Ketegaran Ismail Haniyya Sikapi Tindak Kriminal IDF

Saat para pemimpin muslim di seluruh dunia tengah mendapatkan pesan bahagia dan ucapan selamat merayakan Idul Fitri, Ismail Haniyeh – pemimpin tertinggi Hamas – justru mendapatkan kabar duka. Beredar luas di media mainstream dunia, detik-detik pentolan Hamas itu menerima kabar via handphone terkait serangan pengecut IDF yang telah mengantarkan 3 orang anak dan beberapa cucunya syahid.

Mereka adalah Hazem Haniyeh, Amir Haniyeh, dan Mohammad Haniyeh. Layaknya sang ayah, ketiga anak Ismail Haniyeh itu adalah pejuang dan tokoh Hamas di Gaza. Israel memang telah lama menarget anak-anak Ismail Haniyeh yang menjadi aktor penting dalam berbagai operasi militer Hamas.

Sebuah serangan udara yang pengecut dilancarkan saat muslim Gaza tengah mengakhiri puasa Ramadan dan menyongsong Idul Fitri. Serangan pengecut itu menjadi petaka bagi keluarga Ismail Haniyeh. Di dalam keterangannya di Al Jazeera, Ismail Haniyeh menyampaikan bahwa anak-anaknya diserang saat dalam perjalanan silaturahmi Idul fitri di kamp pengungsi Al-Shati.

Menjadi lucu tatkala Benjamin Netanyahu dan menteri pertahanannya, Yoav Gallant, menampik terlibat dalam operasi yang menewaskan tiga anak Ismail Haniyeh. Mereka berdua kompak menyatakan tidak tahu operasi tersebut. Sikap yang semakin menegaskan serangan pengecut yang diotaki oleh para pemimpin pengecut. Serangan tersebut sesungguhnya lebih menyerupai tindakan terorisme yang penuh dendam ketimbang peperangan yang terhormat.

Sikap Berkelas Ismail Haniyeh

Saat kejadian, Ismail Haniyeh yang memang telah mendapatkan suaka politik di Qatar, sedang berkunjung di sebuah rumah sakit di Doha. Seperti yang diwartakan oleh banyak media besar dunia, Ismail Haniyeh tampak dalam sebuah video sedang mengunjungi warga Gaza yang tengah mendapatkan perawatan di RS tersebut. Lalu seorang ajudan memperdengarkan panggilan telepon yang memang khusus ditujukan kepada Ismail Haniyeh. Ia mendekat, suara dalam telepon terdengar terbata dan menahan isak saat melaporkan tragedi yang menimpa tiga orang anaknya.

Baca juga: Ekstremis Hindu India Serang Pelajar Muslim Saat Shalat Tarawih

Ismail Haniyeh sesaat tertunduk, tak terlihat emosional. Dengan nada suara yang sangat tenang ia hanya mengucapkan, “Semoga Allah mengampuni mereka”. Ia ulang hingga tiga kali ucapan atau lebih tepatnya doa tersebut. Sembari bergerak keluar ruangan, dengan gestur dan ekspresi yang sangat terkendali ia kembali berujar, “Tidak, ayo kita lanjutkan. Semoga Allah mengampuni mereka”.

Kabar yang tak hanya menyedihkan, lebih tepat kabar yang mengerikan. Bayangkan, tiga anak kebanggaan dan cucu yang tak berdosa harus meninggal dalam serangan para pengecut itu. Hati ayah mana yang tak terguncang? Sedih saat kehilangan keluarga terdekat, apalagi anak kandung, sesungguhnya adalah hal yang manusiawi. Bahkan Rasulullah Saw, manusia paling sabar dan paling kuat menahan kepedihan, harus berurai air mata saat putranya dari Maria Qibtia, Ibrahim Ra meninggal dunia.

Ismail Haniyeh tentu saja sedih. Tetapi ia pemimpin kelas dunia, bukan pemimpin kaleng-kaleng. Ekspresi dan sikapnya begitu tegar. Bahkan tak terbaca dari sorot matanya. Ia hanya sesaat tertunduk untuk mendoakan putra-putranya yang syahid.

Sehari kemudian, sebagaimana di lansir oleh Al Jazeera, Haniyeh kian menegaskan sikap berkelasnya. Pertama, serangan atas keluarganya itu ia nilai lebih didorong oleh niat balas dendam dan pembunuhan. Israel disebutnya tidak mematuhi standar hukum apa pun.

Kedua, ini bukan kali pertama ia kehilangan anggota keluarga. Semenjak serangan 7 Oktober tahun lalu, dirinya telah kehilangan 60 orang keluarga dekat.

Ketiga, mengutip CNNindonesia, Ismail Haniyeh memberikan penekanan “Tuntutan kami jelas dan spesifik. Musuh mungkin berkhayal bahwa dengan menargetkan anak-anak saya di tengah perundingan, akan mendorong Hamas untuk mengubah posisi, darah anak-anak saya tidak lebih berharga daripada darah rakyat kami. Semua martir di Palestina adalah anak-anak saya.”

Baca juga: Ogah Dukung Israel, Kanada Setop Kirim Senjata

Keempat, menurut dia, serangan terhadap keluarganya justru membuktikan kegagalan Israel. Ia dan Hamas tak akan mengubah tuntutan: gencatan senjata permanen, pemulangan warga Palestina, dan pembebasan para tahanan.

Ketegaran yang tak instan. Kehidupan dan perjuangan panjang untuk melindungi Al Aqsa dan mengusir Israel dari tanah Palestina melalui Hamas yang telah bertahun-tahun ia lakoni, memberikan pengalaman dan mematangkan kapasitas kepemimpinannya. Ia juga dekat dengan sosok pendiri Hamas yang legendaris, Syeh Ahmad Yassin. Sehingga, visi dan totalitasnya dalam berjuang melalui Hamas murni dan teruji.

Pria yang lahir di kamp pengungsi Al-Shati pada tahun 1962 ini juga memiliki pendidikan yang bagus. Ia berhasil menyabet gelar sarjana di bidang sastera Arab dari Universitas Islam Gaza. Kapasitas kepemimpinannya yang besar serta berpengaruh di Gaza, pernah dibuktikannya dengan memenangi Pemilu Legislatif pada tahun 2006. Hal mana mengantarkan Ismail Haniyeh mampu menduduki posisi sebagai Perdana Menteri Palestina pada masa kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas.

Namun, jabatan Perdana Menteri tak lama disandang oleh Ismail Haniyeh. Ia diberhentikan oleh Mamoud Abbas sebagai buntut dari semakin meruncingnya sengketa faksi Fatah dan Hamas dalam memandang masa depan Palestina. Pemberhentian sepihak yang tak pernah ia akui dan terima.

Ismail Haniyeh tetap menjalankan peran sebagai Perdana Menteri di Jalur Gaza. Meretas jalan tanpa kompromi atas penjajah Israel, pengaruhnya makin kuat di kalangan Hamas dan warga Jalur Gaza.