Itsar

Di Yarmuk darah deras mengalir. Perang besar antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin tak terhindar lagi. Dari pihak muslimin beberapa orang telah menemui syahid dan lainnya banyak yang jatuh terluka.

Hudzaifah Al-Adawi tak mampu menahan gejolak. Ia menghambur ke medan jihad. Sebelum mengayunkan pedangnya menebas musuh-musuh Allah, Hudzaifah terlebih dahulu mengusung sebuah bejana penuh air untuk membantu mengatasi rasa haus prajurit Allah yang terluka.

Bejana ia letakkan. Sambil mengawasi kelebat pedang musuh, Hudzaifah meneteskan air kepada mujahid yang terluka. Tapi, sebelum tetesan selanjutnya terus melaju, prajurit yang terluka menepis bejana air, serentak dengan terdengarnya erangan yang memilukan di antara denting pedang yang terus beradu.  Sang prajurit meminta Hudzaifah bersegera ke arah orang yang tadi. Katanya, "bawalah air padanya, aku tidaklah lebih mulia dari jiwa siapapun yang berjuang di jalan Allah."

Orang yang mengerang tadi ternyata, Hisyam bin Al-Ash. Semoga Allah merahmati engkau, ya Hudzaifah," sambutnya.

Hudzaifah belum sempat mengangkat bejana, ketika tiba-tiba Hisyam menunjuk kepada salah seorang yang juga terluka. "Bawalah air padanya. Ia lebih memerlukannya daripadaku," pintanya.

Hudzaifah menuju orang yang terluka tadi. Tapi terlambat, ia telah lebih dahulu menghembuskan nafas terakhir .

Hudzaifah tercenung. Dengan sigap ia melompat menuju Hisyam bin Al-Ash. Tapi ternyata telah syahid juga. Tangis Hudzaifah semakin menjadi-jadi ketika ia sampai kepada orang yang pertama ia tolong, ternyata ia pun telah berangkat keharibaan Ilahi. Tak jelas siapa yang lebih dulu, ia atau kedua kawannya yang lain.

Di zaman yang segenap komponennya terus bergerak cepat ini, tak bisa dipungkiri kejadian di atas sudah teramat sulit ditemui. Keberanian Hudzaifah dan kesediaan beberapa mujahid yang sekarat untuk mendahulukan keselamatan saudaranya memang menjadi kasus asing. Kalaupun ada keberanian, itu biasanya muncul dari kekuatan yang bersumber dari pamrih duniawi.

Fenomena dalam perang Yarmuk di atas bukanlah sesuatu yang bersifat kecenderungan manusiawi semata. Kebaikan dan rasa pengorbanan yang mereka tunjukkan jelas berasal dari penyerahan dan pengamalan sungguh-sungguh terhadap Al-Islam secara benar. Mereka meyakini kebenaran wahyu dengan pembenaran dalam hati dan melaksanakannya semaksimal mungkin dalam kehidupan nyata.

Persoalannya sekarang, pedulikah kita dengan cara dan sikap hidup seperti itu? Jika rasa kepedulian kita terusik, mampukah menunjukkannya dalam setiap persinggungan dengan seluruh piranti masyarakat dalam keadaan apapun? Seperti Allah telah gambarkan dalam Al-Quran kisah persahabatan yang mulia antara kaum Anshar dan Muhajirin.

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ
Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. – QS. Al-Hasyr:9

Dalam ayat tadi dijelaskan, sikap secara sukarela dalam jalinan kasih sayang sosial yang ditunjukkan kaum Anshar amatlah mulia. Kaum Anshar lebih mengutamakan kaum Muhajirin daripada diri mereka sendiri di setiap aspek kehidupan. Bahkan jika mereka meninggal, hak waris jatuh pada kaum pendatang yang secara keturunan tidak mempunyai pertalian darah dekat.

Soalnya kemudian, meski kita mampu berbuat baik dan berkorban untuk sesama manusia, adalah bagaimana pekerjaan tersebut di samping bernilai baik di sisi manusia tapi juga mulia di sisi Allah. Ada beberapa pijakan yang sering terlupakan.

Pertama, kita harus mengolah kepribadian agar dalam berbuat baik berdasarkan kebenaran iman. Segala bentuk pengorbanan seharusnya lahir dari i'tikad bahwa Allah menyuruh dan mengawasi segala perbuatan kita. Seperti yang diriwayatkan Ibnu Sa'ad tentang keutamaan sikap seorang Ummul Mu'minin, Zainab binti Jahsy Al-Asadiyyah. Istri Rasulullah ini menolak pembagian harta yang memang telah menjadi haknya. Dia mengingatkan masih banyak orang yang lebih membutuhkan daripada dirinya.

Kedua, berbuat baik dan bersedia berkorban dengan ketulusan niat hanya karena Allah. Hal ini menjadi sangat perlu dalam zaman ini. Karena banyak perbuatan baik menjadi sebuah kemasan tanpa perlu lagi melihat niat dari perbuatan itu. Bukan maksud menuding. Lihatlah banyak peristiwa pengorbanan yang dilakukan baik perorangan atau kolektif tiba-tiba menjadi sekadar sebuah peristiwa yang sengaja dikemas menjadi kepentingan-kepentingan sosial saja.

Ketiga, sikap ini harus lahir dari kesucian diri. Pijakan terakhir ini merupakan satu sendi yang kuat dalam perwujudan kebaikan bagi umat manusia. Apalah arti sebuah pengorbanan kalau ia bersumber dari sumber yang sebenarnya Allah tidak menyukainya.

Kemuliaan yang ditunjukkan dalam perang Yarmuk atau persahabatan sejati kaum Anshar dan Muhajirin memang telah berlalu beberapa abad silam. Namun perwujudan konkret nilai-nilai Qur'ani dalam kehidupan sehari-hari harusnya mampu membebaskan kita dari perbudakan kita pada kerendahan nilai duniawi.

Kita bersegera meninggalkan ikatan-ikatan dunia yang mengekang, sehingga lambat laun segala bentuk perbuatan baik, murni hanya karena pertalian kita pada ajaran-ajaran Allah Azza wa Jalla. Agar makna ikhlas selalu melekat erat dalam hati setiap pribadi . Dan sabda Rasulullah yang mengatakan, "Sesungguhnya antara muslim dengan muslim lain seperti satu tubuh", segera terwujud.

Wallahu a'lam bishawwab

Disadur dari majalah Sabili Edisi No.10/Th. V 6-19 Januari 1993