Jokowi di Mata Sekutu dan Seteru: Antara Maestro Politik dan Perusak Demokrasi
Presiden Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi adalah sosok yang berhasil mengukir jejak politiknya dengan cara yang tak terduga. Bagi para sekutunya, ia adalah maestro politik yang cerdik, seorang pemimpin yang mampu memadukan populisme dengan perlindungan politik yang kuat.
Namun, bagi para seterunya, terutama mereka yang pernah menjadi pendukung setianya tetapi sekarang berseberangan, Jokowi adalah sosok yang dianggap sebagai pengkhianat demokrasi. Dua wajah paradoks ini telah membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan demokrasi dan bernegara di Indonesia.
Jokowi di Mata Sekutu
Di mata para sekutunya, Jokowi adalah pemimpin yang tahu bagaimana memberikan perlindungan dan memastikan kelangsungan kekuasaan mereka. Tindakan populis semisal pembagian paket sembako, bantuan langsung tunai, model komunikasi rakyat dengan “blusukàn”, dan program sosial lainnya telah menjadikan Jokowi sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat kecil.
Langkah-langkah itu tidak hanya memperkuat dukungan rakyat terhadap dirinya tetapi juga memberikan legitimasi politik bagi sekutunya yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Pandangan ini didukung oleh berbagai Indonesianis asing yang melihat Jokowi sebagai pemimpin yang pragmatis.
Seorang Indonesianis terkemuka, Vedi R. Hadiz, menyebutkan, Jokowi berhasil mengombinasikan populisme dengan otoritarianisme yang halus, di mana ia mampu memberikan bantuan kepada rakyat kecil sembari menjaga kekuasaan dengan cara yang tidak terlalu mencolok. Menurut Hadiz, Jokowi juga pandai memanfaatkan struktur oligarki untuk memperkuat kekuasaannya, sehingga para sekutunya tetap merasa aman dan terlindungi dalam lingkaran kekuasaan.
Jokowi di Mata Seteru
Namun, citra Jokowi di mata para seterunya sangat berbeda. Partai besar yang dulu mendukungnya kini menganggap dia sebagai pengkhianat yang merusak tatanan demokrasi.
Tindakan Jokowi dalam mendudukkan anak dan menantunya sebagai kepala daerah bahkan telah berhasil menyiapkan jalan bagi putranya untuk posisi wakil presiden, dianggap sebagai langkah nepotisme yang mencederai semangat reformasi dan demokrasi di Indonesia.
Pandangan ini dikuatkan oleh Indonesianis semisal Eve Warburton, yang menyebut bahwa langkah-langkah Jokowi yang cenderung menguatkan kekuasaannya melalui jaringan keluarga dan lingkaran politik terdekatnya adalah bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. Warburton menekankan bahwa langkah ini tidak hanya memperlemah partai-partai politik yang seharusnya menjadi penopang demokrasi, tetapi juga memperkuat oligarki politik yang mengekang kebebasan politik di Indonesia.
Selain itu, tindakan Jokowi yang disebut sebagai “perusak demokrasi” semakin nyata ketika ia mulai menundukkan pemimpin partai-partai politik, menjadikan mereka seakan-akan bertekuk lutut di bawah kekuasaannya.
Pada pemilu dan pilkada, Jokowi berhasil mengatur konstelasi politik sedemikian rupa sehingga semua pihak, termasuk lawan politiknya, harus tunduk pada strategi yang ia susun. Ini merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh Jokowi dalam dinamika politik Indonesia. Bahkan di mata para oligarki yang sebelumnya sulit ditaklukkan oleh pemimpin lain.
Dampak Dua Wajah Paradoks Jokowi
Dua wajah paradoks Jokowi ini membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan demokrasi dan bernegara di Indonesia. Di satu sisi, kepiawaian Jokowi dalam mengendalikan politik dan memperkuat basis kekuasaannya melalui langkah-langkah populis telah memberikan stabilitas politik yang diinginkan oleh banyak pihak. Namun, di sisi lain, langkah-langkah ini juga memperlihatkan wajah lain dari demokrasi yang terkikis, di mana partai politik dan kekuatan oposisi semakin lemah, sementara kekuasaan terpusat pada satu sosok.
Penguatan oligarki politik di bawah Jokowi telah memunculkan kekhawatiran akan masa depan demokrasi di Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Marcus Mietzner, seorang ahli politik Indonesia, Jokowi mungkin saja berhasil memberikan stabilitas jangka pendek, tetapi hal ini dilakukan dengan mengorbankan mekanisme demokrasi yang sehat.
Mietzner menekankan bahwa model kepemimpinan seperti ini pada akhirnya dapat merusak institusi-institusi demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah pasca-reformasi. Di dalam konteks ini, Indonesia berada di persimpangan jalan antara menjaga stabilitas politik jangka pendek dengan mempertaruhkan masa depan demokrasi yang lebih inklusif dan berdaya saing.
Jokowi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah menjadi simbol dari pertarungan ini antara melindungi kekuasaan dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjadi pondasi bernegara.
Dua wajah paradoks Jokowi ini mencerminkan kompleksitas politik Indonesia di era kontemporer, di mana stabilitas politik dan demokrasi harus terus dipertaruhkan dalam dinamika kekuasaan yang sarat kepentingan.