Kematian yang Menghidupkan: Sebuah Konsep Daur Ulang dalam Kearifan Alam
"Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)." (QS Ar Rum: 19)
Kematian dan kehidupan secara kasat mata adalah perpaduan dua gagasan yang tampak berlawanan. Kematian dan kehidupan, dalam satu kesatuan. Di dalam konteks alam, kematian bukanlah akhir, melainkan bagian dari siklus kehidupan. Semua makhluk hidup - baik tumbuhan, hewan, maupun manusia - pada akhirnya akan mati, dan dari kematian itu muncul kehidupan baru.
Daun yang gugur akan membusuk dan menjadi humus yang menyuburkan tanah. Bangkai hewan akan menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme dan unsur hara bagi tanaman. Pohon yang tumbang membuka ruang bagi tumbuhan muda untuk tumbuh di hutan. Dengan demikian, kematian memiliki fungsi regeneratif. Ia adalah proses transformasi energi dan materi yang memastikan keberlanjutan kehidupan di bumi.
Konsep daur hidup (life cycle) adalah prinsip dasar ekologi. Semua hal bergerak dalam lingkaran yang saling terkait. Di dalam banyak kebudayaan Nusantara, kearifan lokal telah lama mengenal dan menghormati prinsip ini. Di dalam kearifan Suku Dayak, mereka mengenal sistem ladang berpindah. Bukan untuk merusak, melainkan memberi waktu bagi tanah untuk "beristirahat" dan "hidup kembali".
Semua ini, kematian (pelapukan, penebangan, pembakaran terbatas) tidak dilihat sebagai penghancuran, tetapi sebagai fase alamiah menuju pembaruan. Kematian yang menghidupkan dapat dimaknai sebagai kesadaran ekologis sekaligus spiritual.
Secara ekologis, manusia perlu belajar dari alam bahwa tidak ada yang benar-benar berakhir. Yang mati memberi kehidupan kepada yang lain. Secara spiritual, manusia diajak untuk menerima kefanaan, memahami bahwa setiap akhir mengandung potensi awal yang baru. Ini menumbuhkan sikap tawadhu terhadap alam. Tidak serakah, tidak mendominasi, melainkan ikut menjaga keseimbangan daur hidup.
Di dalam dunia modern yang cenderung eksploitatif, kearifan ini menjadi pengingat penting. Limbah, sisa, sampah, dan hal yang dianggap sebagai "kematian" bisa dikelola menjadi sumber kehidupan, semisal melalui daur ulang kompos dan energi biomassa.
Dunia modern dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya lebih memberikan kontribusi terhadap bagaimana proses daur hidup menjadi lebih mendapatkan efisiensi dan efektivitasnya. Semisal kompos yang tadinya dibuat dalam tiga bulan, saat ini bisa dibuat dalam waktu tiga hari saja.
Tetapi kabar yang kita temukan di negeri tercinta ini justru kebalikan. Yang mendominasi di Indonesia justru kabar tentang perusakan demi perusakan alam. Banyak pelanggaran terhadap kelestarian alam di Indonesia, bukan hanya karena rakyat kecil tetapi sering melibatkan korporasi besar dan kelalaian pengawasan pemerintah.
Kuncinya adalah penegakan hukum yang adil, transparansi izin lingkungan, serta penguatan peran masyarakat lokal dan adat dalam menjaga alam. Aktivis lingkungan, NGO, kelompok masyarakat, dan lain-lain terus bersuara, baik dalam tulisan, investigasi, maupun dengan mendatangi kantor pemerintah, tetapi belum juga mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Bahkan sering mereka mendapatkan ancaman-ancaman yang bertujuan membungkam. Lalu bagaimana kita bisa mendidik generasi penerus kita untuk menjaga ekosistem alam ini?
Kematian spesies atau kerusakan ekosistem adalah alarm bahwa rantai kehidupan sedang terganggu. Kita perlu mengembalikan pandangan bahwa keberlanjutan hidup hanya mungkin terjadi jika kita menghormati siklus alami kematian dan kelahiran.
Maka, kematian yang menghidupkan adalah cermin dari kebijaksanaan alam. Bahwa setiap akhir mengandung benih kehidupan baru.
Di dalam memahami dan meneladani daur hidup, manusia belajar menjaga keseimbangan, kesadaran, dan keberlanjutan. Di dalam semangat spiritual, Islam juga mengajarkan bahwa ketika ada kematian seorang manusia, maka sesungguhmya manusia itu sedang memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan akhirat, dalam kekekalan yang nyata.