Kasus Brandoville dan Empat macam intimidasi di tempat kerja
Baru-baru ini sedang viral kasus atasan studio animasi Brandoville yang menghukum salah seorang karyawannya 45 kali naik tangga plus menampar diri sendiri. Menurut update terbaru, ada satu orang lagi yang diduga menjadi korban lain, yakni korban mengalami keguguran karena kelelahan. Sampai saat ini polisi masih memburu CL sang atasan.
Sebenarnya, kalau mau kita telusuri, kasus intimidasi di dunia kerja (industri) sangatlah banyak terjadi. Bahkan bisa jadi di tiap tempat kerja ada intimidasi. Intimidasi juga bertingkat-tingkat, dari yang masih rendah sampai ke tingkat membahayakan. Sayangnya, para karyawan yang merasa terintimidasi tidak akan berani melapor. Biasanya mereka takut kasusnya akan menjadi panjang, dan jika itu terjadi maka kalau pun mereka mendapatkan pembelaan, pasti perusahaan akan mendapat sanksi dan mereka kehilangan pekerjaan.
Setidaknya, penulis mendapati ada 4 jenis intimidasi di dunia kerja yang didapat oleh karyawan. Pertama, Intimidasi dari atasan. Kedua, Intimidasi dari sesama karyawan. Ketiga, Intimidasi dari customer. Keempat, Intimidasi dari pelatihan kerja. Berikut ini akan penulis bahas secara singkat beserta fakta-faktanya.
Intimidasi dari Atasan
Yang satu ini sudah bukan rahasia lagi. Bahkan, ini seperti menjadi lumrah di perusahaan, yakni karyawan siap menghadapi tekanan dari atasan, meski pun tidak semua perusahaan memberikan tekanan yang berlebihan atau intimidasi kepada karyawannya.
Intimidasi dalam hal ini biasanya berbentuk bentakan, makian, punishment berlebihan, pelecehan, bahkan bisa berupa pelecehan seksual. Dan tingkatnya pun bervariasi. Ada yang rendah, ada yang sampai tingkatan di mana karyawan merasa tidak nyaman karena atasannya toxic. Salah satu contohnya yaitu yang sudah disebutkan tadi, yakni kasus atasan di Studio Brandoville.
Intimidasi dari Sesama Karyawan
Intimidasi juga kadang didapatkan dari sesama karyawan. Bahkan bisa jadi lebih banyak, karena sesama karyawan biasanya lebih banyak berinteraksi. Teman kerja yang toxic menjadi hal yang seolah biasa di dunia kerja. Tingkatannya pun ada yang rendah hingga ada yang sampai menjadi kasus besar.
Salah satunya adalah kasus karyawan KPI tahun 2021 silam yang viral karena mengaku di-bully dan diintimidasi oleh rekan-rekan kerjanya. Ia mengaku sudah lama diperlakukan semena-mena, bahkan sampai dicoret-coret alat kelaminnya memakai spidol. Bertahun-tahun ia mengalami stress sampai ia mengalami Hipersekresi cairan lambung akibat stres dan trauma. Bahkan ia sampai periksa kondisi kejiwaan ke Psikiater.
Intimidasi dari Customer
Baru-baru ini juga viral sebuah kasus di Tiktok. Ada karyawati SPBU yang diviralkan karena membentak-bentak seorang customer cewek yang menyerobot antrian. Singkat cerita, karyawati SPBU itu disuruh memberi rekaman klarifikasi. Spontan netizen justru memberikan dukungan kepada karyawati SPBU dan customer cewek itu pun langsung dirujak oleh netizen.
Dan itu bukan satu-satunya kasus Intimidasi dari customer. Sudah diketahui secara umum, khususnya mereka yang bekerja di bagian customer service, operator atau kasir, bahwa dalam pekerjaan, mereka kerap kali mendapatkan intimidasi, bahkan ancaman dari customer.
Intimidasi dari Training Karyawan
Untuk yang ini, masih terbilang langka. Atau mungkin tidak kelihatan. Tetapi ini tak kalah mengkhawatirkan dibandingkan 3 contoh di atas.
Training karyawan, lumrahnya dilakukan untuk menaikkan produktivitas atau peningkatan penjualan sebuah perusahaan. Biasanya dilakukan di tempat yang nyaman, dan di sana karyawan dimotivasi agar semangat serta mengerjakan tugas pelatihan yang mendukung kegiatan produktif di bidang pekerjaan di masing-masing divisi.
Akan tetapi, baru-baru ini muncul metode pelatihan karyawan dan guru ala-ala ospek atau plonco zaman dahulu, di mana peserta diteriaki, dimaki, disalah-salahkan, diberi tugas yang memusingkan, dikasih hukuman berupa push up, hingga tempaan fisik seperti merangkak di tanah yang basah dan lain-lain. Tak sampai disitu. Setelah pelatihan selesai, peserta masih tetap diwajibkan untuk mengerjakan tugas-tugas tiap hari yang dikirim via WhatsApp.
Model pelatihan ini memang tidak umum, mungkin hanya 1-2 saja, akan tetapi ini nyata terjadi. Contohnya yang dialami seorang guru di Bogor yang tidak bisa kami sebutkan namanya. Ia berkata tentang pelatihannya.
“Pelatihannya minimal 3 hari dan itu sangat melelahkan. Tidak diberi arahan tetapi dicaci maki, disalah-salahkan, dan setelah pelatihan selesai, masih ada tugas-tugas harian yang harus dikerjakan di rumah dengan deadline. Saya di awal-awal sampai ribut sama suami karena disibukkan oleh tugas-tugas seperti itu,” tuturnya.
Karyawan Mengadu ke Mana?
Negara, dalam hal ini Disnaker, seharusnya menyediakan tempat bagi karyawan untuk mengadu. Dan idealnya, aduan dari karyawan hendaknya bersifat rahasia. Selain untuk melindungi karyawan, juga agar Disnaker bisa melakukan sidak (inspeksi mendadak, red) terkait pelanggaran yang dilakukan perusahaan.
Kemnaker sebenarnya punya aplikasi untuk pengaduan karyawan. Namanya aplikasi “SIAPkerja”. Aplikasi ini bisa diunduh di Playstore. Penulis coba mengetes aplikasi ini. Penulis coba untuk mengklik tombol “pengaduan”. Dan di situ diharuskan login terlebih dahulu. Sayangnya, menurut saya login-nya susah.
Saya diharuskan masuk dengan nomor KTP dan verifikasi dengan nama ibu kandung. Tetapi ketika saya memasukkan nama ibu kandung, selalu gagal. Padahal sudah saya cocokkan dengan KK. Terakhir, saya lihat Aplikasi ini mendapat rating 2,9 di Playstore.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Kita harus bisa melindungi pekerja, karena mereka bukan hanya bekerja untuk menghidupi keluarga, tetapi juga menggerakkan ekonomi bangsa. Lindungi pekerja, dimulai dari mendengarkan keluhannya.
Wallahu a'lam bishawab.