Kata Mantan Ketua KPK, Jika Praktik Nepotisme Dibiarkan, Jangankan Jadi Presiden, Jadi Camat atau Bupati pun Tak Bisa
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, menyoroti soal kolusi dan nepotisme. Kata dia, praktik nepotisme dan kolusi itu berbeda sedikit-sedikit saja. Perbedaan yang tipis itu kembali terlihat ketika kita menyoroti persoalan di seputar Pemilu 2024 yang kini kasusnya sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dijadwalkan putusannya akan dibacakan pada Senin, 22 April 2024.
“Kalau misalnya kita membiarkan peristiwa yang terjadi sekarang ini kemudian nanti dijustifikasi oleh keputusan Mahkamah Konstitusi, saya tidak bisa membayangkan bahwa kelak akan terjadi peristiwa-peristiwa nepotisme yang dilegalkan mulai dari tingkat bawah sampai ke tingkat yang paling tinggi. Saya tidak bisa membayangkan, berjuta-juta anak muda di Indonesia yang datang dari pelosok daerah, yang mungkin jauh lebih pintar daripada Gibran, jauh lebih punya integritas daripada Gibran, tetapi tidak bisa berharap jadi pemimpin,” ujarnya.
Hal itu ia katakan Ketika tampil sebagai salah satu pembicara dalam Diskusi Publik bertajuk ““Akankah Putusan MK Memenuhi Rasa Keadilan?” di Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2024). Acara yang berlangsung pukul 19.10 sampai 21.40 WIB itu dihadiri para mahasiswa dan Ketua-Ketua BEM seluruh Indonesia yang terwakili.
“Semuanya ini kayak obrolan di warung-warung kopi tahun 1918-an, ya. Dia beranjak dari pojok-pojok warung kopi. Tujuannya itu membangkitkan kesadaran masyarakat Perancis pada saat itu yang sedang terlena. Dibangunkan, supaya mereka tertantang. Oleh karena itulah, menurut saya, yang perlu sebenarnya kita sikapi adalah bagaimana kita menyatukan kesadaran kita kembali, agar supaya kita bisa menyikapi. Apa yang akan kita sikapi? Pertama, kalau ternyata putusan majelis hakim MK itu sesuai dengan ekspektasi kita, itu berarti tidak ada masalah. No problem,” katanya.
Abraham melanjutkan, tetapi yang menjadi masalah adalah kalau ternyata di tanggal 22 April 2024, majelis hakim di MK itu menghasilkan putusan yang tidak seperti yang kita harapkan. Jika hal itu yang terjadi, bagaimana selanjutnya? Membiarkan terjadinya kecurangan dan persoalannya tidak bisa dibongkar, tentu akan semakin menjadi problem.
Baca juga: Diskusi Publik Jelang Pembacaan Putusan MK, Akankah Putusan Itu Memenuhi Rasa Keadilan?
“Kalau itu terjadi, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita berdiam diri? Itu tidak mungkin. Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan diri untuk melakukan langkah-langkah yang lebih komprehensif, langkah-langkah yang lebih optimal, dan langkah-langkah yang tetap berjalan di koridor hukum untuk melakukan sesuatu,” ucapnya.
Menurut Abraham, ia teringat peristiwa di tahun 1998. Pada saat itu, menurut dia, situasinya agak mirip seperti yang kini terjadi dan telah disampaikan.
“Ada tiga hal yang kita koreksi pada saat itu. Yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan ketiga hal yang kita koreksi pada tahun 1998 itu, kembali dilanggar sekarang. Korupsinya merajalela. Kenapa saya katakan merajalela? Dibiarkan. Apa indikasinya dibiarkan? Ketika pemerintah mencoba merevisi Undang-Undang KPK dan kemudian memasukkan para komisioner yang tidak punya integritas, itu berarti KPK sedang ingin mengembalikan perilaku-perilaku atau melanggengkan yang namanya peristiwa-peristiwa atau tindakan-tindakan korupsi supaya bisa dijalankan secara masif. Makanya, caranya dengan merevisi Undang-Undang,” tuturnya.
Kemudian Abraham menyoal tentang praktik nepotisme. Kata dia, jika kita membiarkan peristiwa yang terjadi sekarang ini kemudian nanti dijustifikasi oleh keputusan Mahkamah Konstitusi, kelak akan terjadi peristiwa-peristiwa nepotisme yang dilegalkan mulai dari tingkat bawah sampai ke tingkat yang paling tinggi.
“Jangan pernah berharap Anda bisa menjadi pemimpin. Jangankan jadi presiden. Mungkin jadi camat, atau jadi bupati di kampung Anda sendiri pun, Anda tidak akan bisa. Kalau kita naik sebagai anak dari orang yang biasa, tidak punya jaringan yang kuat, dan bukan anak siapa-siapa, maka kita tidak akan mungkin menjadi seorang pemimpin. Itu kalau praktik-praktik nepotisme ini kita biarkan,” tegasnya.
Oleh karena itulah, sebut Abraham, sebenarnya ia ingin kembali menyadarkan kita semua bahwa praktik nepotisme itu sangat berbahaya. Sebab, ini adalah cikal bakal perilaku yang lainnya.
“Oleh karena itu, kita harus lawan! Kita tidak bisa berdiam diri! Oleh karena itulah, menurut saya, yang kita harus sikapi, kalau misalnya tanggal 22 April ini putusan MK tidak sesuai dengan ekspektasi kita, maka kita harus mempersiapkan langkah-langkah yang lebih konkret,” pesannya.
Baca juga: Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia Sebut Tiga Cara Manipulasi Suara Pemilih
Ketua KPK periode 2011–2015 itu lantas mengatakan, ia mencoba bermimpi. Sebab, lewat mimpi itu mungkin ia bisa berkhayal. Dan dari khayalan itulah ia bisa melakukan langkah-langkah yang lebih konkret.
“Oleh karena itulah, malam ini saya mencoba mengajak, rekan-rekan wasiswa, untuk membangun mimpinya. Agar ketika dia membangun mimpinya, maka dia bisa melahirkan sebuah inspirasi untuk melakukan kerja-kerja yang konkret. Apakah Anda mau membiarkan negeri ini seperti ini? Dirampok, Ditelikung di tikungan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab? Kan kita nggak mau. Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan langkah-langkah yang lebih konkret,” katanya.
Pria kelahiran 27 November 1966 itu lantas mengutip kata beberapa aktivis, bahwa kalau semua upaya mereka mentok, jalan satu-satunya adalah revolusi. Tetapi, ia mengatakan, ketika kita menggunakan terminologi revolusi ataupun reformasi, jangan selalu membayangkan bahwa itu adalah revolusi atau reformasi yang berdarah-darah.
“Tidak. Reformasi itu adalah melakukan sebuah perubahan. Tetapi, sekali lagi, saya ingin ingatkan, kalau memang nanti kita akan memilih jalan reformasi, maka jangan kita mengulangi Reformasi ’98! Kenapa saya bilang kita jangan begitu? Karena reformasi yang tahun ‘98 kita lakukan itu bukan reformasi. Itu reparasi. Tambal sulam. Kita tidak menuntaskan reformasi itu. Sehingga lahirlah persekitaran seperti sekarang ini,” katanya.
Menurut pengacara yang menyelesaikan pendidikan sarjana (S1), magister (S2), dan doktoral (S3) di bidang hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu, kalau tahun 1998 kita menyelesaikan reformasi secara tuntas, maka kondisinya tidak akan seperti sekarang ini. “Tetapi memang pada saat itu kita hanya menambal sulam. Undang-Undangnya, sistem kenegaraannya, juga kita tambal sulam, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Baca juga: Titi Anggraini (Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia): “Sejak Awal, Pemilu 2024 Sudah Menghadapi Tantangan”
Berpijak dari pengalaman itu, kata Abraham, kalau nanti pada akhirnya kita memilih reformasi, maka kita harus membuat sebuah roadmap yang jelas. Sehingga, reformasi yang nanti kita hasilkan itu adalah reformasi yang betul-betul menghasilkan sebuah perubahan yang fundamental, kokoh, dan menjadi sebuah kesatuan sistem.
“Sebab, kalau dia menjadi sebuah kesatuan sistem, maka sistem inilah yang akan berjalan dengan baik ke depan,” pesannya.