Isa Anshari Sang Singa Podium

Penulis : Mahita Burhan

Wahai generasi Z, aku ingin menuturkan sebuah kisah kepada kalian. Terutama untuk kalian yang sedang bahagia menempuh jalan hijrah, aktif di komunitas hijrah, rajin beribadah, dan haus pengetahuan tentang keislaman. Aku bersyukur, melihat banyak di antara kalian yang begitu intens menggali informasi tentang ajaran Islam, tokoh Islam, dan sejarah perjuangan umat Islam, khususnya di Indonesia.

Kupikir, ini hari yang tepat untuk menuturkan kisah ini. Tanggal 16 Agustus. Ya, 16 Agustus, sehari sebelum peringatan HUT RI. Buku sejarah dan perbincangan tentang tanggal 16 Agustus pasti akan memalingkan kita ke suatu tempat (saat ini menjadi sebuah kecamatan) yang berjarak kurang lebih 72 km dari kota Jakarta. Rengasdengklok, itulah nama tempat tersebut.

Wahai generasi Z, apa yang telah kamu baca tentang tempat itu? Ya, persis. Itu adalah tempat para pemuda menempatkan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta yang telah mereka culik. Nama para pemuda yang kerap disebut dalam narasi teks sejarah itu antara lain adalah Sukarni, Djohar Nur, Sayuti Melik, Chaerul Saleh, dan seterusnya.

Baca Juga : Seputar Pengibaran Bendera Merah Putih

Para sejarawan melabeli mereka sebagai golongan muda. Anak-anak muda yang revolusioner dan sangat “kebelet” untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Selagi terjadi kekosongan kekuasaan, akibat bertekuk lututnya Nippon, setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh tentara sekutu. Itulah di antara argumen para pemuda tersebut, saat mendesak golongan tua agar segera mengumandangkan proklamasi.

Kita hormati sepenuh hati dan kita akui dengan tulus ikhlas sumbangsih para pemuda revolusioner ini. Apa pun ideologi politik yang mereka sandang saat itu. Sebab, beberapa fakta sejarah di belakang hari mengungkap, nama-nama pemuda tersebut memang berafiliasi pada gerakan kiri dan sosialis.

Sebelum lanjut, perlu kuingatkan kalian bahwa menjelang kemerdekaan, gelora nasionalisme dan cita-cita menuju Indonesia merdeka memang banyak dipengaruhi berbagai gerakan ideologi besar dunia. Misalnya sosialisme, komunisme, Islamisme, liberalisme, dan lain sebagainya. Tetapi mereka tetap bahu membahu dalam mencapai cita-cita kemerdekaan.

Nah, para generasi Z sekalian, masalah yang kini merisaukan, di internet bermunculan artikel tentang “Peran gerakan pemuda kiri dan sosialis menjelang proklamasi kemerdekaan RI.” Peran itu dikemas dalam banyak artikel dengan aneka judul dan redaksi. Seakan-akan kelompok pemuda kiri dan sosialis saja yang berjasa mendesak agar proklamasi dilakukan segera.

Mungkin terbetik tanya di benak kalian, apakah pada momen yang amat penting tersebut pemuda Islam kala itu tak punya konstribusi strategis?

Aku pun merasa berkewajiban untuk menuturkan kembali tentang sosok ini kepada kalian. Pertama; antara lain karena latar belakang tersebut. Aku melihat ada fakta yang diungkap yang terpotong dari arus ceritanya. Kedua, sejarah kadang tidak adil dalam mencatat. Bisa dipahami, mengingat sejarah kerap kali ditulis oleh para “Pemenang”. Kebetulan sosok yang akan kita bincangkan ini kerap berbeda pandangan dengan para pemenang tersebut. Sehingga, tokoh ini kurang mendapat tempat yang layak dalam arsip sejarah bangsa.

Putra Minang

Nama lengkap pribadi besar yang akan kita bincangkan ini adalah Mohammad Isa Anshari. Beliau lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada 1 Juli 1916. Di zaman itu, Maninjau memang tersohor melahirkan banyak tokoh Islam. Isa Anshari juga beruntung tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang kental mengamalkan nilai keislaman, serta banyak bersentuhan dengan pemikiran Muhammadiyah yang juga sedang dinamis memberangus kejumudan.

Baca Juga : Jenderal Soedirman dan Api Perjuangan yang Tak Pernah Padam

Di usia yang tergolong masih remaja, karena berbagai kelebihan, terutama kecakapan dalam berpidato dan menyampaikan ceramah keagamaan, Isa sudah aktif berkiprah sebagai mubaligh Muhammadiyah setempat. Di usia 16 tahun, selepas menyelesaikan pendidikan di Madrasah, layaknya pemuda Minang yang lainnya, Isa Anshari pun pergi merantau untuk menambah ilmu dan mengais rezeki. Tanah rantau yang menjadi tujuan perjalanannya adalah Kota Bandung, Jawa Barat.

Perantau Minang lain yang mengasah diri di Bandung dan kemudian menjadi tokoh nasional adalah Mohammad Natsir. Hampir mirip dengan jejak Mohammad Natsir, dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang Islam, Isa Anshari juga bergabung dengan Persatuan Islam (PERSIS) yang memang memiliki basis kuat di Bandung. Dari sinilah jiwa aktivis dakwahnya semakin berkembang pesat. Ia aktif dalam berbagai kegiatan tabligh, organisasi pergerakan, dan lantas menjadi aktivis politik.

Allah menganugerahkan kepada Isa Anshari dengan dua kepiawaian yang penting. Jarang ada orang muda pada masa itu memiliki dua kecakapan ini secara sekaligus. Kecakapan dalam berpidato sekaligus lihai bertutur dalam bahasa tulisan. Umumnya orang pintar berpidato, lemah dalam menulis. Isa Anshari justru mahir di dua bidang komunikasi ini sekaligus.

Lewat kemahirannya berpidato, Isa Anshari yang di kemudian hari aktif di Partai Masyumi itu mendapatkan julukan “Sang Singa Podium”. Konon, setiap kali ia berpidato, orang terkesima dengan nada dan kefasihannya, sehingga khalayak menyimak dan hanya fokus pada sang orator ulung ini.

Kemampuan dalam menulis ia buktikan dengan mengabadikan namanya melalui banyak buku dan artikel. Di tahun 1941, Isa Anshari telah menulis naskah dengan judul Islam dan Kolektivisme”. Islam dan Demokrasi bahkan telah ia urai secara tertulis pada tahun 1938. Ada banyak judul tulisan tentang sikap antinya terhadap komunis. Bahkan istilah Mujahid Dakwah yang sangat lekat di kalangan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia telah menjadi judul tulisan beliau pada tahun 1966 (ensiklopediaislam.id).

Baca Juga : KH Wahid Hasyim, Kontributor Penting Perumusan Dasar Negara

Masih mengutip dari ensiklopediaislam.id, kiprah perjuangan Isa Anshari pada masa pendudukan Jepang pun luar biasa. Antara lain dibuktikan dengan menjadi Pemimpin Umum Gerakan Anti Fasis (Geraf), pimpinan Angkatan Muda Indonesia (Persiapan Kemerdekaan), Kepala Bagian Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Cabang Bandung, dan lain-lain.

Memimpin Sidang Mendesak Segera Proklamasi

Nah, pada peran beliau sebagai aktivis dan pimpinan Angkatan Muda Indonesia (dalam upaya persiapan kemerdekaan) inilah, ada jejak dan peran penting aktivis muda Islam dalam proses persiapan proklamasi, yang berujung pada peristiwa Rengasdengklok. Isa Anshari adalah salah satu aktor utamanya.

Peristiwa Rengasdengklok yang terjadi pada 16 Agustus 1945 merupakan dampak langsung dari sebuah peristiwa bersejarah yang terjadi di Bandung, 5 bulan sebelum peristiwa Rengasdengklok terjadi. Tepatnya di bulan Maret 1945. Momen bersejarah itu bernama “Konferensi Angkatan Muda Bandung”. Dilangsungkan di Gedung Isola yang sekarang menjadi Bumi Siliwangi dan difasilitasi oleh tokoh pendudukan Jepang yang pro kemerdekaan Indonesia, Mr. Shimizu (Kepala Sendenbu/Departemen Penerangan Balatentara Dai Nippon).

Isa Anshari adalah pimpinan sidang terakhir dalam konferensi tersebut. Ketika itu, ia mengusulkan pembentukan tim perumus atas berbagai pemikiran yang telah disampaikan dalam forum konferensi. Usul Isa Anshari sebagai pimpinan sidang disepakati oleh forum. Ditunjuklah Mohammad Saleh Suaidy sebagai ketua tim perumus. Tim perumus harus menyelesaikan tugasnya sebelum subuh tiba dan membacakan hasil rumusan pemikiran itu dalam forum konferensi yang akan dibuka kembali usai menjalankan salat subuh.

Isa Anshari membuka sidang pagi itu dengan agenda utama mendengarkan rumusan pemikiran yang akan disampaikan oleh Saleh Suaidy sebagai ketua tim perumus. Mengutip tulisan Saleh Suaidy sebagaimana dinarasikan kembali oleh Mahmud Budi Setiawan dalam artikel bertajuk KH. Saleh Suaidy: Peran Pemuda Islam dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hidayatullah.com, isi rumusan itu adalah:

“Mendesak Pemimpin Indonesia Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia dan mendesak kepada Pemerintah Dai Nippon supaya menjadi Negara pertama yang mengakui Kemerdekaan Indonesia, serta menyampaikan keputusan itu kepada kedua Pemimpin Indonesia itu dan kepada pembesar-pembesar Pemerintah Balatentara Dai Nippon, untuk disampaikan kepada Pemerintah Pusat di Tokyo.”

Masih mengutip sumber yang sama, setelah konferensi ditutup, mewakili forum konferensi, sejumlah orang yang terdiri atas; Sukarni, Chaerul Saleh, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, RM. Prawirokusumo, Adam Malik, BM. Diyah, dan Saleh Suaidy, bergerak menuju Sukabumi untuk menyampaikan amanah konferensi tersebut kepada Dwi Tunggal Saekarno-Hatta yang kebetulan sedang ada di sana.

Baca Juga : Mohammad Natsir Sang Pemersatu

Dengan demikian, klaim bahwa peran pemuda kiri dan sosialis paling dominan dalam mendorong proses proklamasi tidaklah terlalu tepat. Ada rumusan pemikiran bersama yang bersifat lintas ideologi, untuk mendesak golongan tua agar bersegera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Kita tahu, Isa Anshari yang di belakang hari menjadi Ketua Persis (1953-1960), tokoh Masyumi, Anggota Konstituante, da’i kondang yang kerap berseteru pemikiran dengan Bung Karno, adalah wakil aktivis muda Islam pada masa itu. Demikian juga dengan Moh. Saleh Suaidy kemudian menjadi tokoh Al-Irsyad, serta Anwar Tjokroaminoto, KH. Mansjur, dan lainnya. Sudah barang tentu peran penting mereka sebagai elemen pemuda Islam di saat-saat menjelang proklamasi tak boleh ditepis begitu saja.

Begitulah, generasi muslim Z. Sekelumit fakta sejarah yang penting untuk kalian tahu. Ini bukan tentang menang-menangan klaim dan merasa paling berjasa. Sejarah harus objektif. Ketahuilah; kepentingan politik kerap memanfaatkan sejarah untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaan. Kalian, generasi Z, punya kewajiban memahami sejarah secara obyektif dan faktual. Lalu menjaganya, jika ada tangan-tangan kotor yang mencoba membalikkan sejarah untuk memuaskan syahwat berkuasa. Wallahu a’lam.