Kepala Sekolah Pemikiran Islam Soroti Pandangan Siti Musdah Mulia

Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Dr. Akmal Sjafril, melalui artikelnya pada Rabu (6/11/2024), menyoroti pemikiran Siti Musdah Mulia. Nama Siti Musdah Mulia pasti sudah tidak asing lagi di kalangan para pemerhati Islam liberal. Tokoh yang namanya identik dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) itu dikenal kerap kali melontarkan pandangan-pandangan kontroversial. Misalnya, dalam sebuah wawancara di Jurnal Perempuan, Musdah Mulia menyatakan bahwa Allah hanya menilai orang dari ketaqwaannya, bukan orientasi seksualnya.

Belum lama ini Musdah Mulia kembali menjadi pembicaraan. Hal itu terjadi sejak Musdah tampil dalam Podcast Cauldron Content yang dipandu oleh Andini Effendi. Isi perbincangan Musdah dalam podcast kali ini pun mengundang perhatian Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Dr. Akmal Sjafril. Melalui artikel “Permisi, Sudah Boleh Mengkafirkan?” yang dimuat di laman pribadinya malakmalakmal.com pada Rabu (6/11/2024), Akmal menunjukkan kejanggalan besar dalam pemikiran Musdah yang dikemukakan dalam podcast tersebut.

Hal unik dalam podcast tersebut antara lain terlihat ketika Musdah membahas tentang pernikahan beda agama. “Biasanya, kalangan liberalis akan ‘merenggangkan batas’ pernikahan sehingga menemukan pembenaran seluas-luasnya bagi seorang Muslim untuk menikahi orang kafir. Akan tetapi, kali ini Musdah justru mengambil jalan sebaliknya, yaitu dengan mengatakan bahwa seorang Muslim pun bisa jadi kafir,” tulis Akmal dalam artikelnya.

Asosiasi Lembaga Mualaf Indonesia Terbentuk, Diketuai Fadzlan Garamatan
Berdasarkan hasil musyawarah peserta Jambore Lembaga Mualaf Indonesia, Ahad (3/11/2024), Ustadz Abu Deedat Syihab ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengawas ALAMI dan Ustadz Fadzlan Garamatan sebagai Ketua Dewan Pengurus ALAMI.

Menurut Akmal, Musdah telah menggunakan metode yang sangat berbahaya dalam memaknai kekafiran, yaitu dengan mengembalikannya kepada makna dasarnya, yaitu “menutupi”. Ketika seorang koruptor menutupi kebenaran, misalnya, maka mereka dianggap layak untuk dikafirkan. Menurut Akmal, pernyataan Musdah Mulia ini sangat berbahaya, karena justru membuka kemungkinan untuk menafsirkan konsep kekafiran seluas-luasnya secara tidak bertanggung jawab.

Jika Musdah konsisten dengan metodenya ini, maka tentu bukan koruptor saja yang kafir, melainkan juga para pencuri, begal, anak-anak yang membohongi orang tuanya, semua orang yang berselingkuh, bahkan juga para selebriti yang berlagak mesra dengan pasangan di media sosial untuk menutupi kondisi rumah tangganya yang berada di ujung tanduk. Musdah tidak membedakan kebohongan biasa yang masuk dalam kategori dosa kecil dengan kesaksian palsu yang termasuk dosa besar. Semuanya (dianggap) kafir!” lanjut aktivis #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) itu.

Apa yang terjadi saat ini, menurut Akmal, adalah bukti rapuhnya landasan pemikiran kalangan liberalis. “Jika sebelumnya mereka mengagung-agungkan pluralisme atau membenarkan semua agama, maka kini mereka malah terjebak dalam tindakan mengkafirkan orang. Label 'liberalis takfiri' tampaknya cocok untuk yang seperti Bu Musdah ini,” pungkasnya.

(SPI Media Center)