Khartoum, Jantung Sudan yang Hancur dan Terisolasi dari Dunia
Khartoum, ibu kota Sudan, yang dulu dikenal sebagai permata di tepi Sungai Nil, kini hanya menyisakan kehancuran. Perang saudara yang berkecamuk selama lebih dari setahun antara militer Sudan yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan dengan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) di bawah pimpinan Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedi), telah mengubah negara ini menjadi medan perang besar. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Le Figaro menggambarkan kota ini bak kuburan terbuka, dengan mayat-mayat yang membusuk dan anjing-anjing liar yang berkeliaran di jalanan.
Perang brutal itu telah menyebabkan lebih dari 150.000 orang tewas dan jutaan lainnya mengungsi. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kerusakan infrastruktur, namun juga menciptakan krisis kemanusiaan yang luar biasa. Kelaparan melanda jutaan penduduk, termasuk anak-anak yang terancam mati kelaparan dalam hitungan bulan. Di dalam keadaan terisolasi dari dunia luar, Sudan telah menjadi salah satu negara paling berbahaya bagi para jurnalis dan pekerja kemanusiaan.
Kondisi Sudan di Tengah Perang
Bersama jurnalis foto Ivor Prickett dan penulis Declan Walsh, yang bekerja untuk The New York Times, surat kabar Le Figaro menyoroti suasana mencekam di Sudan. Mereka menggambarkan, kota Khartoum telah kehilangan jiwanya. Rumah sakit dan rumah-rumah warga hancur akibat serangan artileri tanpa henti. Warga yang bertahan hidup terpaksa menguburkan kerabat mereka yang tewas tanpa upacara karena situasi yang mencekam, hanya untuk menjaga harga diri terakhir almarhum.
Para jurnalis itu bahkan menyaksikan, milisi sipil yang terbentuk dari rasa kecewa dan marah warga menambah kompleksitas konflik tersebut. Kota yang dulunya ramai dengan aktivitas warga, kini sunyi. Kesunyian hanya dipecahkan oleh suara drone yang mencari target di atas Sungai Nil.
Krisis Kemanusiaan yang Memuncak
Krisis pangan menjadi momok terbesar bagi Sudan saat ini. Lebih dari 26 juta orang terancam kelaparan, seperti yang diperingatkan oleh PBB pada bulan Agustus lalu. Krisis ini akan seperti tragedi Ethiopia pada 1980-an, di mana ratusan ribu orang meninggal dunia karena kelaparan. Di perbatasan negara, jutaan pengungsi berkumpul di Chad, Sudan Selatan, Mesir, dan negara-negara tetangga lainnya, mencoba melarikan diri dari kehancuran di tanah air mereka.
Selain itu, lebih dari 230.000 anak-anak Sudan berada dalam bahaya kelaparan yang berpotensi besar menyebabkan kematian. Kelaparan yang melanda Sudan diperkirakan akan menjadi salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan skala kematian yang lebih besar dari sebelumnya.
Intervensi Asing dan Pengaruhnya
Perang di Sudan juga menarik perhatian internasional. UEA, melalui penyelidikan yang dilakukan oleh New York Times, dilaporkan memasok senjata kepada Pasukan Pendukung Cepat, meski pun ada embargo senjata dari PBB. Di sisi lain, militer Sudan yang didukung Mesir dilaporkan juga menerima dukungan drone dari Iran. Bahkan, tentara bayaran Rusia dari kelompok Wagner juga dikabarkan menyediakan rudal kepada RSF, memicu kekhawatiran akan eskalasi yang lebih luas.(Sumber : Al Jazeera, Le Figaro)