Islam dan Kebaikan yang Universal
Islam tidak pernah membatasi kebaikan berdasarkan asalnya, baik dari Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Ajaran Islam mengarahkan umatnya untuk selalu menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan menyebarkan kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Hal itu ditegaskan dalam Al Qur'an, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar” (QS Ali Imran: 110). Di dalam semangat ini, Islam mendorong umatnya untuk memanfaatkan segala hal yang baik dan bermanfaat, tanpa memandang latar belakang budaya atau tempat asalnya.
Di dalam sejarah, terutama pada masa keemasan Islam di bawah Kekhalifahan Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang pesat dan terbuka bagi ilmuwan dari berbagai peradaban. Baghdad menjadi pusat intelektual dunia dengan berdirinya Baitul Hikmah, di mana karya-karya filsuf Yunani semisal Aristoteles dan Plato diterjemahkan dan dikaji.
George Saliba, seorang sejarawan sains Islam, menyatakan bahwa para sarjana Muslim tidak hanya meneruskan tradisi keilmuan dari bangsa lain, tetapi juga mengembangkan dan mengintegrasikan pengetahuan tersebut dalam kerangka yang lebih luas. Inilah bukti bahwa Islam sangat terbuka terhadap sumber-sumber ilmu dari berbagai belahan dunia.
Islam juga mengajarkan bahwa ilmu dan kebaikan itu bersifat universal. Nabi Muhammad saw menegaskan, “Hikmah itu barang hilang orang beriman. Maka di mana pun ia menemukannya, ia lebih berhak mengambilnya” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, kebaikan apa pun, dari mana pun datangnya, selama tidak bertentangan dengan syariat, adalah sesuatu yang dianjurkan untuk diambil dan dipraktikkan. Hal ini mencerminkan bahwa Islam tidak menutup diri terhadap kebaikan dari luar agama, melainkan mendorong umatnya untuk terus mencari dan mengamalkan kebaikan demi kesejahteraan manusia secara keseluruhan.
Lebih jauh, Islam menekankan pentingnya keadilan dalam segala hal. Ibn Taymiyyah, ulama besar Islam, menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari syariat Islam. Bahkan ia berpendapat, “Allah akan menolong negara yang adil, meski pun ia kafir, dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski pun ia Muslim”. Hal itu menandakan bahwa keadilan dan kebaikan adalah prinsip utama yang melandasi semua tindakan seorang Muslim, terlepas dari latar belakangnya.
Pada zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang pesat dengan keterbukaan yang sangat luas. Para ilmuwan Muslim memelajari dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai peradaban, semisal Yunani, Persia, dan India.
Salah satu tokoh penting, Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya Ulumuddin, menekankan pentingnya ilmu pengetahuan apa pun asalnya, selama digunakan dengan niat yang benar untuk mendekatkan diri kepada Allah. Konsep ini mengajarkan bahwa Islam menghargai setiap bentuk pengetahuan dan kebaikan, tidak peduli dari mana sumbernya, asalkan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Islam kaffah atau penerapan Islam secara menyeluruh, bukan berarti menutup diri dari perkembangan luar. Sebaliknya, Islam mengajarkan penerapan ajaran agama secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari dengan tetap memertahankan moralitas dan keadilan. Umat Islam diharapkan menjadi agen perubahan positif di dunia, sebagaimana yang disebutkan dalam QS Al-Baqarah: 143, bahwa umat Islam adalah umat yang moderat dan menjadi teladan bagi manusia lainnya.
Dengan demikian, Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin tidak hanya menekankan kebaikan bagi sesama Muslim, tetapi juga bagi seluruh manusia, tanpa memandang perbedaan agama, budaya, atau etnis. Pandangan yang memersempit ajaran Islam menjadi eksklusif bagi satu kelompok atau budaya jelas bertentangan dengan misi Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam.