Istiqamah dalam Dakwah dengan Memperkuat Ukhuwah Islamiyah (Bagian 2)
Kampus dan Cendekiawan
Sebelum lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember 1990, Mohammad Natsir sudah menyampaikan bahwa “Cendekiawan yang bernafaskan Islam dalam Al Qur’an disebut dengan istilah ‘Ulul Albab’, yakni mereka yang memiliki akal, daya fikir, daya tanggap yang peka, daya banding yang tajam, daya analisa yang tepat dan daya cipta yang orisinil, semua itu dalam rangka bertaqwa kepada Allah SWT”.
Berikut ini adalah petikan dari Ceramah bapak M. Natsir, pada acara Wisuda Angkatan Pertama Pesantren Ulil Albab, UIKA, Bogor, 14 Juni 1989.
Belasan ayat Al Qur’an yang mendorong daya observasi Ulul Albab, supaya memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya, baik lingkungan yang dekat, sampai yang jauh ke ruang angkasa. Untuk mensyukuri segala nikmat Ilahi, baik yang di atas dan di bumi yang terhampar, penuh berisikan sumber rizki. Menanggapi langit yang melengkung dihiasi oleh matahari, bulan dan bintang. Menanggapi pertukaran malam dan siang, meneliti kejadian Bumi dan langit. Yang semua itu dinamakan “tanda kebesaran Ilahi untuk Ulul albab”.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih berganti nya malam dan siang, terdapat tanda tanda bagi orang yang ulul albab, (yaitu) mereka yang mengingat Allah sambil berdiri, sedang duduk dan berbaring, dan merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi, (sambil berkata) ‘Wahai Tuhan kami, Engkau tidak jadikan itu semua dengan sia-sia. Maha suci Engkau. Maka lindungilah kami dari azab neraka’.” (QS Ali Imran: 190 -191)
Menurut Mohammad Natsir, salah salah ciri dari seorang Cendekiawan Muslim (ulul albab) adalah “Keterbukaannya”: Kesediaan untuk mendengarkan segala macam faham dan pendapat orang lain dengan tenang. Tidak lekas naik pitam jika terdengar sesuatu yang tidak ia setuju. Sesudah itu dianalisanya, mana yang beras mana yang gabah, dan diambilnya mana yang terbaik dari apa yang ditanggapinya itu. Seorang Ulul Albab harus menyadari bahwa dunia ini tidak untuk dikuncinya oleh golongan mereka sendiri. Mereka itu hidup dalam masyarakat yang majemuk. Majemuk dalam keinginan cita cita dan pandangan hidup.
Baca juga: Istiqamah dalam Dakwah dengan Memperkuat Ukhuwah Islamiyah (Bagian 1)
Seorang “Ulul Albab" tidak pernah “uzlah”: Tidak mengisolasi diri dari masyarakat yang pluralistik, dimana bersimpangsiur bermacam ide dan faham. Mereka berpegang pada nilai-nilai Ilahi, sebagai tata cara hidupnya, dengan konsekuen. Mereka pelihara identitas agar jangan terbawa arus. Di tengah-tengah lingkungan yang serba-corak mereka berlomba-lomba dalam menegakkan kebajikan, untuk kesejahteraan makhluk sekitarnya tanpa diskriminasi.
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Karena itu janganlah kamu masuk golongan yang ragu-ragu. Dan bagi tiap-tiap seseorang ada jurusan yang dituju, maka berlomba-lombalah kamu dalam menegakkan kebajikan.” – QS. Al Baqarah:147-148
Mohammad Natsir sangat memahami dan sadar betul bahwa seorang Ulul Albab, Cendekiawan Muslim atau sarjana itu berasal dari Universitas (Perguruan Tinggi) sebagai pusat pendidikan. Oleh sebab itu, beliau juga mengingatkan agar Universitas atau Kampus tidak lagi berperan sebagai apa yang disebut semata-mata “Still center of learning”, satu markas yang hening, sepi, dan tenang, untuk memupuk “ilmu pengetahuan” semata.
Demikian pula para Cendekiawan yang dihasilkan dari universitas, tidak boleh hanya duduk di singgasana “Menara Gading” (ivory of tower), dengan tidak mempedulikan apa yang tampak di sekitarnya, karena sudah keasyikan mengembangkan Ilmu pengetahuan, padahal dari tempatnya yang tinggi itu, dia dapat melihat lebih dahulu daripada melihat dari orang lain, tentang apa yang akan datang. Dari situ pula, seorang cendekiawan Muslim, menurut Mohammad Natsir, bisa melihat awan mendung, sebagai tanda akan hujan, dan segera memperingatkan orang agar sedia payung atau akan terjadi banjir, sehingga masyarakat bisa siap-siap untuk menghindar dari musibah.
Tetapi kalau sang Ulub Albab di saat itu hanya diam, maka hal tersebut adalah sebuah kelalaian. Maka, kelalaian oleh seorang Cendekiawan sendiri disebut sebagai “Pengkhianatan intektual” (treason of Intellectuals). Bahwa kedudukan yang lebih tinggi itu membawakan kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. “Noblesse oblige”, kata pepatah Perancis.