Jika Maksiat Merajai Negeri
Ustadz Ahmad Hassan, guru para aktifis pergerakan Islam Indonesia dalam karya momumentalnya Tafsir Al-Furqan, menegaskan bahwa manusialah penyebab sebagian besar kerusakan di muka bumi ini. Akibat kerusakan tersebut manusia juga yang merasakannya. Dengan kata lain, kemaksiatan yang dikerjakan manusia sebenarnya untuk mengazab manusia itu sendiri. Kaum terdahulu mendapatkan azab dari Allah karena kemaksiatan dan pembangkangan mereka[1]. Nabi Adam dan istrinya dikeluarkan oleh Allah SWT dari Surga akibat terpedaya bujuk rayu Iblis dalam melanggar larangan Allah.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan kareana perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagaian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar. – QS. Ar-Rum: 41
Begitu juga dengan kaum Nabi Nuh yang tenggelam banjir besar karena tidak mau mengikuti ajaran Nabi mereka. begitu juga dengan Kaum ‘Ad, sehingga Allah mengirimkan angin “puting beliung” berhembus membanting mereka seperti pelepah kurma yang berguguguran. Hal yang sama juga terjadi terhadap kaum Nabi Luth, sehingga Malaikat mendengar ‘gonggong’ anjing dan penduduknya binasa akibat hujan batu dan beraneka ragam azab yang belum pernah ditimpakan kepada kaum sebelumnya. Begitupun yang dilakukan oleh kaum Nabi Shalih, Syu’aib, dan Musa serta utusan-utusan Allah yang lain sehingga Allah membinasakan mereka. Semuanya disebabkan oleh kemaksiatan dan pembangkangan mereka terhadap nabi-nabi itu.
Pendek kata, maksiat merupakan “warisan” umat terdahulu yang pernah diazab. Karena itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan segala bentuk keterpurukan merupakan akibat kemaksiatan yang dilakukan anak bangsa ini. Sebab, Allah tidak akan menjatuhkan azab kepada kaum nabi yang bertaqwa. Bahkan Allah membukakan pintu rezeki-pintu rezeki dan mengucurkan nimat-Nya dari langit.
Sekirannya negeri-negeri ini beriman dan bertaqwa, pas tilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu. – QS. Al-A’raf: 96
Jika ketaqwaan dan keimanan merupakan penyebab datangnya rezeki, maka sebaliknya kemaksiatan akan menimbulkan kefaqiran. Allah tidak akan memberikan rezeki kepada kaum yang berbuat maksiat.
“Seorang hamba akan dicegah dari rezeki akibat dosa yang diperbuatnya”. – HR. Ahmad
Selain itu, kemaksiatan juga dapat menutupi hati nurani untuk menuntu ilmu. Allah akan menutupi hati mereka yang berbuat maksiat. Kisah keluhan Imam Syafi’i rahimahullah yang diadukan kepada gurunya, patut kita renungkan. Imam Syafi’i bertutur,
“Aku mengadu kepada guruku tentang buruknya hafalanku. Ia memberikan nasihat agar aku meninggalkan kemaksiatan, seraya berkata, “Ketahuilah, ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada si pelaku maksiat.”[2]
Kalau saja Imam Syafi’i sampai mengeluh sulit menghafal karena kemaksiatannya yang tidak dapat kita bayangkan seberapa kecilnya, bagaimana dengan anak bangsa kita ini yang setiap hari menebar maksiat. Bagaimana mungkin akan mendapatkan rezeki dari Allah?.
Manakala kemaksiatan berjalan terus, maka si pelaku akan kehilangan jati dirinya. Ia akan galau sepanjang hidup. Jiwanya tidak akan merasa tenang dan nyaman. Setiap saat selalu hidupnya dikejar-kejar dosa. Apalagi kalau kemaksiatan itu berhubungan erat dengan orang lain, bukan dengan Allah saja. Ia akan merasa lebih tidak tenang. Hidupnya akan menderita sepanjang masa. Pada dasarnya ketika melakukan kemaksiatan, hati nurani merasa perih. Ia tidak rela melakukan perbuatan tersebut. akhirnya akan terjadi kontra antara hati nurani dan jiwa yang akan mengakibatkan kegoncangan jiwa dan ketidaktengangan hati.
Jika seseorang sudah merasa tidak tenang, maka yang akan muncul kemudian adalah kehinaan. Semua orang akan menghujatnya kalau kemaksiatannya berkaitan dengan orang banyak. Ia akan dikenang sebagai pembangkang kalau kemaksiatannya berhubungan dengan Allah. Namanya akan disejajarkan dengan orang-orang zhalim seperti Fir’aun, Qarun dan Abu Jahal. Sepanjang sejarah, orang akan menulisnya sebagai penjahat dan penghianat bangsa. Kemaksiatan juga dapat menghapus kebaikan. Akibat berbuat maksiat, kebaikan seseorang akan sirna, dilupakan dan dianggap tidak pernah ada. Kehinaannya akan meningkat setinggi kemaksiatan yang dilakukannya. Orang yang dihinakan Allah tidak akan ada yang memuliakannya. Allah berfirman,
“Dan barang siapa yang dihinakan Allah, tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki,” – QS. Al-Hajj : 18
Kemaksiatan juga dapat menghilangkan rasa malu. Sebab, malu adalah pangkal kebajikan. Jika rasa malu telah hilang, maka hilanglah seluruh amal kebaikannya. Kalau seseorang tidak memiliki rasa malu lagi, ia akan berbuat maksiat semaunya. Kemaksiatan akan menjadi akan menjadi adat dan kebiasaannya sehari-hari. Sehingga, ia tidak malu-malu bahkan bangga jika beebuat maksiat. Sebaliknya, jika ada orang lain yang membuka aibnya ia tidak akan marah, bahkan ‘cuek bebek’ karena ia memang mengerjakan perbuatan tersebut. orang yang selalu berbuat maksiat akan kekurangan kendali akal, bahkan kadang kala kehilangan akal. Ia akan keluar diluar nalar akalnya yang sehat seperti orang kebanyakan. Ia sangat senang dengan hal-hal yang bersifat kontrofersial, pertengkaran dan munculnya berbagai konflik. Dan sebaliknya, ia tidak bisa tidur ‘nyenyak’ manakala dan kenyamanan terwujud.
Keadaan seperti itu akan semakin parah lantaran budaya kemaksiatan bisa memalingkan keistiqomahan seseorang. Perrbuatan si pelaku maksiat tidak akan konsisten. Hari ini berkata ini, dan besok ia akan berkata lain. Sikap “plin plan” tersebut justru akan menjadi kebiasaanya karena ia menganggap hal itu sebagian dari kewajaran. Berbohong dan tidak jujur menghiasi hidupnya. Kalau saja sifat ini melekat kepada para penguasa, ia akan berbuat semena-mena, tidak malu mengumbar kejahatan dan kemaksiatan. Ia akan menjadi penguasa yang keras kepala, ‘ndablek’ dan mau menang sendiri. Hanya dia yang boleh mengkritik orang lain, sedangkan orang lain tidak boleh mengkritiknya. Ia ingin semua orang memujinya bahkan bila perlu memujanya sekalian. Ia tidak hanya ingin dicium tangan, tapi ingin disembah. Seorang tokoh Sang Maestro Da’wah Islam di Indonesia, Allahuyarham Mohammad Natsir dalam karya momumentalnya yang terkenal kitab Fiqhud Da’wah[3] pernah mengingatkan:
“Apabila seorang pemimpin sudah terpilih dan diangkat, maka merupakan satu keharusan bagi setiap seorang Muslim untuk membantunya dalam melakukan tugasnya supaya berhasil dan sukses. Dan bantuan itu meliputi “Nahyi Mungkar”, menyelamatkan pemimpin dari kesalahan, supaya Negara dan Bangsa ini terhindar dari malapetaka”.
Maka cara bangsa dan negeri ini selamat dari azab serta malapetaka adalah adanya kewajiban da’wah amar ma’ruf nahyi mungkar yang harus ditegakkan!.
Padahal, sebuah kejahatan yang dilakukan seseorang, bisa merugikan seluruh penduduk negeri. Yang mendapat azab dan malapetaka tidak hanya para pelaku maksiat, tapi juga mereka yang tinggal disekitar mereka. bahkan mahluk selain manusia pun turut menderita karenanya. Seorang ulama Tabi’in Imam Mujahid rahimahullah pernah berujar:
“Jika terjadi kemarau panjang dan paceklik,maka binatang-binatng melaknat para pelaku maksiat seraya berkata. ‘Ini gara-gara maksiat Bani Adam yang dikerjakannya”.
Nah, jika sebuah negeri yang terkenal dengan semboyan “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini telah dipimpin oleh penguasa yang gemar melakukan maksiat dan kejahatan, masihkah kita berharap rahmat dan berkah Allah akan turun dari langit? Bila penduduk di alam Nusantara ini bergelimang dalam dosa dan maksiat, bolehkah kita berharap kesulitan akan lenyap?. Jawabannya sebagaimana dijelaskan oleh Seorang Pujangga Sastrawan dan ‘Ulama asal Melayu, Buya Hamka Allahuyarham,saat menuliskan sya’irnya tahun 1950-an tentang sebuah kemajuan dan kehancuran bangsa[4]: Tegak rumah karena sendi, Runtuh sendi rumah binasa, Tegak bangsa karena budi, Rusak budi runtuhlah bangsa!.
- Ahmad Hassan, Tafsir Al-Furqan, Surabaya: Salim Nabhan, 1950.
- Abu Bakar ibn Huasain Al-Baihaqi, Manâqib al- Syafi’i, Kairo, Maktabah Dar al-Turats, Tt.
- Mohamamad Natsir, Fiqhud Da’wah: Jejak-jejak Risalah Da’wah, Jakarta: Media Da’wah, 1970.
- Pada tahun 2006, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) mengadakan sebuah acara pertemuan dan dialog para Du’at dan Ulama Da’wah Serantau dalam menyikapi berbagai tantagan dan cabaran yang dihadapi oleh dunia Islam di Melayu di Medan Sumatera Utara. Salah satu buku yang perlu dibaca dan dikaji secara dalam oleh para du’at adalah karya Allahuyarham Ustadz Hussein Umar dan Allahuyarham Ustadz Muzayyin Abdul Wahab, Perahu Sosial: Refleksi Tanggung Jawab Da’wah Untuk Dunia Melayu, Jakarta: DDII, 2006.