Kesempurnaan Islam

Serpihan pasir gurun Arabia tak mampu menyamarkan air muka laki-laki itu. Gurat-gurat kesedihan jelas tergambar di wajah putih yang tampak jernih bersinar itu. Wajah itu mencerminkan hatinya yang diliputi rasa tanggung jawab untuk segera bertindak. Berbuat sesuatu.

Di hadapannya, terkapar tiga tubuh anak Adam. Merintih, menahan sakit, sembari berdesis "Allahu Akbar". Bekas-bekas siksaan dan dera cambuk tercetak jelas pada tubuh-tubuh lemah mereka. Wajah El Maut nampak sudah semakin mendekat.

Tetapi laki-laki itu tak kuasa bertindak apa-apa. Nalarnya yang dipandu strategi Ilahiah menahan dia bertindak tanpa telaah. Ia, seorang Nabi akhir zaman, hanya bisa berdoa: "Sabarlah keluarga Yasir, sesungguhnya tempatmu adalah surga".

Sejarah kemudian mencatat, Yasir dan istrinya, Sumayyah, akhirnya gugur sebagai syuhada. Mereka gugur setelah sebelumnya mengalami siksa dan derita yang membangkitkan bulu roma.

Kisah di atas adalah sepenggal episode perjalanan dakwah dan risalah Ilahiah ini. Di saat itu, ketika gerakan dakwah berada pada tahap Ta'sis (permulaan), sabar menahan derita adalah ciri dan sifat yang seharusnya. Sebab, gerakan dakwah memang belum cukup kuat untuk berbuat yang lebih dari itu.

Hijrah dan Cinta
Peristiwa hijrah adalah guru umat beriman dalam hal cinta dan keikhlasan. Di sana ada manusia-manusia yang rela meninggalkan apa-apa yang mereka kasihi: harta, kedudukan, istri atau suami, bahkan tanah air dan bangsa. Semua karena cinta sejati, cinta kepada Ilahi.

Jangan diartikan, Nabi ﷺ sebagai pemimpin, dan para sahabatnya dari kelas aghniya (hartawan, bangsawan) tidak bertanggung jawab atas nasib kaum dhu'afa. Justru sebaliknya. Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ sangat memuliakan orang-orang nestapa itu. Membebaskan mereka dari belenggu penindasan, pemerasan, dan pembodohan. Sebaliknya, Islam mengancam keras mereka yang hidup tamak, rakus, dan berfoya-foya di atas keringat, air mata, dan darah kaum dhu'afa.

Di setiap saat dan kesempatan, manusia pilihan itu tak jemu-jemu menyampaikan ayat-ayat Allah. Mengajak manusia mengesakan Allah, beribadah kepada-Nya, menyayangi sesama manusia, mengangkat orang-orang dhuafa.

Sebagai manusia, ingin secepat kilat membabat belenggu penindasan, kemaksiatan, kemiskinan, dan kebodohan yang terpampang nyata di depannya.

Tetapi, sebagai Rasulullah dan laki-laki teladan, la harus bertindak sesuai dengan bashirah yang dikaruniakan Allah. Ia tidak boleh sembrono dan hantam kromo. Tidak juga memercikkan dinar seketika, hanya karena rasa iba. Tidak, sekali lagi tidak. la mesti bertindak manhaji, berpola. Sesuai dengan tuntunan Rabbnya, Allah, Rabbul Izzati. la sadar benar, segala tindakan dan perbuatannya adalah uswah (teladan) dan ibrah (pelajaran) bagi umatnya.

Laki-laki teladan itu sadar betul, memerjuangkan risalah tauhid sembari membebaskan manusia dari penindasan sesama tidak bisa dilakukan sendirian. Ia harus melibatkan mereka yang terpanggil, untuk berjalan seiring dan sejalan meniti langkah.

Kehidupan Para Syuhada Setelah Gugur dalam Jihad
Para syuhada tidak dapat dikategorikan mati, tetapi mereka tetap hidup dan semakin tenang di sisi Allah. Bahkan mereka ingin kembali ke dunia untuk merasakan syahid yang kedua kali.

Dan untuk itu, tak ada pilihan lain kecuali menanamkan spirit tauhid ke dalam dada. Ruh yang bersifat emansipatorik. Membebaskan, bergerak dinamis. Untuk meniupkan ruh dan semangat itu, diperlukan waktu dan kesinambungan.

Maka, Darul Arqam segera menjadi strategi pokok gerakan dakwah. Di rumah Arqam bin Abil Arqam, sahabat muda yang belum genap 17 tahun, tumbuh cikal bakal gerakan Islam. Di situ proses tarbiah (pengkaderan) berlangsung secara intensif dan Robbani.

Hasilnya? Dua puluh tiga tahun kemudian, tegak sebuah bangunan masyarakat Islam yang kukuh di Madinah. Sebuah masyarakat multi suku, agama, dan bangsa, yang hidup rukun dan damai di bawah naungan sistem Ilahiah. Di situ hidup suku Arab Badui, Kaum Nashrani, Yahudi, dan lain-lain, bersama kaum muslimin yang memegang panji-panji kepemimpinan. Kedamaian itu terus bersambung di bawah Khulafaur Rasyidin selama 40 tahun.

Adakah sepanjang masa itu penindasan, diskriminasi, teror, dan intimidasi terhadap kaum di luar muslimin? Jawabnya, ada pada ungkapan penduduk Damsyik (Damaskus) yang beragama Nashrani. Daerah ini sebelumnya berada di bawah imperium Romawi, kemudian berhasil dibebaskan dan dikuasai pasukan muslimin yang dipimpin Abu Ubaidah.

Menjelang perang Yarmuk, pasukan dari kota itu ditarik untuk memerkuat pasukan muslimin di tepi Sungai Yarmuk. Akibatnya, kota itu kosong dan kembali dikuasai pasukan Romawi. Tetapi, para penduduk kota itu bukannya gembira karena bebas dari kekuasaan muslimin dan kembali dikuasai Romawi. Sebaliknya, mereka malah kecewa bukan kepalang.

Kata utusan mereka kepada panglima Abu Ubaidah, "Mereka merampas harta-harta kami, memotong ternak-ternak kami tanpa ganti, memerkosa wanita-wanita kami. Sungguh kalian, hai muslimin, lebih kami cintai daripada mereka (Orang Romawi)".

Begitulah memang ajaran Islam. Di bawah sistem Islami, semua orang menikmati rahmat Islam dalam keyakinannya masing-masing. Orang Yahudi menikmati berkah Islam dalam keyahudiannya. Orang Nashrani mencicipi madu Islam dalam kenasraniannya. Dan seterusnya.

Oleh: Muhammad Ishaq

Artikel ini disadur dari Majalah Sabili No. 09/I, 5 Ramadhan 1409 H/12 April 1989 M