Jadilah Orang Asing
"Islam itu mulanya asing, dan nanti akan kembali asing. Maka beruntunglah orang-orang yang asing". Begitu sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. Semakin kita renungkan, semakin dalam makna yang terkandung dalam hadits itu. Ada dimensi kesejarahan, sosio budaya, futurologi, sekaligus resep keimanan menghadapi dunia yang mulai menjauh dari nilai-nilai Islam.
Pertama kali diperkenalkan Rasulullah saw, agama ini amat kontras dengan situasi yang berkembang. Dalam soal aqidah, masyarakat jazirah Arab dan sekitarnya adalah penganut politeisme, penyembah banyak tuhan. Sementara Islam datang dengan tauhid yang menjadikan Allah SWT Pencipta dan Pemelihara alam semesta sebagai satu-satunya sesembahan. Maka, satu sesembahan adalah logika yang susah diterima kebanyakan orang jahiliyah saat itu. Termasuk mereka yang biasa menyembah hawa nafsu, pangkat, tradisi nenek moyang, ataupun kekuasaan politik. Tak heran, yang paling merasa aneh dengan Islam adalah tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh masyarakat seperti Abu Lahab, Abu Jahal, dan Abu Sofyan.
Dalam hal hubungan sosial, bertahun-tahun orang-orang jahiliyah saling berperang untuk membela nasionalisme sempit mereka. Tetapi Rasulullah saw datang dengan ajaran baru: "Barang Siapa menyeru kepada ashobiyyah (nasionalisme sempit, kesukuan), ia bukan golongan kami". Tentu saja ide itu dipandang asing.
Dalam aspek moral, agama Allah mengajarkan menjauhi zina. Padahal perzinaan adalah mode yang umum. Bahkan ada pemuda yang hatinya telah tersentuh Islam dan hendak bersyahadat di hadapan Nabi saw, namun minta dispensasi agar dibolehkan tetap berzina, Pemuda itu akhirnya mengurungkan niatnya, setelah Rasulullah menasehati dengan lembut. Rasul meminta pemuda itu membayangkan bagaimana bila perempuan yang dizinai itu ibu, adik, atau bibinya sendiri.
Mempertontonkan bagian-bagian aurat adalah biasa bagi wanita-wanita jahiliyah. Menurut berita Sirah, hiburan-hiburan di pasar syair Ukaz–sebuah night club kenamaan di metropolitan Makkah waktu itu–didominasi oleh perempuan dengan aurat yang tersingkap. Tetapi Allah SWT memerintahkan kepada wanita beriman agar rapat-rapat menutup aurat. Di sektor ekonomi, sistem keuangan riba adalah hal yang lumrah mereka jalani. Namun Islam dengan tegas menyebutnya sebagai sesuatu yang haram (QS Al-Baqarah: 275).
Masih banyak lagi contoh, betapa Islam menjadi barang asing di awal penyebarannya. Itulah ghurbah (keterasingan) Islam generasi pertama. Keadaan demikian akan berulang di zaman berikutnya, seperti yang bisa kita rasakan saat ini. Bila Islam diterapkan secara murni dan konsekuen, akan banyak yang menganggapnya aneh dan asing. Saat ini umat Islam banyak yang terbiasa dengan peradaban yang bukan Islam. Tauhid mereka belum murni. Banyak yang masih menyembah berhala-berhala tradisional maupun berhala kontemporer. Nasionalisme sempit, kesukuan, kebobrokan akhlak, ekonomi riba, adalah arus utama dalam kehidupan. Sementara yang justru Islami selalu dimarjinalkan, diberi tempat di pinggiran saja.
Bila begitu keadaannya, maka semakin kita mendekat kepada Islam, maka kita akan semakin terasing. Namun, "Berbahagialah orang-orang asing, begitu lanjutan sabda Rasulullah. Bahagia lantaran di tengah gelombang keburukan itu, orang-orang asing' itu mampu istiqomah di jalan kebenaran. Karena keterasingan dalam konteks ini sesungguhnya adalah prestasi keimanan. Meski secara sosial itu tak berarti harus meninggalkan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Agar dakwah bisa menggantikan suasana asing itu.
Mulyono
Disadur dari Majalah Sabili Edisi No 26 TH. VII / 14 JUNI 2000 / 11 RABIUL AWAL 1421 H