksaan. Terus juga alat-alat kayak USG dan sebagainya, sebelumnya ada banyak. Seharusnya memang satu rumah sakit itu punya banyak USG. Di ICU ada, di ruang operasi ada. Tetapi di sini cuma ada satu yang berfungsi,” ucapnya.
Ia menjelaskan, implan untuk tulan belakang dan lain-lain di sana tinggal bersisa setengah. Bahkan cenderung habis. Alat-alat medis, bahan-bahan habis pakai, juga sudah habis.
“Implan-implan untuk tulang belakang di seluruh Gaza itu mungkin cuma sisa 1-2 pasen lagi. Selain itu, nggak ada lagi. Hal lain yang mungkin yang perlu dipikirkan juga adalah masalah pegawai-pegawai di sini. Itu 80 persen di antaranya tidak dibayar atau mungkin belum dibayar. Jadi, kebanyakan mereka adalah volunteer. Jadi, nggak jelas dibayarnya itu pakai apa. Nah, itu termasuk salah satu yang kalau kondisi ini berkepanjangan bisa menimbulkan masalah. Jadi, itu juga harus dipikirkan” demikian kesaksian dr. Dani.