Kabinet Zaken? Gemuk Tanpa Nasdem
Detik-detik jelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Sudah tak lagi diisi harap-harap cemas dan degup jantung kalangan yang merasa dekat dan memiliki link khusus dengan Prabowo atau pun Gibran, untuk ditelepon, lalu disuruh datang ke Kertanegara. Tahapan itu sudah selesai. Ada yang harapannya terkabul dipanggil ke Kertanegara, namun tak sedikit yang patah hati. Padahal sudah minta bantu endorse sana-sini.
Belum resmi dinobatkan sebagai menteri di kabinetnya Prabowo-Gibran, tetapi sejumlah nama yang dipanggil interview di Kertanegara, lanjut dipanggil ke Hambalang untuk pembekalan, telah cukup mengonfirmasi sosok-sosoknya. Hanya belum pasti saja apa nama pos kementeriannya.
Mengacu pada sejumlah nama yang diundang pembekalan di Hambalang, kabinet yang akan dibentuk ini sudah terlihat gemuk. Media nasional menyebut angka 59 orang yang hadir ke Hambalang.
Dari awal, Prabowo telah menyampaikan bahwa kabinetnya akan lebih besar dari susunan kabinet di era Presiden Joko Widodo. Kalangan kritikus telah banyak menyoroti keinginan Prabowo, umumnya mewanti-wanti bahwa kuantitas tak menjamin keberhasilan, apalagi jika jumlah banyak itu sekadar dilatari oleh politik akomodasi.
Prabowo Subianto telah merespon langsung kritik tersebut. Pertama, ia ingin membentuk pemerintahan persatuan nasional yang kuat, membutuhkan koalisi yang besar. Kedua, Indonesia adalah negara besar, sebesar benua Eropa yang dihuni oleh 27 negara berbeda. Di dalam alur logika ini, menjadi wajar jika untuk mengelola Indonesia diperlukan jumlah menteri yang banyak.
Beberapa waktu sebelumnya, Ahmad Muzani, sekretaris Partai Gerindra mengungkapkan kepada wartawan bahwa Prabowo ingin membentuk kabinet zaken (Zaken Cabinet), setelah pelantikan nanti. Kabinet zaken mengacu pada susunan kabinet yang diisi oleh kalangan ahli atau profesional, bukan sekadar representasi partai politik belaka.
Publik Was-was
Nah, melihat nama-nama yang beredar dan yang hadir dalam pembekalan, beberapa kalangan mulai was-was terhadap kesungguhan Prabowo Subianto untuk membentuk kabinet zaken. Rasa was-was ini muncul lantaran beberapa fakta berikut:
Pertama, dari nama-nama yang beredar itu publik tahu belaka, ada banyak calon menteri yang latar belakangnya partai politik, pengurus aktif partai politik. Bahkan beberapa di antaranya adalah ketua parpol yang memerkuat Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Kedua, masih berdasarkan nama-nama yang beredar dan hadir di Hambalang, setidaknya ada 16 orang menteri warisan dari kabinet era Presiden Joko Widodo. Sejumlah nama baru yang muncul pun masih cukup lekat dengan sosok Presiden Joko Widodo. Publik lantas bertanya-tanya, ini kabinet Prabowo tetapi kental beraroma Jokowi?
Ketiga, ada sejumlah nama calon menteri yang juga hadir dalam pembekalan tempo hari, ternyata terkait dengan kasus korupsi. Beberapa nama bahkan telah begitu terang terkait masalah korupsi. Padahal sebelumnya, Prabowo dalam forum Rapat Koordinasi Nasional Legislatif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, mewanti-wanti agar Parpol pendukungnya tidak mengutus menteri yang ditugaskan untuk mencari uang dari APBN. Seruan Prabowo ini jelas dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi di kabinetnya nanti.
Lalu bagaimana mengaitkan ini semua dengan sejumlah calon menteri yang telah ia panggil padahal yang bersangkutan diduga kuat terjerat kasus korupsi? Apakah komitmen Prabowo tentang kabinet zaken dan anti korupsi hanya omon-omon?
Akomodasi Cawe-cawe?
Beberapa kalangan menilai bahwa susunan kabinet yang telah beredar belum mencerminkan keinginan Prabowo. Pakar politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, bahkan menyebut, “Ini belum Prabowo sepenuhnya”.
Artinya, komposisi yang muncul memang hasil kompromi dengan beberapa pihak. Terutama dari atasan Prabowo saat ini, Presiden Jokowi. Kita tahu, sebelum nama-nama itu beredar luas, ada beberapa peristiwa yang tidak biasa yang melibatkan Prabowo Subianto.
Ada peristiwa makan bareng calon presiden terpilih yang berjilid-jilid. Ya, makan bareng antara Jokowi dan Prabowo. Makan bareng jilid pertama dilakukan tanggal 8 Oktober di Jakarta. Lebih dari dua jam makan bareng itu berlangsung. Tak mungkin sekadar omon-omon belaka. Pasti ada pengarahan dari sang presiden kepada suksesornya.
Hanya berdua dan lebih dari dua jam, tetapi tampaknya pertemuan itu belum dinilai tuntas oleh sang pengundang. Maka, sekali lagi digelar makan bareng. Kali ini di Solo. Prabowo yang masih berstatus sebagai Menhan kembali dipanggil atasannya. Kali ini, sang Presiden melibatkan anaknya yang sekaligus sebagai Wapres terpilih, Gibran Rakabuming Raka. Patut diduga, pertemuan ini mematangkan apa yang telah dibincangkan pada makan bareng sebelumnya.
Sejak pertemuan di Solo itu pula, urusan susunan kabinet menggelinding lancar. Ada pemanggilan dan pembekalan. Tudingan bahwa Jokowi ikut cawe-cawe kembali ramai dibincangkan orang. Nama-nama yang dekat dengan Jokowi, 16 orang menteri Jokowi, bahkan tim ekonomi Jokowi, yang masih kuat bertengger dalam kabinetnya Prabowo dijadikan sebagai beberapa indikatornya.
Saat memberi sambutan pada acara Kompas 100 CEO Forum di IKN, Jokowi menampik keras tudingan tersebut. Sebab, ia juga tak mau jika hak preogatifnya diintervensi. Di sisi lain, Gibran sebagai Wapres terpilih, justru mengakui ada peran Presiden Jokowi dalam penyusunan kabinet Prabowo.
“Namun perannya hanya sebatas memberi masukan, keputusan akhir tetap di tangan Presiden terpilih,” demikian ujar Gibran kepada awak media.
Menunggu Reshuffle?
Fakta lain yang juga menarik ditelisik adalah statement dadakan Partai Nasdem melalui sekretarisnya, Hermawi Taslim. Saat situasi lagi anget bahas calon menteri di kabinet Prabowo-Gibran, tiba-tiba Nasdem menyampaikan pesan kepada publik bahwa Nasdem tidak masuk dalam kabinet.
“Atas pertimbangan banyak hal, kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam kabinet,” begitulah penggalan pernyataan Hermawi Taslim. Tentu hal ini mengejutkan publik. Nasdem bersama PKS dan PDIP memang tidak mengusung Prabowo dalam Pilpres tempo hari. Tetapi Nasdem telah menyatakan sikapnya untuk mendukung Prabowo-Gibran dan gabung dalam KIM-Plus setelah Capres yang ia usung kalah.
Walau tak banyak, PKS dan PDIP dipastikan dapat jatah menteri. Mengapa Nasdem justru tak ingin berada dalam kabinet? Ada banyak spekulasi yang muncul. Pertama, Nasdem tidak puas dengan jatah yang diberikan. Kedua, Nasdem tidak mendapatkan kursi menteri yang ia kehendaki karena ada kekuatan lain yang lebih diprioritaskan untuk dapat kursi incaran Nasdem.
Wajar jika sikap Nasdem dinilai aneh; Tak mau di kabinet dan tak ingin disebut sebagai oposisi. Sikap yang tidak lumrah, mengingat Parpol adalah kendaraan yang sah untuk merebut kekuasaan. Pernyataan Saan Mustopa, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, terasa absurd saat mengatakan partainya tak ingin masuk kabinet karena didorong oleh sikap tahu diri. Sebab, mereka tak ikut mencalonkan Prabowo-Gibran. Benarkah Nasdem setulus itu?
Mungkinkah Nasdem menunggu reshuffle kabinet? Hanya Surya Paloh dan Prabowo yang tahu. Bisa jadi Nasdem sedang mengalah untuk menang.
Jika skenario itu memang ada, maka dugaan bahwa Prabowo sekadar mengakomodasi keinginan Jokowi mungkin ada benarnya. Ia hanya perlu memastikan alih kepemimpinan nasional berjalan mulus. Toh, akan ada evaluasi 100 hari kinerja kabinet. Di saat itu, posisi Prabowo telah semakin kokoh tanpa bayang-bayang pendahulunya. Ia makin leluasa menjadi dirinya.