Kepemimpinan yang Berkah
Ada kemenangan yang mendatangkan keberkahan, tetapi ada juga yang mendatangkan musibah. Maka, Umat Islam tidak hanya berpikir semata-mata untuk menang, sebagaimana yang ditawarkan Niccolo Machiavelli (1469-1527), atau sebagaimana yang dikejar kelompok pragmatisme.
Begitu pula masalah kepemimpinan. Ada yang mendatangkan keberkahan, sebagaimana Nabi Yusuf AS, Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS, dan sebagainya. Kepemimpinan mereka tidak hanya untuk kepentingan diri dan keluarganya, tetapi juga bagi kebaikan bangsa dan negaranya.
Di sisi lain bahwa ada juga kalanya kepemimpinan itu mendatangkan musibah, sebagaimana Raja Fir'aun, Raja Namrud, dan sebagainya. Kekuasaan yang mereka miliki tidak hanya mendatangkan kemudharatan untuk diri dan keluarganya, tetapi juga kemudharatan untuk bangsa dan negaranya.
Oleh karena itu, dalam konteks Pemilu/Pilpres 2024, umat Islam harus menang dan mendapatkan pemimpin yang mendatangkan keberkahan bagi bangsa dan negara. Nah, untuk mendapatkan pemimpin yang berkah itu dibutuhkan kesiapan elit dan kesiapan umat.
Memang tidak mudah menghadapi kondisi sekarang yang serba sangat pragmatisme. Kondisi pragmatis merupakan konsekuensi dari hegemoni oligarki. Kondisi elit umat Islam yang bercerai berai dengan berbagai modus. Ada yang karena tersandera hukum. Ada sebagian yang tidak siap dengan gemerlap dunia/disorientasi. Ada sebagian elit umat Islam yang rapuh ideologi dan integritasnya.
Baca juga: Indonesia di Bawah Bayangan Tiga Capres
Kondisi sebagian umat Islam adalah dalam kebodohan dan kemiskinan. Jumlah mereka kelihatan besar, namun seperti buih dan mudah terombang-ambing oleh arus. Hal itu sebagaimana yang diilustrasikan oleh Rasulullah ﷺ.
Itulah umat yang terjangkiti penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Mereka tidak kunjung bangkit, karena kebodohan dan kemiskinannya sengaja dipelihara oleh sekelompok orang untuk kepentingan politiknya.
Maka, jadikan pemilu/pilpres 2024 sebagai momentum konsolidasi, baik elit maupun umat Islam, untuk kebaikan bangsa dan negara Indonesia. Ada bentuk-bentuk konsolidasi elit umat Islam. Satu, membangun basis spiritual. Dua, membangun basis intelektual dan pemikiran. Tiga, membangun basis profesionalisme. Empat, membangun basis dan jaringan sosial-kultural.
Juga ada bentuk-bentuk konsolidasi umat Islam. Secara umum adalah kesiapan umat untuk menerima dan mengikuti perubahan. Berusaha mengatasi kemiskinan dan kebodohan umat.
Ada beberapa cara. Antara lain, pertama, melakukan berbagai advokasi atau ikut membantu persoalan-persoalan riil umat. Kedua, melakukan berbagai penyuluhan dan menyadarkan umat tentang bahaya kemiskinan dan kebodohan. Ketiga, melakukan pelatihan-pelatihan untuk menumbuhkan motivasi dan keterampilan umat. Keempat, pemberdayaan ekonomi umat.