KH Jeje Zaenudin: “Seni dan Musik Tidak Haram”
Bisa dikatakan, penyelenggaraan Multaqo Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia serta Kongres Budaya Umat Islam Indonesia, merupakan tonggak sejarah bagi para seniman dan budayawan muslim Indonesia. Hal itu mengemuka dalam perbincangan Sabili.id dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pengembangan Seni Budaya dan Peradaban Islam, KH Jeje Zaenudin.
Menurut Ustadz Jeje – demikian KH Jeje Zaenudin biasa disapa – lewat Multaqo Seniman dan Budaya Muslim Indonesia, MUI mencoba menghimpun para aktivis seni budaya Islam, baik seni musik, seni sastra, seni film, seni kaligrafi, maupun seni-seni yang lain. Sejak tahun 2021 setelah mukernas MUI, berbagai kegiatan pengembangan seni budaya sudah coba dilakukan. Di dalam kurun waktu itu, penyelenggaraan kegiatan pengembangan seni budaya selama dua tahun dilakukan secara online.
“Penyelenggaraannya secara online karena kondisinya sedang pandemi. Tetapi antusiasnya cukup banyak, seperti Tadarus Ramadhan, Lomba Tulis Puisi untuk anak-anak dan remaja, Lomba Tulis Cerpen Islami anak-anak, dan lain sebagainya. Begitu pula tentang tadarus seniman budaya muslim, seperti kajian tentang figur tokoh budaya Buya Hamka,” katanya.
Ustadz Jeje melanjutkan, kegiatan selanjutnya bertambah semarak setelah kondisi berangsur normal karena pandemi Covid-19 sudah menyurut. Walau masih terbatas, pihaknya sudah bisa mengadakan perkumpulan seniman dan budayawan muslim. Antara lain mereka mengadakan multaqo seniman budayawan di Cijeruk Sukabumi dan Hotel Sofyan Jakarta.
“Juga Kongres Budaya Umat Islam Indonesia yang dilaksanakan di Taman Mini Indonesia Indah, tanggal 26 Juli 2023. Undangan diberikan kepada pihak-pihak yang meliputi pengurus-pengurus LSBPI (Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam) MUI seluruh Indonesia, ormas-ormas Islam yang memiliki lembaga seni budaya, kampus-kampus yang memiliki fakultas dan prodi seni budaya, serta ormas-ormas pemuda dan mahasiswa. Begitu pula tokoh-tokoh dan figur seniman dan budayawan,” ujarnya.
Ustadz Jeje menyebut, keberadaan seni dan budaya terkait dengan peradaban. Al Qur’an dan Hadits sangat kaya dengan nilai-nilai seni dan budaya. Bahkan, Al Qur’an itu sendiri sudah mengandung nilai-nilai seni. Membaca dan menulisnya saja sudah menjadi nilai seni.
“Maka dari mana (dasarnya pendapat yang mengatakan bahwa) Qur’an dan Hadits itu anti seni? Yang jelas, Qur’an dan Hadits itu anti maksiat yang ada dalam seni. Maka, perlu dibedakan,” tegasnya.
Menurut dia, seni budaya itu harus dikembangkan dalam konteks membangun peradaban, terlepas dari polemik tentang beda antara seni, budaya, dan peradaban. Ustadz Jeje pun mengatakan, pihaknya lebih memahami bahwa peradaban itu adalah wujud nyata dari seni budaya yang luhur, seni budaya yang tinggi. Jadi, perwujudannya adalah dalam bentuk budaya dan peradaban yang tinggi. Islam adalah salah satu peradaban yang dibawa ke tengah manusia. Islam mewujudkan nilai-nilai keadabannya dalam segala hal, dalam berkeyakinan, dalam berpikir, dalam pendidikan, dalam sains, dan lain-lain.
“Nah, tidak mungkin peradaban ini dilepaskan dari cita-cita besar orang (yang) berseni dan berbudaya. Karena bisa saja (orang) berseni dan berbudaya tetapi tidak pakai adab, maka seni dan budaya (yang dikembangkan harus) yang ber-per-adab-an. Hanya manusia yang memiliki nilai keadaban yang tinggi, hanya orang-orang yang beriman, yang dibimbing untuk memiliki nilai keadaban yang tinggi. Karena itulah, seni budaya dilengkapi dengan peradaban. Itulah spiritnya,” jelasnya.
Sebagai Ketua MUI Bidang Pengembangan Seni Budaya dan Peradaban Islam, Ustadz Jeje Zaenudin menerangkan, salah satu program utama mereka adalah bagaimana meluruskan pemahaman orang tentang seni dan budaya. Ia menyebut, jangan ada anggapan bahwa seni dan budaya itu identik dengan kemaksiatan, sehingga secara total diharamkan. Hal itu tidak benar secara prinsip dasar berislam.
“Bagaimana Islam mengharamkan sesuatu yang bersifat fitrah? Islam tidak mungkin mengharamkan hal yang bersifat fitrah itu, tetapi menyalurkan. Seperti orang berhubungan seksual itu fitrah, tidak mungkin diharamkan, tetapi disalurkan dengan pernikahan. (maka) Dia menjadi haram ketika penyalurannya tidak melalui kanal atau cara yang benar,” ujarnya.
Sebab, keindahan itu adalah fitrah manusia. Penciptaan manusia dalam keindahan
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan”. Itu adalah inti dari keindahan.
“Ketika keindahan itu diekspresikan dalam tulisan, jadilah kaligrafi, jadilah lukisan. Keindahan yang diekspresikan dalam kata-kata bernada dan berintonasi, maka jadilah puisi atau syair. Keindahan diekspresikan dalam bunyi-bunyi, dalam suara, maka timbullah musik. Jadi, apa saja yang diekspresikan dari manusia yang memunculkan keindahan, maka itu menjadi seni,” urainya.
Ustadz Jeje kembali menegaskan bahwa seni dan musik tidak haram. “Bagaimana sesuatu yang fitrah itu diharamkan dalam Islam? Kalau diharamkan dalam Islam, pasti bukan zatnya tetapi adalah cara, sifat, atau dampaknya. Itulah prinsip yang kami sepakati,” katanya.
Ingin tahu lebih jauh tentang hal tersebut? Simak perbincangan sabili.id dengan Ustadz KH Jeje Zaenudin tentang tema tersebut, selengkapnya di KH. JEJE : SENI DAN MUSIK TIDAK HARAM" (bagian 3)