Konflik Agraria: Rapor Merah Jokowi
Rempang sesungguhnya hanyalah kisah lain dari deretan banyak kisah serupa. Kisah warga yang harus bentrok dengan aparat demi mempertahankan properti yang mereka yakini sebagai hak mereka. Ketika kepemilikannya terusik oleh kepentingan pembangunan dan investasi.
Demi tujuan yang lebih besar, demi kemakmuran yang lebih luas. Begitulah diksi yang dipaksakan masuk, bukan saja pada telinga tetapi juga dilesakkan dalam sanubari mereka. Tentu dengan imbalan, ganti rugi, dan kompensasi lain yang sejenis. Saat warga bersikukuh tak mau melepas tanah mereka dengan semua tawaran kompensasi tersebut, ketegangan tak terhindar dan menjadi beberapa bentrokan.
Cerita dengan plot serupa sesungguhnya telah cukup tua usianya. Sejak zaman orde baru, kisah tentang penggusuran dan pengambilan lahan rakyat atas nama pembangunan sudah lazim dan sering terjadi. Rakyat bahkan tak punya pilihan saat lahan mereka dihargai rendah. Sebab, ketika transaksi dilakukan, lebih banyak unsur ancamannya daripada angka nominalnya.
Baca Juga : Rempang (Silakan) Disayang, Warga (Jangan) Ditendang karena Bisa Jadi Kubangan
Rakyat dianggap mengalah demi Pembangunan, meski yang sebenarnya terjadi adalah ketakutan atas intimidasi. Entah berapa ribu kisah jika harus dituliskan, entah berapa juta hektare tanah yang dikuasai paksa, entah berapa jiwa yang terluka. Entahlah. Toh, rakyat tak pernah bisa menuliskan sejarahnya sendiri. Pada akhirnya, kesedihan itu harus dikaramkan di hati. Lalu terkubur bersama kematian para saksi dan korban.
Di era reformasi, konflik lahan atau konflik agraria belum juga tertangani secara baik. Jumlah kasusnya semakin banyak, luasan lahan yang disengketakan meningkat, jumlah jiwa yang terdampak juga kian banyak. Bedanya, di era ini masyarakat mulai berani bersuara, bahkan melawan! Faktor ini pula yang menyebabkan jumlah kasus yang diadukan menjadi meningkat.
Meski begitu, pola penanganannya masih sama. Entah sengketa itu antara warga dengan kepentingan pembangunan pemerintah maupun investasi swasta, umumnya pendekatan kekuasaan yang lebih dominan. Represif dan mengakibatkan bentrok antara warga dengan aparat. Warga yang terlibat bentrok diproses hukum, membuat warga yang lain merasa terintimidasi.
Secercah harapan muncul saat Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Harus diakui, secara hukum PP Nomor 86/2018 ini adalah langkah maju, yang setidaknya mengindikasikan adanya goodwill. Simak saja bunyi pasal 1 ayat 1 PP tersebut, “Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia”.
Tak berlebihan jika banyak pihak, terutama rakyat dan para aktivis HAM yang mendampingi rakyat dalam konflik agraria, menaruh harapan besar dengan adanya PP ini. Sayangnya, hingga di ujung periode kedua kekuasaannya, Presiden Jokowi belum terlihat mampu menjalankan isi PP tersebut secara optimal. Kasus konflik agraria masih terus meningkat dengan beberapa letupan konflik sosial yang menjadi perhatian publik, bahkan internasional.
Baca Juga : Solidaritas Nasional untuk Rempang Desak Penyelidikan Serius atas Dugaan Pelanggaran HAM Berat
Sebut saja beberapa kasus terbaru. Pada Februari 2022; kasus bentrok warga dan aparat meletup. Warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, harus berkonflik dengan aparat, saat sebagian dari mereka menolak pengukuran lahan yang akan dijadikan pembangunan waduk oleh pemerintah. Ada pro dan kontra di tengah masyarakat yang memunculkan konflik dan melibatkan aparat Kepolisian-TNI.
Jelang perayaan HUT ke-78 RI, warga Dago Elos, Bandung, bentrok dengan aparat Kepolisian. Kasus ini sesungguhnya adalah konflik agraria antara warga dengan warga. Namun, protes warga Dago Elos yang sempat memboikot jalan membuat aparat Kepolisian turun tangan. Bentrokan pun terjadi, dan warga dibubarkan dengan semprotan gas air mata.
Peristiwa selanjutnya, tentu saja kasus Rempang. Akar masalahnya juga konflik agraria. Kali ini konflik segitiga. Warga Rempang berhadapan dengan investor dan pemerintah sebagai regulator. Ujungnya adalah bentrok. Banyak pihak menilai, aparat telah bertindak represif dalam bentrokan tersebut, bahkan telah dinyatakan ada unsur pelanggaran HAM dalam kasus tersebut.
Belum reda kasus Rempang, meletus pula kasus serupa di Gorontalo dan Lampung. Konflik agraria menyeret masyarakat harus berbenturan dengan aparat. Pertanyaannya, akan sampai kapan?
Niat baik Presiden Joko Widodo pada periode pertama kekuasaannya, dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Reforma Agraria Nomor 86/2018, ternyata belum diikuti dengan implementasi yang sepadan, jika tak ingin dibilang gagal. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat, dalam rentang waktu 2015 – 2018 terjadi 1.771 konflik agraria. KPA juga menilai, target redistribusi tanah juga tidak tercapai. Masalah ini tak kunjung selesai hingga akhir masa jabatan pasangan Presiden – Wakil Presiden, Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Baca Juga : Kronologi Tragedi Rempang Versi Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang
Kini, pada ujung kedua masa kekuasaannya, kasus Rempang seakan menegaskan kembali bahwa masalah konflik agraria masih menjadi rapor merah Pemerintahan Joko Widodo. Komnas HAM dalam rilisnya menyebut, dalam waktu 8 bulan (Januari – Agustus 2023) saja, ada 692 aduan yang masuk terkait konflik agraria. Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM, menyebut angka tersebut mengalami kenaikan signifikan. Menurut dia, 692 kasus aduan dalam 8 bulan sama artinya rata-rata 4 kasus aduan dalam 1 hari kerja.
Mengutip Catatan Akhir Tahun 2022 Komisi Pembaharuan Agraria, letusan konflik yang terjadi sepanjang 2022 ada 212 kasus. Angka ini naik dari tahun sebelumnya.
Berapa luas tanah yang terlibat dalam konflik agraria tahun 2022? KPA dalam hal ini mencatat; di tahun 2021 melibatkan luas lahan 50,062 hektare, tahun 2022 naik drastis menjadi 1.035.612 hektare. Adapun kepala keluarga yang terlibat dalam konflik agraria tahun 2022 mencapai 346.402 KK. Bayangkan jika setiap KK tersebut memiliki 5 anggota keluarga, berapa juta jiwa yang terimbas konflik agraria ini?
Di tengah angka statistik yang moncer, sebagaimana dipaparkan berbagai lembaga survei pada periode Juni-Juli lalu tentang tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Presiden Joko Widodo yang mencapai 81%, dan bahkan ada yang menyebut tembus 90%, catatan-catatan konflik agraria sebagaimana diungkap Komnas Ham dan KPA tersebut tentu menjadi tamparan tersendiri. Lalu, akankah rapor merah penanganan konflik agraria ini bisa dibirukan Jokowi di detik-detik terakhir periode kepemimpinannya? Wallahu a’lam bishowab.