Jauhkan Stunting dari Keluarga Indonesia
Tahun 2023 ini, Hari Keluarga Nasional mengangkat tema “Menuju Keluarga Bebas Stunting untuk Indonesia Maju”, dengan hastag #KeluargaKerenCegahStunting. Ini adalah tahun kedua berturut-turut tema Peringatan Hari Keluarga Nasional berkaitan dengan isu stunting. Sedangkan Tema Peringatan Hari Keluarga Nasional Tahun 2022 adalah “Ayo Cegah Stunting agar Keluarga Bebas Stunting”.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengumumkan, penyelenggaraan Peringatan Hari Keluarga Nasional 2023 menjadi momentum yang tepat dalam upaya penguatan peran keluarga dalam mempercepat upaya menurunkan prevalensi stunting. Guna mewujudkan penguatan peran keluarga, komitmen bersama dari seluruh lapisan masyarakat perlu lebih dikuatkan dalam rangka melakukan percepatan upaya penurunan angka prevalensi stunting.
Kepala BKKBN, Dr. (H.C). dr. Hasto Wardoyo, Sp.O.G (K), melalui siaran pers, Kamis, 29 Juni 2023, seperti dikutip kominfo.go.id, menjelaskan, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi lingkungan yang kurang mendukung, ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak yang berada di bawah standard. Menurut Hasto, saat ini stunting masih menjadi persoalan bagi Indonesia. Hasto pun mengatakan, keluarga berperan penting dalam pengasuhan anak agar standard gizi dan kesehatan mereka terjaga.
“Dalam upaya percepatan penurunan stunting, keluarga memiliki peranan yang sangat penting, terutama dalam memberikan praktik pengasuhan yang baik dan menciptakan lingkungan sanitasi yang memenuhi standard kesehatan,” katanya.
Hasto menekankan, saat ini angka stunting di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), di tahun 2022 prevalensi stunting di Indonesia berada pada angka 21,6 persen. Artinya, satu di antara lima anak Indonesia mengalami stunting.
Pemerintah berkomitmen menurunkan angka prevalensi stunting itu. Bahkan, pemerintah telah mencanangkan target prevalensi stunting 14 persen pada 2024. Menurut Hasto, berbagai upaya perlu dilakukan untuk penguatan peran keluarga dalam percepatan penurunan angka stunting. Sebab, pencapaian target penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada 2024 itu harus dilakukan bersama-sama dengan mengintervensi langsung kepada anak-anak stunting.
“Oleh sebab itu, peningkatan pengetahuan dan pemahaman keluarga serta komunitas berperan penting untuk pencegahan stunting dan mempersiapkan anak agar dapat bertumbuh kembang optimal menjadi generasi maju,” ujar Hasto Wardoyo seperti dikutip kominfo.go.id.
Di tahun 2022 lalu, provinsi Sumatera Selatan termasuk dalam tiga besar provinsi di Indonesia dengan penurunan angka stunting yang melebihi capaian nasional. Berdasarkan hasil SSGI tahun 2022, angka prevalensi stunting di Sumatera Selatan mengalami penurunan dari tahun 2021 yang 24,8 persen menjadi 18,6 persen pada 2022. Angka 18,6 persen itu lebih rendah dari angka prevalensi nasional 21,6 persen. Sehingga, provinsi Sumatera Selatan dipilih sebagai tempat penyelenggaraan Acara Puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional Tahun 2023. Tepatnya, acara itu digelar di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Faktor di Luar Kesehatan.
Mungkin masih banyak di antara kita yang belum paham tentang stunting. Stunting adalah salah satu kosa kata dari bahasa Inggris. Artinya adalah ”kekerdilan”. Stunting berasal dari kata dasar stunt yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, bermakna kerdil.
Stunting memang kosa kata yang digunakan oleh WHO (World Health Organization) atau organisasi kesehatan dunia untuk menyebut kasus tentang orang yang mengalami kekurangan pertumbuhan sehingga rendah dan kecil di bawah normal, yang terjadi di seluruh dunia. Sedangkan para ahli kesehatan dunia mendefinisikan stunting dalam sebuah kalimat, yaitu “masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak, yaitu kondisi badan anak menjadi kerdil.”
Di antara negara-negara di dunia, Indonesia adalah salah satu negara dengan angka prevalensi stunting terbilang tinggi. Tahun 2018, misalnya, menurut hasil SSGI, angka prevalensi stunting di Indonesia tercatat 30,8 persen. Di tahun 2021 memang terjadi penurunan dan angka prevalensi stunting di Indonesia ketika itu adalah 24,8 persen. Dan tahun 2022, angkanya turun lagi hingga 21,6 persen. Tetapi, angka ini masih cukup tinggi. Apalagi bagi Indonesia yang merupakan negara merdeka dan sedang membangun. Sebab, ukuran standar angka prevalensi stunting yang ditetapkan WHO adalah tidak melebihi 20 persen.
Di Indonesia, kondisi stunting tidak lepas dari persoalan di seputar kesehatan bayi dan balita. Masih banyak masalah di seputar kesehatan bayi dan balita yang terjadi di Indonesia. Tetapi, seperti diungkapkan oleh mantan Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, masalah stunting tidak saja bersumber pada persoalan kesehatan, melainkan seringkali berakar dari faktor-faktor di luar kesehatan. Faktor-faktor penyebab stunting di Indonesia antara lain adalah masalah ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertanian, dan kemiskinan.
Menurut Nila Moeloek, masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan, baik dari sisi jumlah maupun kualitas gizi. Ditambah lagi dengan pola asuh bayi dan balita yang kurang baik, terutama terkait praktik pemberian makanan bagi bayi dan balita. Sedangkan pola asuh dan status gizi pada anak sangat dipengaruhi oleh pemahaman orangtuanya.
Bukan Sekadar Masalah Gizi.
Menyimak masih tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia, maka dalam momen Hari Keluarga Nasional Tahun 2023 ini, marilah kita semua memahami lebih dalam masalah stunting ini. Sebab, kasus stunting menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintahannya menjelang akhir masa jabatan di tahun 2024.
Di tengah gencarnya pemerintah Indonesia membangun negeri ini secara fisik, semisal membangun jalan dan infrastruktur lain, jangan abai terhadap pembangunan manusia. Sebab, tujuan pembangunan nasional sejatinya adalah membangun manusia seutuhnya. Artinya, pembangunan nasional mencakup pembangunan di segala bidang, antara lain politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kesehatan yang optimal untuk seluruh rakyat Indonesia.
Faktanya, masalah stunting hingga saat ini masih jarang menjadi topik pembicaraan utama. Baik di kalangan pelaku politik praktis maupun di dalam interaksi dan pergaulan masyarakat sehari-hari. Sedangkan jika ditinjau dari segi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga, masalah stunting dapat menjadi salah satu penghambat kemajuan bangsa.
Sudah saatnya untuk membawa masalah stunting secara serius, mengangkat soal tersebut agar ditangani secara holistic, terpadu, di antara semua sumber daya pembangunan yang dimiliki pemerintah dan masyarakat. Sebab, jelas sekali bahwa stunting terkait banyak hal yang salah satunya adalah faktor ekonomi. Jadi, potret tentang stunting senyatanya tak dapat dipisahkan dari gambar tentang kemiskinan. Ketika kemiskinan melingkupi sebuah keluarga, mereka akan sulit memikirkan tentang keseimbangan gizi.
Tak bisa dimungkiri, dari sekian banyak keterbelakangan yang terjadi di wilayah pedesaan dan kawasan terpencil lainnya di tanah air, adalah suatu kenyataan yang sangat memprihatikan bahwa di antara masyarakat Indonesia – negara yang katanya sedang membangun ini – masih terdapat puluhan ribu orang bahkan mungkin jutaan orang yang berstatus “miskin ekstrim”. Status yang kemudian berujung pada tingginya angka prevalensi stunting di daerah itu. Bahkan jauh lebih tinggi dari angka prevalensi stunting menurut standar WHO.