Jenderal Soedirman, Bapak TNI dan Konseptor Perang Gerilya
Ahad pagi, 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II atau Operatie Kraai (Operasi Gagak). Belanda yang secara sepihak membatalkan Perjanjian Renville, lantas melakukan serangan mendadak ke Yogyakarta dengan tujuan untuk menduduki ibukota Indonesia (waktu itu), Yogyakarta. Peristiwa itu menjadi momen bersejarah bagi perjalanan Republik Indonesia serta Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah Belanda menurunkan pasukan di Bandara Maguwo (sekarang menjadi Bandar Udara Adi Sutjipto) serta membombardir kota Yogyakarta secara membabi buta, Belanda mengultimatum para pemimpin Republik Indonesia untuk menyerahkan diri dan mengakui kekuasaan kolonial. Di dalam kondisi genting tersebut, setelah meminta izin kepada Presiden Soekarno, panglima besar Jenderal Soedirman segera mengambil keputusan penting, menyingkir dari Yogyakarta untuk mengobarkan perlawanan bersenjata.
Setelah membakar berbagai dokumen penting agar tidak jatuh ke tangan Belanda, pukul 11.30 WIB rombongan Jenderal Soedirman meninggalkan rumah dinas beliau di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Rombongan pasukan Panglima Soedirman terus bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, melalui rute sejauh 1009 KM melewati Bantul, Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ponorogo, Karanganyar, Sukoharjo, Surakarta, dan Klaten.
Baca Juga : Dari BKR Hingga TNI
Perlawanan bersenjata yang dilakukan panglima Soedirman menjadi spirit serta lambang perjuangan rakyat Indonesia. Perlawanan yang dilancarkan dengan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia hingga titik darah penghabisan. Episode perang gerilya yang dipimpin Panglima Soedirman itu juga menjadi tonggak sejarah penting dalam menjaga tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa itu juga berperan dalam membentuk dasar-dasar identitas Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Karir Militer
Karir militer Soedirman dimulai saat mengikuti pelatihan Perwira Pembela Tanah Air (PETA) yang diselenggarakan oleh Jepang tahun 1944 di Bogor. Soedirman kemudian diangkat sebagai komandan Daidanco atau komandan daiden, setara dengan batalyon, di Banyumas. Setelah Indonesia merdeka, Soedirman dipercaya memimpin divisi V Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang meliputi karesidenan Kedu dan Banyumas, dengan pangkat kolonel.
Pada 5 Oktober 1945, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama tentara keamanan rakyat atau TKR. Pada konferensi TKR 12 November 1945 di Yogyakarta, Kolonel Soedirman terpilih sebagai pimpinan tertinggi TKR dan dilantik pada 18 Desember 1945 dengan pangkat Jenderal.
Pertempuran Ambarawa melawan tentara Inggris merupakan pertempuran pertama yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman sejak terpilih sebagai panglima terbesar TKR. Pertempuran Ambarawa sekaligus menjadi fron pertempuran terbuka dan terbesar pertama sejak Indonesia merdeka. Dari pihak Indonesia, korban yang gugur mencapai sekitar 2000 orang, baik dari laskar rakyat maupun dari anggota TKR. Sedangkan pihak Inggris setidaknya kehilangan 100 orang prajuritnya.
Perang gerilya melawan Agresi Militer Belanda II merupakan episode penting dalam perjalanan sejarah Panglima Soedirman. Setelah beberapa bulan bergerilya, Panglima Soedirman mendirikan markas sementara di Sobo, dekat dengan Gunung Lawu. Dari tempat itu, Panglima Soedirman mengomando kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk merancang siasat operasi Serangan Umum 1 Maret 1949 bersama Kolonel Abdul Haris Nasution dan Letkol Soeharto.
Pada pertempuran yang berlangsung selama kurang lebih enam jam tersebut, pasukan Republik akhirnya berhasil menguasai kembali kota Yogyakarta dan menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada masyarakat internasional. Keberhasilan serangan tersebut segera disiarkan ke radio-radio di dunia dan diperdengarkan di Forum PBB di New York, hingga berujung dengan dilangsungkannya perundingan Roem Royen dan menghasilkan kesepakatan diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Pada 10 Juli 1949, Panglima Soedirman kembali ke Yogyakarta dan memerintahkan seluruh pasukannya untuk menghentikan perlawanan. Disambut ribuan rakyat yang berbaris sepanjang jalan, Panglima Soedirman yang kondisi kesehatannya semakin memburuk kembali ke Yogyakarta dengan ditandu para pengawalnya.
Tanggal 2 Agustus 1949, Soedirman mengundurkan diri sebagai panglima tinggi Tentara Republik Indonesia, karena menolak konsep Republik Indonesia Serikat atau RIS sebagai hasil dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar. Soedirman menganggap kesepakatan meja bundar sebagai suatu penyimpangan dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Setelah itu, kondisi kesehatan Soedirman terus memburuk. Akhirnya, pada 29 Januari 1950 Jenderal Soedirman mengembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 34 tahun di Rumah Peristirahatan Tentara, Badakan, Magelang.
Baca Juga : Jenderal Soedirman dan Api Perjuangan yang Tak Pernah Padam
Meninggalkan seorang istri dan tujuh orang putra-putri, kematian Jederal Soedirman menjadi berita duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang yang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman beliau di taman makam pahlawan Semaki, Yogyakarta.