KH Hasyim Asy’ari dan Kelahiran Hari Santri Nasional
Tanggal 22 Oktober tujuh puluh sembilan tahun yang lalu. Di Kampung Bubutan, Surabaya, KH Hasyim Asy'ari menyerukan Fatwa “Resolusi Jihad”. Ketika itu, Resolusi Jihad dikeluarkan dengan tujuan untuk memotivasi rakyat Indonesia agar memertahankan kemerdekaan RI. Sebab, Indonesia saat itu kembali mendapatkan serangan dari tentara sekutu. Waktu itu, tentara Belanda yang membonceng tentara sekutu ingin menjajah kembali Indonesia.
Resolusi Jihad merupakan seruan bagi umat Islam untuk berjihad melawan tentara Sekutu yang tengah berupaya kembali menjajah wilayah Republik Indonesia. Resolusi Jihad lantas menjadi pendorong keterlibatan santri dan jamaah NU (Nahdlatul Ulama) untuk ikut serta dalam pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Resolusi Jihad juga menggugah para santri dan ulama pesantren untuk berperan besar dalam perjuangan memertahankan kemerdekaan Indonesia.
Seperti digambarkan di film “Sang Kiai” karya sutradara Rako Prijanto tahun 2013, pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan penjajahan Belanda. Isinya, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain atau wajib bagi setiap mukallaf (orang dewasa) yang berada dalam radius 88 kilometer. Bahwa memertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum agama Islam termasuk suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam.
Jadi, pahala perang melawan penjajah setara dengan jihad fi sabilillah. Sehingga, orang Islam yang gugur dalam perang melawan penjajah itu dihukumi mati syahid. Fatwa yang lalu dikenal sebagai Resolusi Jihad itu menjadi penyemangat para pejuang kemerdekaan untuk berjuang sampai titik darah penghabisan melawan penjajahan Belanda.
Dikutip dari laman nu.or.id, Resolusi Jihad adalah hasil keputusan rapat yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bersama perwakilan dari Majelis Konsul Nahdlatul Ulama atau kini disebut sebagai Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) pada 21-22 Oktober 1945. Berikut ini isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 setelah disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan:
Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.
Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat umat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang:
- Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam
- Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Umat Islam.
Mengingat:
- Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
- Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.
- Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
- Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.
Memutuskan:
- Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangan.
- Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat "sabilillah" untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Surabaya, 22 Oktober 1945
NAHDLATUL ULAMA
Ulama Kharismatik
Lahirnya Resolusi Jihad itu tak lepas dari peran Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari, yang ketika itu menjabat Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Muhammad Hasyim Asy’ari lahir di Desa Gedang, Diwek, Jombang, Jawa Timur, 24 Dzulqa’dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M. Dikutip dari laman jatim.nu.or.id, ayah dari Muhammad Hasyim Asy’ari adalah KH Asy'ari, pemimpin Pesantren Keras, Jombang. Dari nasab ayahnya, KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai ke Rasulullah ﷺ.
KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. KH Hasyim Asy’ari juga keturunan Sunan Giri, salah satu dari walisongo, penyebar agama Islam di Jawa. Ibunya, Halimah, adalah keturunan Raja Brawijaya VI, raja terakhir Majapahit yang masuk Islam dan berganti nama menjadi Pangeran Benawa atau Jaka Tingkir.
Sejak kanak-kanak, Kiai Hasyim Asy’ari hidup dalam lingkungan pesantren tradisional dan belajar dasar-dasar agama Islam dari ayahnya di Pesantren Keras. Di usia 15 tahun, beliau merantau untuk menuntut ilmu di berbagai pesantren ternama di Pulau Jawa. Antara lain di Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pesantren Tambakberas (Jombang), Pesantren Cepoko (Ngawi), dan Pesantren Sarang (Rembang).
Ketika berusia 21 tahun, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, putri dari Kiai Ya’qub Siwalan Panji. Semangat belajar Hasyim Asy’ari dan ketekunan beliau hingga menguasai dengan baik berbagai disiplin ilmu menyebabkan gurunya, KH Ya’qub, tertarik menjadikan beliau sebagai menantu. Setelah menikah, KH Hasyim Asy’ari bersama istrinya dan mertuanya berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Ketika itu, perjalanan menuju Makkah harus melewati waktu berbulan-bulan, menggunakan kapal laut. Di Tengah perjalanan itu, Nyai Nafisah hamil. Di tanah suci Makkah, Nyai Nafisah melahirkan. Putra pertama Kiai Hasyim itu diberi nama Abdullah. Beberapa hari setelah melahirkan, Nyai Nafisah meninggal dunia. Saat masih diliputi kesedihan karena ditinggal sang istri, KH Hasyim Asy’ari kembali kehilangan. Abdullah, putra pertamanya, dipanggil menghadap Allah ﷻ 40 hari setelah dilahirkan.
Hari-hari berikutnya, KH Hasyim Asy’ari tinggal di Makkah. Di tanah suci, beliau belajar kepada ulama-ulama terkemuka, semisal Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (terutama di bidang tauhid dan ghirah/semangat kebangkitan), Syaikh Muhammad Salih al-Samarqandi, Syaikh Thahir al-Ja’fari, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, dan Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmisi yang mengajar ilmu hadits. Dua guru besar Kiai Hasyim, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmisi itu juga tempat Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya pernah belajar pada guru yang sama.
Selama tinggal di Makkah, KH Hasyim Asy’ari juga mengajar di Masjidil Haram, mendapat gelar Syaikhul Haram, dan menulis beberapa karya ilmiah. Di antara karyanya adalah “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” dan “Al-Imam al-Ghazali wa Arauhu al-Kalamiah”. Setelah 7 tahun tinggal di Makkah untuk mendalami ilmu agama, beliau kembali ke tanah air.
KH Hasyim Asy’ari menikah lagi setelah lama menduda. Ia menikahi Nyai Khadijah. Tahun 1899, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng. Di kemudian hari, Pondok Pesantren Tebuireng berkembang menjadi pesantren besar dan terpandang. Bisa dikatakan, hampir sebagian besar pesantren di Jawa dan Sumatera lahir dari rahim Pesantren Tebuireng. Sebab, para kiai di pesantren-pesantren tersebut juga pernah menjadi santri Kiai Hasyim. Namun, dua tahun setelah mendirikan pesantren, Nyai Khadijah meninggal dunia. Pernikahan keduanya tidak dikaruniai keturunan.
Kiai Hasyim menikah lagi. Ia menikah dengan Nyai Nafiqoh dan pernikahan mereka dikaruniai 10 anak, yaitu Hanah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hafidz, Abdul Karim, Ubaidillah, Masruroh, dan Muhammad Yusuf. Di akhir tahun 1920, Nyai Nafiqoh wafat.
Kemudian KH Hasyim Asy’ari menikah lagi. Ia menikahi putri Kiai Hasan pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri, yang bernama Nyai Masruroh. Pernikahan mereka dikaruniai 4 anak, yaitu Abdul Qodir, Fatimah, Khadijah, dan Mohammad Ya’qub.
Kiai Hasyim Asy’ari juga pernah menikah dengan Nyai Amini. Nyai Amini adalah janda dari Kiai Ma'shum, adik dari KH Hasyim Asy’ari yang telah lebih dulu meninggal dunia. Pernikahan KH Hasyim Asy’ari dengan Nyai Amini tidak dikaruniai keturunan, tetapi Nyai Amini punya 4 anak dari pernikahan sebelumnya, yaitu Syarofah, Ali, Nafisah, dan Ulyatun.
Hari Santri Nasional
Tanggal penetapan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 lantas diperingati di Indonesia sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Peringatan Hari Santri Nasional biasanya dilakukan di berbagai daerah dengan kegiatan zikir, shalawat, munajat, doa bersama, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Diharapkan, digelarnya peringatan Hari Santri Nasional membuat seluruh masyarakat Indonesia mengingat dan meneladani serta melanjutkan peran para ulama dan santri dalam memertahankan NKRI. Sebab, sejarah pun selalu mencatat peran penting santri dan pejuang lainnya dalam merebut kemerdekaan dan memertahankan kedaulatan negara kita.
Laman nu.or.id mencatat, Hari Santri Nasional ditetapkan untuk diperingati setiap tanggal 22 Oktober berdasarkan usul dari ratusan santri di Pondok Pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur, tahun 2014. Saat itu, para santri menerima kunjungan Joko Widodo yang waktu itu masih calon presiden. Ketika itu, Joko Widodo lantas berjanji kepada para santri akan memerjuangkan usulan Hari Santri Nasional.
Santri sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mendalami agama Islam. Santri dimengerti sebagai orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang saleh.
Sedianya, Hari Santri Nasional akan ditetapkan untuk diperingati setiap tanggal 1 Muharram. Namun, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantas mengusulkan tanggal 22 Oktober sebagai tanggal diperingatinya Hari Santri Nasional. Tanggal itu untuk mengenang saat-saat KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pada 15 Oktober 2015, Joko Widodo yang saat itu Presiden Republik Indonesia menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Pahlawan Nasional
Sebagai ulama kharismatik dan tokoh umat, KH Hasyim Asy’ari menggelorakan semangat perjuangan menentang penjajahan Belanda, terutama di kalangan anak muda dan para santri. Begitu pula di masa penjajahan Jepang. Beliau giat membangkitkan semangat juang generasi muda dan ikut serta dalam perjuangan di garis depan. Hal itu membuat tentara Jepang marah besar dan menangkap KH Hasyim Asy’ari lalu memasukkan beliau ke dalam penjara. KH Hasyim Asy’ari pun diasingkan ke Mojokerto. Berbulan-bulan menjalani masa tahanan senyatanya tak menyurutkan semangat perjuangan beliau. Bahkan kian menambah energi baru dalam berjuang merebut dan memertahankan kemerdekaan.
KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai pejuang yang gigih membela agama dan bangsa. Beliau aktif menghadapi penjajahan kolonial Belanda. KH Hasyim Asy’ari juga turut serta dalam pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga legislatif pertama Republik Indonesia. Kiai Hasyim juga berperan dalam perjuangan fisik melawan penjajahan Belanda.
Mbah Hasyim – demikian kalangan Nahdliyin biasa memanggil Kiai Haji Hasyim Asy’ari – wafat dalam usia 76 tahun di Jombang, pada 25 Juli 1947 (7 Jumadil Akhir 1366 H) pukul 03.00 pagi, karena sakit. Beliau dimakamkan di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kepergian pejuang besar dan pendidik sejati itu ke tempat peristirahatan terakhir diantarkan dengan duka cita yang dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan para santri Tebuireng.
KH Hasyim Asy’ari dikenang karena kepemimpinan dan peran besar beliau memajukan masyarakat dan membangkitkan semangat perjuangan untuk menghadapi penjajah kolonial Belanda. Nahdlatul Ulama sebagai perkumpulan ulama untuk menyatukan visi dan misi perjuangan di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari pun banyak mencetak kader pejuang melalui pesantren. Banyak di antara santrinya bergabung dalam barisan perjuangan dalam membebaskan negeri ini dari penjajahan.
KH Hasyim Asy’ari telah memberikan sumbangsih besar bagi agama dan bangsa dengan ilmu, amal, dan jihadnya. Ayahanda pahlawan nasional, KH Abdul Wahid Hasyim, itu juga melahirkan generasi-generasi ulama dan pemimpin bangsa lewat Pesantren Tebuireng dan NU. Begitu banyak peran dan kontribusi KH Hasyim Asy’ari bagi bangsa dan negara, sehingga pada 17 November 1964 pemerintah Indonesia menganugerahi Rais Akbar PBNU itu gelar Pahlawan Nasional.
Selama hidup, KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai ulama dan guru kharismatik yang telah menghasilkan ratusan judul karya ilmiah. Di antaranya “Al-Imam al-Ghazali wa Arauhu al-Kalamiah”, “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah”, “Nadzom al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah”, “Al-Tahrir fi Usul al-Fiqh”, dan “Nadzom Jawahir al-Tauhid”.