Jeritan Rakyat yang Terabaikan dan Tembok Istana yang Terlalu Tebal untuk Mendengar

Suara rakyat kecil sering kali hanya menjadi catatan kaki di laporan media massa. Padahal sebetulnya, kalau mau jujur, di sanalah letak cermin paling jernih tentang kondisi negeri ini. Dari obrolan singkat di warung kopi, keluhan di pasar tradisional, sampai komentar spontan dari driver ojol, semua tertuju pada akar masalah yang sama. Tentang hidup yang makin berat, harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, dan pemerintah yang terasa jauh dari keseharian rakyat.

“Sekarang mah apa-apa mahal, dagangan susah laku, mau belanja ke grosir aja bingung, modalnya habis duluan,” kata Bu Anggi, pedagang kue basah di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Bu Anggi bicara tanpa teori ekonomi, tetapi kalimatnya bisa langsung dipakai sebagai ringkasan tentang inflasi nasional.

Sementara itu, Agus, seorang driver ojol, mengaitkan tema obrolan dengan aksi demo yang sempat menggema beberapa waktu lalu. “Ya wajar orang demo, namanya juga rakyat pingin didengar. Saya sih nggak ikut, tapi ngerti kenapa banyak yang turun ke jalan. Pemerintah kelihatannya lebih sibuk nutup suara, tanpa pernah dengerin isinya,” ucapnya sambil menyalakan sebatang kretek.

Lain lagi dengan Darto, buruh pabrik yang Sabili.id temui saat sedang menunggu bus di halte. “Demo itu udah biasa, Mbak. Masalahnya, hasilnya apa? Paling pemerintah keluarin statement, selesai. Hidup kita nggak berubah juga,” katanya. Nada suaranya datar, tetapi jelas terasa ada lelah yang panjang di balik kalimat itu.

“Beres-Beres Kursi” ala Prabowo
Pada 8 September 2025, Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet. Publik pun sah-sah saja menilai, apakah pergantian para menteri ini akan membawa perbaikan nyata bagi rakyat, atau hanya sebatas “beres-beres kursi ala Presiden Prabowo” dan perumusan ulang peta kekuasaan?

Jika ditanya soal cara pemerintah menyikapi aksi-aksi protes, mayoritas merasa negara lebih piawai dalam mengerahkan aparat ketimbang merangkul aspirasi. “Kalau rakyat teriak, yang datang polisi. Kalau pengusaha teriak, yang datang menteri,” celetuk Agus, sang driver ojol.

Lalu bagaimana dengan harapan terhadap kepemimpinan Prabowo? Jawaban mereka, lagi-lagi, sederhana. Bukan mimpi besar tentang industrialisasi atau jargon besar tentang kedaulatan pangan. Mereka hanya ingin harga sembako stabil, ongkos sekolah tidak mencekik, dan pekerjaan tersedia.

“Pak Prabowo itu katanya tegas, katanya berpihak sama rakyat, ya buktikan aja. Jangan banyak janji lagi,” cetus Bu Anggi.

Suara rakyat di bawah memang tidak berputar pada kalkulasi politik tinggi atau wacana canggih tentang pembangunan berkelanjutan. Mereka bicara tentang perut yang lapar, dompet yang menipis, dan kepala yang pusing memikirkan bagaimana besok. Aksi demo, bagi mereka, hanyalah salah satu cara untuk mengetuk pintu istana yang terasa semakin tebal. Jikalau pintu itu tetap tak terbuka, mungkin suara-suara kecil dari pasar, jalanan, dan halte, akan semakin keras. Entah lewat teriakan, entah lewat bisikan sinis yang perlahan menjadi arus deras.

Umar bin Abdul Aziz dan Lilin Negara
Siapa yang tak kenal Umar bin Abdul Aziz? Beliau sosok pemimpin yang adil, arif, lagi berilmu. Banyak kisah teladan yang beliau tinggalkan untuk para peneliti kebenaran. Inilah satu kisah ringkasnya.

Negara ini tidak hanya berdiri di atas gedung-gedung tinggi dan pertemuan-pertemuan mentereng, tetapi juga di atas bahu mereka yang setiap hari berjuang agar dapur tetap ngebul. Mereka yang suaranya sering dianggap remeh justru bisa jadi penentu arah bangsa lewat pilihan sederhana, antara terus percaya atau mulai kehilangan harap.

Di dalam sejarah Islam, para khalifah terdahulu telah memberi teladan tentang bagaimana suara rakyat tidak boleh dianggap sepele. Umar bin Khattab pernah berkata, “Jika ada seekor keledai saja terjatuh di Irak, aku khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadaku: Mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya, wahai Umar?”

Dahsyat sekali. Betapa ketika seorang pemimpin yang saleh memimpin sebuah negeri, bahkan seekor keledai yang terjatuh di wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan pun menjadi kekhawatirannya.

Al Qur’an sendiri menegaskan, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (QS Al-Maidah: 2).

Ayat tersebut tidak hanya bicara soal hubungan antarindividu, tetapi juga menegaskan peran penguasa tentang bagaimana menegakkan kebaikan, mendengar keluh kesah, dan hadir nyata dalam urusan rakyatnya.