Kabut Tebal dibalik Vonis Sambo
Ferdy Sambo cs telah dijatuhi hukuman atas pembunuhan Brigadir Joshua. Tinggal menunggu vonis selanjutnya kepada terdakwa kasus Obstruction Of Justice. Tapi kabut tebal masih menyelimuti seputar motif sesungguhnya dibalik kasus tersebut. Money laundering, judi online, narkoba dan human trafficking yang santer disebut tak mencuat dalam proses persidangan.
Akankah kasus yang menggemparkan publik ini berhenti sampai di Sambo?
Cluster pertama sidang panjang dan melelahkan kasus pembunuhan Brigadir Joshua tuntas sudah. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo dan 20 tahun penjara kepada sang isteri, Putri Chandrawati.
Sementara Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal divonis masing-masing 15 tahun dan 13 tahun penjara. Vonis hakim tersebut di atas tuntutan jaksa penuntut umum. Satu-satunya yang divonis jauh dibawah tuntutan jaksa adalah Bharada Richard Eliezer. Hakim menghukumnya 1,5 tahun penjara lantaran perannya sebagai justice collabolator.
Kini publik menunggu hasil persidangan kasus obstruction of justice yang melibatkan sejumlah perwira Polri. Akankah hakim memvonis para terdakwa di atas tuntutan jaksa seperti terdakwa Ferdy Sambo cs? Mari kita tunggu bersama.
Satu hal yang pasti, persidangan kasus Sambo cs dan Justice collabolator masih menyisakan kabut tebal seputar motif dibalik terjadinya pembunuhan tersebut.
Sejauh yang terungkap dalam persidangan, tragedi pembunuhan itu dilatari sakit hati Ferdy Sambo kepada Brigadir Joshua. Tentang mengapa dia sampai sakit hati, marah dan melakukan tindakan sekeji itu masih tetap gelap. Dalih Sambo ia marah dan sakit hati karena isterinya dilecehkan ditolak hakim.
Majelis hakim berpendapat pelecehan itu hanya ilusi Sambo, mengingat relasi kuasa Putri dengan Joshua adalah majikan-pembantu, atasan-bawahan. Anehnya, hakim tidak membantah tudingan jaksa penuntut umum bahwa ada hubungan tertentu antara Putri dengan Joshua.
Dengan kata lain, majelis hakim memutuskan vonis mati berdasarkan pada fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan, tanpa menelaah motif dibaliknya. Hal ini sontak memunculkan berbagai spekulasi di masyarakat, utamanya kalangan ahli hukum. Ada yang menilai keputusan hakim tersebut memberi celah bagi peradilan diatasnya untuk "mengoreksi" vonis mati tersebut.
Saat ini di tengah kemarahan rakyat dan desakan kuat masyarakat, menghukum Sambo dengan vonis mati dan Putri dengan 20 tahun penjara, dinilai setimpal dengan kebiadaban yang dilakukannya.
Masyarakat merasa lega dan kemarahanpun akan mereda, lalu dengan berjalannya waktu rakyat akan lupa. Saat itulah proses banding, kasasi atau mungkin PK Sambo akan berproses yang mengeliminir vonis mati sebelumnya.
Semuanya masih serba mungkin dalam kehidupan hukum kita saat ini, dekat dengan uang dan kekuasaan. Proses peradilan yang rumit, panjang, melelahkan dan mahal akan membuat hukum dan keadilan gampang diolah, oleh siapa yang berkuasa dan tajir. Mereka yang punya kuasa dan uang akan mudah "membeli" hukum dan keadilan.
Terlepas dari itu, kita risau persidangan Sambo Cs yang panjang, melelahkan dan menyedot nyaris seutuh energi bangsa, tak mampu menukik pada akar masalahnya. Hakim berhenti pada frasa "sakit hati", tanpa menggali lebih dalam penyebab Sambo sedemikian sakit hati. Sebagai jenderal bintang dua yang menjabat Kadiv Propam Polri, Sambo, yang kenyang di bidang reserse, pasti sangat mengerti hukum.
Maka, sulit dipercaya ia akan nekad bertindak di luar hukum, sebegitu biadab terhadap anak buahnya sendiri, jika tidak faktor penting dan mendasar yang melatarbelakanginya. Majelis hakim, dengan kewenangan besar ditangannya, seharusnya mampu menggali.
Apalagi pintu dan jendela yang menutupi sebagiannya sudah dibuka. Ungkapan Menko Polhukam Mahfud MD bahwa di Polri itu seakan ada Mabes dalam Mabes, serta viralnya diagram dan bagan alur judi online, memuat nama sejumlah jenderal polisi, seharusnya bisa ditelisik lebih dalam. Belum lagi fakta bahwa brigadir Joshua tinggal menunggu wisuda S1 hukum dan berniat hengkang dari kepolisian.
Ditambah fakta ditangkapnya Irjen (Pol) Tedy Minahasa oleh Polda Metro Jaya yang dituding terlibat jaringan narkoba. Padahal Tedy yang saat itu menjabat Kapolda Sumbar sudah dipromosikan jadi Kapolda Jatim dan tinggal menghitung hari untuk dilantik. Maka aroma persaingan dan balas dendam pun tercium amis.
Bagi awam, bisa saja semua peristiwa itu sekadar kebetulan belaka. Namun bagi hakim berpengalaman seperti majelis hakim yang mengadili Sambo Cs, fakta-fakta itu pasti menarik ditelusuri dan didalami. Apalagi desakan agar Polri melakukan reformasi total bergaung teramat keras. Bahkan ada yang secara ekstrim meminta Polri dibubarkan.
Jika kenyataannya tetap gelap, tentu ada tembok besar yang menghalangi. Majelis Hakim mencari jalan aman. Di satu sisi memenuhi aspirasi masyarakat dengan memvonis berat para terdakwa. Di sisi lain, membiarkan motif yang melatari kasus pembunuhan sadis itu tetap gelap berselimut kabut tebal.
Maka pesta para mafia yang selama ini mengangkangi hukum dan keadilan di negeri gemah ripah loh jinawi ini terus berlangsung. Saat majelis hakim mengetuk palunya boleh jadi para mafia sedang asyik nyeruput kopi dengan wajah sumringah. Bravo! teriaknya.