Kartel Politik dalam Pilkada Jakarta
Pilkada Jakarta, sebagai salah satu ajang politik paling bergengsi di Indonesia, kembali menjadi sorotan. Sebab, muncul fenomena yang mengindikasikan praktik politik kartel.
Di dalam konteks ini, politik kartel merujuk pada kolaborasi antar partai politik yang seharusnya bersaing, namun justru bersatu untuk mengamankan kekuasaan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Kuskridho Ambardi dalam bukunya, “Kartel Politik di Indonesia: Problem Demokrasi di Tingkat Lokal” yang diterbitkan pada tahun 2009. Kuskridho Ambardi adalah seorang akademisi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang studi magister serta doktoral di Ohio State University, Amerika Serikat.
Fenomena politik kartel ini tampak jelas dalam Pilkada Jakarta kali ini. Dukungan terhadap calon yang sebelumnya mendominasi survei, Anies Baswedan, tiba-tiba meredup akibat manuver politik yang melibatkan kekuatan besar.
Fenomena Politik Kartel Pilkada Jakarta
Pada awalnya, mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, menduduki peringkat tertinggi dalam survei elektabilitas Pilgub Jakarta. Dukungan awal yang kuat pun datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Nasional Demokrat (NasDem), dengan rencana untuk menggandeng Sohibul Iman Wiranu sebagai Calon Wakil Gubernur.
Namun, dinamika politik berubah drastis ketika Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang terdiri dari Partai Gerindra, PAN, Golkar, Demokrat, PSI, Garuda, dan Gelora, tiba-tiba menarik PKS, NasDem, dan PKB, ke dalam koalisi mereka. Hal itu memperbesar kekuatan mereka menjadi “KIM Plus” dengan tambahan lagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Perindo. Di dalam koalisi ini, Ridwan Kamil dari Golkar dipasangkan dengan Suswono dari PKS.
Informasi yang berkembang menyebutkan bahwa partai-partai pendukung Anies Baswedan sengaja “digembosi” oleh kekuatan besar agar tidak dapat mengusung Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta. Di dalam situasi ini, PDIP yang memiliki 15 kursi di DPRD Jakarta pun tidak dapat mengusung calon sendiri tanpa berkoalisi, sedangkan semua partai lain telah bergabung dalam “KIM Plus”.
Di dalam teorinya, Kuskridho Ambardi menyatakan bahwa politik kartel berfungsi untuk meredam kompetisi politik dan menjaga akses kekuasaan bagi partai-partai yang berkoalisi. Dengan demikian, langkah-langkah seperti ini secara efektif menghilangkan pilihan alternatif bagi pemilih dan mengurangi kualitas demokrasi.
Indonesianis semisal Marcus Mietzner juga pernah menyebutkan bahwa kartelisasi politik di Indonesia cenderung membatasi partisipasi politik dan mempersempit ruang demokrasi. Sebab, partai-partai lebih memilih berkolaborasi daripada bersaing secara sehat.
Dampak terhadap Demokrasi dan Solusi
Fenomena ini mengarah pada risiko terciptanya calon tunggal dalam Pilkada Jakarta, sesuatu yang tidak diinginkan dalam sistem demokrasi yang ideal. Untuk menghindari hal ini, sebuah solusi telah siap, yakni dengan lolosnya calon independen, Dharma Pongrekun, oleh KPUD. Hal ini menunjukkan, bahwa meski pun kartel politik berusaha mengonsolidasikan kekuasaan, masih ada upaya untuk menjaga semangat demokrasi melalui kehadiran calon independen.
Namun, implikasi jangka panjang dari praktik kartel politik seperti ini dapat merusak integritas demokrasi di Indonesia. Demokrasi menjadi semu ketika kompetisi politik yang sehat digantikan oleh kolusi elite partai. Untuk mengatasi masalah ini, reformasi dalam sistem pemilu dan penguatan peran partai politik sebagai perwakilan rakyat sejati sangat diperlukan.
Kuskridho Ambardi sendiri menekankan pentingnya mereformasi sistem politik untuk mendorong persaingan politik yang lebih sehat dan terbuka. Marcus Mietzner juga menambahkan bahwa memperkuat institusi-institusi demokrasi dan menciptakan regulasi yang lebih ketat terhadap pembentukan koalisi dapat menjadi langkah awal untuk mencegah terjadinya kartelisasi yang merusak demokrasi. Menurut dia, Indonesia harus belajar dari pengalaman negara-negara lain yang berhasil mencegah kartelisasi dengan memperkuat mekanisme checks and balances dalam sistem politik mereka, semisal Jerman, Amerika Serikat, Swedia, Australia, dan Kanada.
Sebagai contoh di Jerman. Mereka memiliki sistem politik yang sangat kuat dalam hal checks and balances. Negara ini menggunakan sistem parlementer dengan federalisme, di mana kekuasaan terbagi antara pemerintah federal dengan negara bagian.
Pengadilan Konstitusi Federal Jerman memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah monopoli politik oleh satu partai atau kelompok tertentu. Selain itu, undang-undang anti-kartel yang ketat di sektor ekonomi juga berfungsi untuk menjaga agar tidak ada partai atau kelompok yang mendominasi secara berlebihan.
Penutup
Pilkada Jakarta kali ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana politik kartel dapat beroperasi dan berpotensi merusak proses demokrasi. Manuver politik yang melibatkan kekuatan besar untuk mengamankan kekuasaan menunjukkan tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini.
Reformasi politik yang lebih dalam, seperti yang diusulkan oleh Kuskridho Ambardi dan didukung oleh para Indonesianis, menjadi sangat penting, untuk memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tetap sehat dan kompetitif. Hanya dengan demikian, harapan untuk sebuah demokrasi yang lebih kuat dan berintegritas dapat terwujud. Yaitu ketika partai-partai politik benar-benar berfungsi sebagai wadah aspirasi rakyat. Bukan sekadar alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh elite politik.