Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 9): "Komite Etik dan Tinta Merah di KPK"
Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri kesembilan dari kisah beliau. Selamat menikmati.
Tokoh muda itu menjadi salah seorang Komisioner KPK, jilid 1. Semangatnya berkobar-kobar, sehingga beliau mau korupsi diberantas secara revolusioner. Oleh karenanya, beliau menggunakan “tinta warna merah” di atas lembaran disposisi Komisioner KPK sebagai protes atas “lambannya” penanganan kasus korupsi.
“Tinta merah” itu akhirnya dibawa ke persidangan Komite Etik KPK. Ketua KPK memerintah saya untuk mengoordinasi kegiatan Komite Etik tersebut. Sidang Komite Etik pun berlangsung di Hotel Salak, Bogor. Komisioner muda itu pun diberikan nasihat agar lebih arif dalam berpendapat. Inilah Komite Etik pertama di KPK.
SOP Komisioner KPK.
Salah satu tradisi di internal Komisioner semasa KPK jilid satu, ada lembaran rekomendasi. Lembaran itu diedarkan ke lima Komisioner. Setiap Komisioner harus memberikan catatan atau pendapat terhadap surat yang masuk ke Pimpinan KPK.
Undangan Kementerian, Lembaga Negara, Pemda, universitas, partai, ormas, atau LSM, misalnya. Setiap Komisioner memberikan usul, pendapat, atau rekomendasi. Pendapat Pimpinan bisa berupa setuju atau menolak undangan tersebut. Jika setuju, Komisioner terkait akan mengusulkan, siapa yang menghadiri undangan tersebut.
Biasanya, salah seorang Komisioner yang ditugaskan menghadiri undangan tersebut. Bisa juga Penasihat yang ditugaskan. Di sinilah saya sering mendapat tugas mewakili Pimpinan menghadiri acara tertentu. Saya ditugaskan jika materi sosialisasi berkaitan dengan Integritas atau modul-modul “good governance.” Namun, jika Komisioner mau menyosialisasikan instrumen pencegahan korupsi dalam bentuk juklak tertentu, maka Deputi atau Direktur terkait yang ditugaskan.
Jlimetnya, tradisi di antara kelima Komisoner tersebut, terkadang Pejabat yang ditugaskan “kelabakan.” Sebab, waktu “mepet” untuk menyiapkan bahan presentasi. Bahkan, saat sedang istirahat di rumah pada hari libur, tiba-tiba datang SMS dari salah seorang Komisioner agar saya menggantikan beliau di hari itu.
Mengatasi hal tersebut, kusarankan, penanganan persoalan teknis, khususnya masalah undangan, diserahkan ke masing-masing Komisioner yang membidangi tugasnya. Terpulang Komisioner tersebut, mau menunjuk siapa yang akan mewakilinya. Jika tidak terlalu sibuk, Komisioner terkait langsung menjadi narasumber dalam event tersebut.
Kode Etik dan Tinta Merah.
Salah satu kode etik KPK adalah pimpinan, pejabat, atau pegawai tidak boleh menggunakan kata-kata atau perilaku yang tidak sopan. Bahkan, dalam internal e-mail, seseorang tak boleh menggunakan kata-kata yang dianggap tidak sopan. Termasuk dalam ketentuan ini, tidak boleh menggunakan tulisan berwarna merah. Sebab, warna merah dianggap sebagai manifestasi dari permusuhan.
Komisoner termuda di KPK jilid 1 menggunakan tinta warna merah di lembar rekomendasi. Beberapa waktu sebelumnya, terjadi adu argumentasi di antara kelima komisioner KPK. Perdebatannya adalah bagaimana mengoperasionalkan tugas KPK yang ditentukan dalam pasal 6 UU Nomor 30/2002. Pasal ini menyebutkan, tugas KPK adalah kordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan monitoring.
Perdebatan muncul ketika para Komisioner menetapkan strategi penindakan. Apakah tetap menggunakan cara konvensional seperti yang diterapkan Aparat Penegak Hukum (APH) selama ini, atau menggunakan model revolusioner dengan memfungsikan kewenangan yang diberikan undang-undang, seperti penyadapan, koordinasi, dan supervisi terhadap APH dan instansi terkait. Di sinilah lahir tulisan Komisioner termuda ini yang menggunakan tinta warna merah. Sebab, beliau “penasaran” terhadap Komisioner yang menggunakan cara konvensional dalam memberantas korupsi.
Komisioner lain tersinggung dengan pernyataan tersebut. Apalagi pernyataan tersebut ditulis dengan warna merah. Ketua KPK, Taufiequrahman Ruki menugaskan diriku untuk menyelesaikan silang sengketa yang ada. Inilah tugas yang kuanggap cukup menantang. Tugas yang penuh risiko.
Menjadi Kayu Bakar.
Substansi tugasku adalah bagaimana mendamaikan kelima komisioner KPK tanpa mengganggu pelaksanaan kegiatan rutin organisasi. Risikonya, saya akan dituduh sebagai pembela si A atau si B di antara kelima Komisioner KPK tersebut.
“Bismillah, saya siap menjadi kayu bakar,” batinku. Sebab, jika Komisioner tidak sehati dan sehaluan, pemberantasan korupsi gagal. Koruptor akan berpesta pora.
Tugas mulia ini kumulai dengan menemui Ketua KPK. Kudengar secara detail penjelasan dan kronologi terjadinya “perang” antar Komisioner KPK tersebut. Hal serupa kulakukan terhadap empat Komisioner lainnya. Kubuatkan peta permasalahan yang ada. Selesai putaran pertama.
Putaran kedua, kutemui lagi kelima Komisoner secara terpisah. Kutawarkan jalan tengah. Terhadap lima Komisioner, kuminta mereka saling memaafkan. Saya terperanjat. Justru, Komisioner termuda yang menggunakan tinta merah, menolak untuk damai. Alasannya, beliau tidak bersalah. Beliau minta dibentuk Komite Etik sebagaimana ketentuan yang ada di KPK. Tiga Komisioner “manut” saja atas kesepakatan bersama. Di dalam pertemuan terakhirku dengan Ketua KPK, disepakati pembentukan Komite Etik.
Pimpinan menerbitkan SK yang menugaskan diriku dan anggota Penasihat lainnya, Surjohadi Djulianto, sebagai Penanggung Jawab pelaksanaan tugas Komite Etik. Inilah Komite Etik pertama dalam sejarah KPK.
Berangkat ke Yogyakarta dan Semarang.
Komite Etik adalah Badan Ad Hoc yang dibentuk khusus untuk memeriksa Komisioner yang diduga melanggar Kode Etik. Ia dianggotai Pimpinan KPK (yang tidak terlibat kasus), Penasihat, dan beberapa “prominent person” di luar KPK.
“Prominent Person” adalah figur di luar KPK yang memiliki integritas dan semangat anti korupsi. Kali ini, Pimpinan tetapkan dua orang “prominent person” yakni Mantan Rektor UGM, Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, dan Pakar Hukum Pidana dari Undip, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo.
Saya dan pak Surjohadi menemui Prof. Dr. Koesnadi di kampus UGM, Yogyakarta. Kujelaskan betapa pentingnya Komite Etik bagi masa depan Indonesia. Sebab, jika internal Komisioner KPK tidak sehaluan dalam memberantas korupsi, maka Indonesia akan dikuasai oleh koruptor. Alhamdulillah, Prof. Koesnadi bersedia untuk menjadi anggota Komite Etik KPK.
Kami lanjutkan perjalanan darat ke Semarang. Kami pun berhasil menjumpai Profesor Dr. Satjipto. Alhamdulillah, beliau juga bersedia.
Hotel Salak, Saksi Bersejarah.
Kubuka pertemuan dengan resmi di salah satu ruangan, Hotel Salak, Bogor. Kujelaskan secara singkat, tujuan dan tugas Komite Etik. Kusampaikan harapanku, agar Komite Etik berhasil menyamakan persepsi Komisioner KPK sehingga pemberantasan korupsi lebih efektif dan efisien.
Kupersilakan terperiksa, Komisioner termuda untuk menyampaikan alasan penggunaan tinta merah dalam rekomendasinya. Kupersilakan pula empat Komisioner lain menyampaikan pendapat. Terakhir, kupersilakan dua anggota “prominent person” sampaikan pendapat mereka.
Akhirnya, kusampaikan simpulan Komite Etik, yakni: Komisioner yang menjadi “terperiksa” harus mengubah tata-hubungan dengan pimpinan yang lain secara lebih akrab. Beliau juga diminta agar menggunakan kata-kata yang tidak menimbulkan kesalah-pahaman di antara sesama anggota Komisioner.
Inilah Komite Etik yang pertama di KPK. Komite ini tidak menjadi bahan berita di media massa. Sebab, dugaan pelanggaran Kode Etik ini tidak melibatkan pihak luar. Apalagi, yang terjadi adalah perbedaan strategi pemberantasan korupsi di antara Komisioner.
Satu hal yang pasti, setelah itu, KPK dengan gagah mengembangkan sayapnya dalam menangkap koruptor. KPK tangkap menteri, pimpinan dan anggota legislatif, Kepala Daerah, pimpinan BUMN, serta pihak swasta.
Dambaanku, KPK sekarang kembali menjadi harapan masyarakat Indonesia dalam menyelamatkan keuangan negara seperti yang terjadi di Kemenkeu. Apalagi, mengenai Rp 249 trilyun dana “money laundry.” Semoga!
(Depok, 3 April 2023)
Baca Juga: