Jurnalis Inggris Sebut Israel Terjebak dalam Perang di Semua Lini
Seorang Jurnalis Inggris bernama David Hirst mengatakan, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) telah berhasil memaksa Israel ke dalam perang regional di semua lini yang tidak akan mudah untuk diselesaikan. Ada banyak pertanyaan terkait perang tersebut.
“Salah satu pertanyaan terpenting tentang serangan Taufan Al-Aqsa yang dilancarkan Hamas pada tanggal 7 Oktober lalu – dan masih belum terjawab hingga hari ini – yaitu, apa strategi Hamas melakukan serangan terhadap Israel dengan cara seperti itu?” kata Hirst.
Beberapa orang menjawab pertanyaan ini – di periode pertama setelah serangan – dengan “Strategi Chaos”. Jawaban tersebut pada awalnya benar. Sebab, tujuan operasi Taufan Al-Aqsa tersebut terbatas pada menyerang sasaran militer Israel dan menyandera tokoh-tokoh penjajah yang bernilai tinggi. Namun menjadi tidak terkendali karena adanya kemunduran dalam tubuh Gaza.
Pun tidak terduga bagi Brigade Gaza-Israel, Hamas memperkirakan sebagian besar dari 1.400 anggota yang dikirimnya di hari itu akan terbunuh. Ternyata, sebagian besar kembali dalam keadaan hidup. Namun, seiring berlanjutnya perang selama berbulan-bulan kemudian, persentase mereka yang percaya “Strategi Chaos” perlahan-lahan menurun.
Awalnya Mereka Tidak Percaya
Hirst menyoroti fakta bahwa sekutu-sekutu Hamas tidak langsung mengikuti strateginya. Sekutu di Lebanon (Hizbullah), Irak, Suriah, Yaman, dan Iran tidak antusias menanggapi seruan komandan militer Brigade Al-Qassam, Muhammad Al-Deif, untuk bergabung dengan Hamas dalam melawan Israel.
Baca juga: Hubungan Amerika-Israel Merenggang
“Perang ini seratus persen merupakan keputusan dan implementasi dari Palestina,” ucap para pemimpin Hizbullah dan Pemimpin Revolusi Iran, Ali Khamenei.
Pada November 2023 lalu, Hirst mengatakan, tampak strategi Hamas dalam serangannya yang bertujuan – secara jelas – sebagai perang regional perlahan mulai gagal. Namun, ketika Israel lebih dulu melancarkan serangan terhadap Hizbullah, kelompok Lebanon balas merespons dengan serangan, dan terjadilah “baku hantam”. Disusul gerakan Houthi Yaman masuk ke garis depan dan melancarkan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah.
Titik baliknya terjadi pada bulan April 2024, ketika Israel menyerang kompleks kedutaan Iran di Damaskus. Akibatnya, Iran membalas dengan serangan mematikan yang menghantam pangkalan-pangkalan militer Israel.
"’Garis peringatan’ untuk perang regional telah dilewati, dan sejak saat itu perang ini hanya tinggal menunggu waktu saja,” ujar Hirst.
Siapa yang Merencanakan?
Setelah meyakini strategi Hamas berhasil, timbul pertanyaan: Apakah strategi itu benar-benar dirumuskan oleh gerakan tersebut? Jawabannya, benar.
Hal itu berdasarkan pernyataan pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, pada tahun 2022. “Hamas akan meningkatkan perlawanan melalui segala bentuk dan membuat penjajah Israel membayar tindakannya, hingga mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjadikan kemerdekaan rakyat kami dan pengembalian tanah air,” kata Yahya Sinwar.
Baca juga: Israel Krisis Tentara, Butuh 15 Batalyon Tambahan
Beberapa bulan kemudian, Sinwar memberikan pidato yang meramalkan secara akurat masa depan Gaza. Ia mengatakan, “Dalam beberapa bulan, kami akan menempatkan penjajah di hadapan salah satu dari dua opsi, baik kami memaksanya untuk menghormati resolusi internasional yaitu harus menarik diri dari Tepi Barat dan Yerusalem, atau menempatkan penjajah dalam keadaan yang bertentangan dengan seluruh internasional. Mengisolasi negara ini secara masif, dan mengakhiri integrasinya di kancah internasional.”
Keberhasilan Strategi Ini
Kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, kini Israel semakin terasing di kancah internasional. Diadili oleh dua pengadilan internasional tertinggi. Dua pendukung terdekatnya, Amerika dan Inggris, hanya bisa “gigit jari”. Berusaha melakukan perlawanan defensif, berupaya menghentikan eskalasi sanksi internasional.
Hirst juga menyatakan, adanya reformasi sebagian dari perselisihan sektarian antara Syiah dan Sunni terjadi setelah taufan Al-Aqsa berhasil membawa perubahan besar di kancah regional. Adalah fakta bahwa kebijakan Israel lebih leluasa atas pertikaian dua sektarian itu. Namun, kali ini Sunni-Syiah memiliki musuh yang sama, sehingga membuat Israel kewalahan. Inilah yang terjadi sekarang, dan mempunyai konsekuensi nyata.
Masyarakat Palestina di Gaza telah mengalami penderitaan yang luar biasa selama sembilan bulan terakhir. Rasa lapar lebih kejam daripada pengeboman tanpa pandang bulu. Biaya dari strategi ini tinggi. Namun, di bawah penjajahan yang semakin brutal dan memaksa sebanyak mungkin warga Palestina untuk pergi, Hamas telah menjadi perlawanan bersenjata yang menolak untuk menyerah. Mereka tidak melarikan diri ke pengasingan massal milik warga Palestina. Hal ini menyebabkan perubahan perhitungan yang telah dibuat Israel selama beberapa dekade, dalam upaya mengusir penduduk Palestina dan menguasai wilayah tersebut.
“Apa pun yang terjadi sekarang, strategi Hamas lebih efektif dari yang kita bayangkan sejak sembilan bulan silam. Kini, Israel menghadapi perang nyata di semua lini. Perang yang tidak akan mudah untuk dihentikan,” pungkas Hirst.
(Sumber: Middle East Eye)