Kemajuan dan Keunggulan Negara-Negara Muslim Modern di Dunia
Dalam era globalisasi saat ini, sejumlah negara dengan mayoritas penduduk Muslim telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam bidang ekonomi, teknologi, dan sosial. Negara-negara tersebut tidak hanya mencatatkan diri sebagai tempat tujuan wisata dan investasi asing, tetapi juga dikenal memiliki indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) dan produk domestik bruto (Gross Domestic Product/GDP) yang tinggi.
Definisi negara maju menurut para pakar global seperti Jeffrey Sachs (2023), seorang ekonom terkemuka, adalah negara yang mampu menyediakan kualitas hidup yang tinggi bagi warganya dengan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Negara-negara yang berada dalam kategori ini juga memiliki kebijakan yang terbuka terhadap investasi asing dan menjadi tujuan wisata global, yang mendukung pertumbuhan ekonomi mereka secara signifikan.
Beberapa negara Muslim yang dapat dikategorikan sebagai negara maju berdasarkan HDI dan GDP adalah Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, dan Arab Saudi.
UEA, misalnya, dikenal sebagai salah satu pusat keuangan dan bisnis dunia yang menarik investasi besar dari luar negeri. Pandangan yang serupa diungkapkan oleh Dr. Yasemin Altun (2023), seorang ahli ekonomi dari Harvard University, yang dalam penelitiannya tentang negara-negara Teluk menyatakan bahwa “Negara-negara Teluk telah memanfaatkan sumber daya alam mereka untuk mendorong diversifikasi ekonomi, yang menjadikan mereka pemain penting dalam perekonomian global.”
Qatar, dengan cadangan gas alamnya yang melimpah, telah memanfaatkan kekayaannya untuk membangun infrastruktur modern dan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, meningkatkan profilnya di kancah internasional.
Sementara itu, Arab Saudi telah mengimplementasikan Visi 2030 yang ambisius untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dan diversifikasi ekonominya. Ini termasuk pengembangan sektor pariwisata dan teknologi, serta peningkatan investasi asing.
Perbedaan utama antara negara-negara muslim ini dengan negara-negara sekuler yang memiliki pencapaian ekonomi yang serupa terletak pada orientasi kebijakan dan nilai-nilai sosial yang dianut. Contohnya, Singapura, meskipun secara geografis dekat dengan negara-negara Teluk, memiliki pendekatan yang lebih sekuler dalam kebijakan publik dan tata kelola negara.
Menurut Francis Fukuyama (2023), dalam bukunya Political Order and Political Decay, Singapura menerapkan pemerintahan yang sangat pragmatis dan mengedepankan meritokrasi tanpa keterikatan nilai-nilai agama. Di sisi lain, negara-negara Muslim seperti Arab Saudi tetap menjadikan Islam sebagai bagian integral dari identitas nasional, meskipun mengadopsi praktik ekonomi modern yang mirip dengan Singapura.
Kelebihan dari negara-negara Muslim ini dibandingkan dengan negara-negara sekuler terletak pada keseimbangan yang mereka capai antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian nilai-nilai budaya dan agama.
UEA, misalnya, mampu menjaga identitas Islamnya sekaligus menjadi salah satu pusat bisnis dan pariwisata dunia. Qatar, dengan diplomasi soft power-nya, berhasil mengukuhkan posisinya di dunia internasional tanpa harus mengesampingkan tradisi Islam.
Di sisi lain, negara-negara sekuler seperti Jerman, Swedia, dan Kanada, meskipun unggul dalam hal inovasi teknologi dan kebijakan sosial, cenderung kehilangan dimensi spiritual yang sering menjadi sumber inspirasi dan kekuatan sosial di negara-negara Muslim.
Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Tariq Ramadan (2023) dalam bukunya Islam and the Arab Awakening, “Negara-negara Muslim yang maju memiliki keunikan dalam memadukan nilai-nilai tradisional dengan modernitas, menjadikannya memiliki daya tarik yang berbeda dibandingkan negara-negara Barat yang sepenuhnya sekuler.”
Pada akhirnya, keunggulan komparatif yang dimiliki oleh negara-negara Muslim seperti UEA, Qatar, dan Arab Saudi menunjukkan bahwa mereka mampu bersaing di panggung global, tidak hanya dalam hal ekonomi tetapi juga dalam pelestarian nilai-nilai budaya dan agama.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar untuk mengadopsi pendekatan yang serupa. Menurut Prof. Amartya Sen (2023) dalam Development as Freedom, Indonesia dapat belajar dari negara-negara Muslim yang sukses tersebut dalam mengelola keberagaman dan kekayaan alam untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tanpa meninggalkan identitas nasionalnya yang kuat.
Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi contoh lain dari negara Muslim yang mampu menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan pelestarian nilai-nilai spiritual dan budaya, memberikan kontribusi positif pada perdamaian dan stabilitas global.